Mohon tunggu...
Oktavianus Daluamang Payong
Oktavianus Daluamang Payong Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menulis adalah merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Kondisi Demokrasi Bangsa Pascaputusan Sengketa Pilpres

25 April 2024   06:50 Diperbarui: 25 April 2024   09:52 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi pada Senin, 22 April 2024, akhirnya mengeluarkan putusan, yakni menolak permohonan nomor 1/ PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh pemohon kubu nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan permohonan nomor 2/PHPU.PRES- XXII/2024 yang diajukan kubu nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Alasannya, tidak terbukti terjadi kecurangan pada Pilpres 2024.

Selain itu, pada putusan MK terjadi dissenting opinion. Lima hakim MK menolak seluruh permohonan terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1 dan 3. Namun, tiga hakim justru memenuhi beberapa permohonan pasangan nomor urut 1 dan 3, termasuk permohonan diadakannya pemilihan suara ulang di beberapa wilayah, seperti DKI Jakarta dan Bali. (Kompas.id/22/04/2024).

Dengan berkaca pada hasil putusan MK dalam sidang sengketa Pilpres tersebut, bagaimana kondisi demokrasi bangsa saat ini ? apakah dengan adanya dissenting opinion dari tiga hakim MK maka demokrasi bangsa masih dikatakan sehat ? Dari sini kedewasaan demokrasi bangsa bisa diukur.

Poin Penting Dissenting Opinion

Ada tiga hakim Mk yang menyatakan dissenting Opinion (Pendapat berbeda). Tiga hakim MK tersebut yakni  Sadil Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Dalam laman epaper Kompas edisi 23 April 2024, menjelaskan tiga hakim tersebut menyampaikan pandangan berbeda tersebut. Sadil Isra menerangkan bahwa ada dua hal yang membuatnya berbeda pandangan (1) persoalan penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden; dan (2) keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah.

Di samping itu Enny Nurbaningsih memberikan pandangan bahwa mengenai dalil adanya keterlibatan atau mobilisasi pejabat atau aparat negara termasuk adanya politisasi bansos dalam proses Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 iya menyampaikan pandangan yang berbeda.

Begitu pula dengan Arief Hidayat, menurutnya dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden/WakilPresiden tahun 2024 terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan intervensi kekuasaan Presiden, adanya politisasi penyaluran perlinsos dan bansos, pengerahan aparat pemerintahan dalam rangka memenangkan paslon tertentu dan diperparah dengan lemahnya pengawasan oleh Bawaslu.

Ketiga hakim MK tersebut memberikan pandangan yang berbeda daripada mayoritas hakim. Meskipun secara kuantitas ketiga hakim tersebut kalah jumlah sehingga  putusan hakim akhirnya menolak dalil dari pada pemohon namun secara kualitas pandangan yang berbeda ini menjadi alarm bagi kondisi demokrasi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja.

Kedewasaan Demokrasi

Ada banyak pakar yang berbicara tentang demokrasi suatu bangsa, namun yang mengkaji kedewasaan berdemokrasi dalam suatu bangsa, Robert Dahl (1985)  berbicara banyak tentang itu. Dalam bukunya "Dilema demokrasi pluralis antara otonomi dan kontrol" dijelaskan bahwa untuk mengukur kedewasaan demokrasi suatu bangsa demokrasi yang dinilai adalah demokrasi prosedural  dan demokrasi substanisal.

Dahl membedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Demokrasi prosedural hanya memerlukan adanya prosedur pemilihan yang bebas dan adil untuk dianggap sebagai demokrasi, sedangkan demokrasi substansial memerlukan lebih dari itu, seperti kebebasan berbicara, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.

Selain itu Menurut Dahl, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan demokrasi yang efektif yakni  (1) Kebebasan berbicara dan asosiasi: Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berorganisasi; (2)Hak untuk memilih: Pemilihan umum harus diadakan secara bebas, adil, dan jujur. (3) Hak untuk bersaing: Partai politik dan kandidat harus memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dalam pemilihan. (4) Pemerataan partisipasi: Partisipasi politik harus merata di antara semua lapisan masyarakat.

Penerapan demokrasi di Indonesia dapat dilihat bahwa hampir sudah sejalan dengan pandangan Dhal tersbut, namun dalam demokrasi substansial ada semacam pengebirian wewenang. Pandangan berbeda dari tiga hakim MK tersebut menunjukkan bahwa dalam demokrasi ada hal yang harus dibenahi.

Adanya politisasi kewenangan untuk kepentingan golongan merupakan bentuk merosot dari demokrasi. Pandangan dari hakim untuk melakukan pencoblosan ulang di beberapa wilayah merupakan poin yang bisa dinilai  bahwa demokrasi kita belum sepenuhnya dewasa. Demokrasi dinilai dewasa apabila di dalam putusan semua hakim setuju menolak permohonan pemohon tanpa ada hakim yang mempunyai Dissenting Opinion.

Karena sehat dan dewasanya  demokrasi tidak hanya dilihat dari kuantitasnya saja. Meskipun mayoritas orang mendukung namun ada suara minoritas menampilkan adanya politisasi proses pemilu sama saja kualitas demokrasi bangsa belum sehat.

Merangkul Lawan Menjadi Kawan

Terlepas dari kemerosotan demokrasi, putusan MK menjadi tanda bahwa pesta demokrasi tahun 2024 telah selesai. Menjadi pekerjaan rumah bagi pasangan terpilih untuk memperbaiki kualitas demokrasi negara ini.

Pascaputusan MK, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, setidaknya harus mampu merangkul pasangan nomor urut 1 dan 3 untuk menjadi kawan karena mengelola negara yang besar ini tidak cukup hanya oleh satu kelompok. Pemenang Pilpres harus mampu merangkul semua rival yang dikalahkannya menjadi kawan dan bekerja bersama dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (Edi Abdullah,2024).

Mengutip pandangan (Edi,2024) pada laman Kompas.id, dalam politik, prinsipnya tidak ada kawan ataupun lawan yang abadi. Hari ini kita berkawan, mungkin esok kita berlawanan. Hari ini kita musuh, mungkin besok kita berkawan. Oleh karena itu, kepentinganlah yang abadi dan kepentingan terbaik adalah mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

Dengan bersatu kita kuat dan dengan bercerai kita runtuh. Hanya persatuanlah yang mampu membuat negara kita menjadi kuat. Tanpa persatuan, maka mustahil tujuan negara adil dan makmur dapat dicapai. Meskipun kita berseberangan, semboyan Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika, 'berbeda-beda, tetapi tetap satu jua'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun