Pemerintah secara resmi mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Desa. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.Â
UU ini mengubah dan menambah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan satu pasal mengenai pengaturan desa yang berada di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, hutan produksi, dan kebun produksi berhak mendapatkan dana konservasi dan/atau dana rehabilitasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 39 yang mengatur mengenai masa jabatan Kepala Desa diubah. Kepala Desa memegang jabatan selama 8 (delapan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (bpk.go.id/25/04/2024).
Undang-undang desa ini sebelumnya telah berlaku selama 10 tahun dan proses menuju revisi ini tentunya telah melalui kajian yang cukup lama. Lantas, dengan bertambahnya masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun apakah tata kelola pemerintahan di desa menjadi lebih baik?
Substansi revisi UU Desa
Kurang lebih ada tiga belas (13) poin pokok substansi hasil revisi UU Desa. Di antaranya, Masa jabatan Kepala Desa dan BPD menjadi 8 tahun; Kepala Desa dan BPD yang telah menjabat 2 periode untuk masa jabatan 6 tahun masih dapat mencalonkan diri 1 periode lagi; Kepala Desa dan BPD yang sementara menjabat periode ketiga maka menyelesaikan masa jabatannya sesuai dengan UU Nomor 6 sesuai hasil revisi.
Lebih lanjut Kepala Desa dan BPD yang sudah terpilih tetapi belum pelantikan maka masa jabatannya menyesuaikan hasil revisi; Kepala Desa yang berakhir masa jabatan pada Februari 2024 dapat diperpanjang sesuai ketentuan UU No 6 tahun 2024; Kepala desa dapat dipilih melalui musyawarah mufakat bilamana hanya ada calon tunggal.
Selanjutnya dana desa yang bersumber dari APBN dan Siltap Kepala Desa, BPD dan perangkat desa langsung masuk ke rekening desa; Kepala Desa dan BPD mendapat hak penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan jaminan sosial, kesehatan dan tenaga kerja dan mendapat tunjangan purna tugas; perangkat desa mendapat hak penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan jaminan sosial, kesehatan dan tenaga kerja dan mendapat tunjangan purna tugas.
Calon kepala desa berpendidikan minimal SMU yang sebelumnya minimal SMP; kewenangan pembangunan desa diperluas bukan hanya pada pelayanan dasar, melalui pendidikan, kesehatan, jaminan sosial tetapi juga kebutuhan primer sandang, pangan dan papan masyarakat; peningkatan dana desa dan kewenangan pengelolaan dana desa.
Secara umum revisi UU Desa bertujuan untuk mempercepat keberhasilan dan memperkuat pembangunan desa. Melihat substansi yang diatur di revisi UU, tampaknya masih berfokus pada periodisasi jabatan kepala desa dan tuntutan penambahan dana desa, bukan bagaimana mendapatkan kepala desa dan perangkat desa yang memiliki kapasitas dan berintegritas. Sebab, desa akan memperoleh manfaat dari perpanjangan masa jabatan jika kepala desa berkualitas (Kompas.id/4/p4/2024).
Harapannya bahwa kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan. Namun secara eksplisit berkaitan dengan peningkatan kualitas pemerintahan desa tidak ditampilkan demikian.Â
Revisi UU Desa juga tak mengubah sistem penyelenggaraan pemerintah desa dalam UU sebelumnya. Praktiknya, implementasi UU Desa juga masih dihadapkan pada persoalan kewenangan dengan supra desa di mana desa tak memiliki kekuatan untuk menjalankan pembangunan berdasar prakarsa masyarakat desa.Â
Tantangan Tata Kelola Pemerintahan Desa
Masih banyak persoalan yang terjadi di desa. Salah satu akar masalahnya karena tata kelola pemerintah yang belum baik.Â
Dalam laman Kompas.id terbitan tanggal 4 April 2024 dijelaskan bahwa desa masih dihadapkan pada beberapa catatan dari sisi perencanaan, penganggaran, kebijakan, dan kelembagaan desa.
Dari sisi perencanaan desa, ruang partisipasi masyarakat perlu dibangun dan diakomodasi, bukan hanya kelompok elite tertentu. Tujuan awal pembentukan UU Desa adalah mendorong pembangunan desa yang bersifat bottom-up. Artinya, masyarakat desa seharusnya berfungsi sebagai pelaksana, pengawas, pendukung, dan peninjau pembangunan.
Penganggaran juga masih bermasalah, khususnya aspek pembinaan dan pengawasan yang berimplikasi pada meningkatnya praktik korupsi di desa. Dana desa terus meningkat, berbanding lurus dengan peningkatan korupsi desa. Banyaknya kepala desa terjerat kasus korupsi menandakan lemahnya fungsi pengawasan dan menunjukkan tak semua kepala desa memiliki integritas.
Data KPK 2023, pada periode 2015-2022 ada 601 kasus korupsi di desa dengan total tersangka 686 orang. Perlu dipikirkan mekanisme pemilihan kepala desa berkualitas sebelum revisi UU Desa diketok (Kompas.id/24/04/2024).
Di sisi kebijakan, beberapa studi menyebutkan desa kurang produktif dalam menyusun peraturan desa di luar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Artinya, kewenangan desa belum dimanfaatkan secara penuh, padahal banyak urusan yang diatur oleh desa sendiri (ruang inovasi desa rendah).
Masih banyak desa yang belum memiliki pendamping. Di beberapa kasus, satu pendamping berkewajiban mendampingi tiga desa atau lebih sekaligus. Idealnya setiap desa memiliki satu pendamping.
Terakhir kelembagaan. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) belum terlihat (check and balances). BPD tak memiliki kedudukan apa pun dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan seakan berada di bawah kepala desa, padahal fungsi BPD mirip DPRD. Peran BPD perlu dikuatkan agar dapat mengawasi kinerja kepala desa dan perangkatnya (Sarah Nita,2024).
Harapan Bersama
Dengan demikian diharapkan bahwa dengan adanya revisi UU Desa desa harus semakin maju. Masa jabatan selama 8 tahun diharapkan para kepala desa lebih fokus pada memajukan desa.Â
Seorang guru desa (Sutoro Eko, 2022) pernah berujar bahwa ada empat tipe kepala desa (Kades). Pertama, tipe Kades Merpati (Merapat ke Bupati) Kades tipe ini biasanya berkonco (berteman) dengan salah satu atau beberapa anggota dewan agar urusan dengan dinas PMD dan Bupati berjalan lancar.
Kedua, Kades Pedati ( Perintah dari Bupati) Kades tipe ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali ada perintah dari atas. Kalau tidak diperintah diam seperti patung, hidup segan mati tak mau.
Ketiga, Kades Melati ( Menjadi Ladang Upeti) Kades tipe ini tujuannya adalah menjadi tambah kaya, pikirannya soal uang karena memang itu adalah tujuannya menjadi Kades.
Keempat, Kades Sejati. Ini adalah tipe kades yang betul-betul berjuang agar rakyat berbadan sehat, berdompet tebal dan berotak cerdas.Â
Oleh karena itu tambahan masa jabatan para kades harus diimbangi dengan kualitas dalam memimpin desa. Masyarakat tidak menginginkan tipe kades yang Merpati, Pedati atau Melati melainkan tipe kades yang Sejati: Seorang kades harus benar-benar menjadi pemimpin yang sejati; pemimpin yang lebih mengedepankan kepentingan umum daripada pribadi. Harapan dari masyarakat bahwa semua Kades yang ada di Indonesia menjadikan perpanjangan masa jabatan menjadi alat untuk semakin memajukan desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H