Ketika membaca berbagai media tentang penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi, saya teringat upaya yang telah dirintis pemerintah dalam membangun budaya penelitian sejak dini.Â
Memang membangun budaya riset tidaklah semudah membalik telapak tangan, negara-negara yang unggul risetnya tentu sudah merintisnya sejak lama dan dimulai sejak di pendidikan dasar.Â
Bagaimana dengan Indonesia dalam upaya membangun budaya riset di dunia pendidikan? Pertanyaan ini bisa dijawab dari kurikulum yang digunakan di Indonesia.
Beruntung saya bisa mengajar dengan menggunakan berbagai periode kurikulum, yaitu kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum 2006 dan kurikulum 2013.Â
Dari beberapa kurikulum memang tidak ada yang tersurat pemerintah akan membangun budaya riset pada peserta didik hanya kurikulum 2013 samar-samar mulai nampak akan membentuk budaya riset.
Sebelum kurikulum 2013 guru diberi kebebasan untuk menggunakan metode apa saja dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) asal berorientasi pada belajar siswa aktif (active learning), pemerintah juga pernah menyarankan untuk menggunaan CTL (Contextual Teaching Learning).Â
Dalam implementasi kurikulum 2013 sudah ditentukan pendekatan ilmiah (scientific approach) sebagai pendekatan utama dan strategi bisa bervariasi seperti discovery/inquiry learning, project-based learning, problem-based learning dan coorperatif learning.
Dengan ditentukan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya akan mencoba membangun budaya riset sejak awal dimulai dari pendidikan dasar dan pendidikan menengah.Â
Selama ini memang yang namanya penelitian selalu berkaitan dengan pendidikan tinggi. Karena esensinya pendekatan ilmiah dalam pembelajaran adalah metode ilmiah dalam penelitian.Â
Dalam pendekatan ilmiah pembelajaran yang sintaksnya mengamati, bertanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan/mengolah informasi dan mengkomunikasikan.
Perlu waktu Mengubah Pola Pikir Guru
Pengalaman ketika melakukan monitoring implementasi kurikulum 2013, saya menyimpulkan pemahaman guru terhadap kurikulum 2013 khususnya pendekatan ilmiah masih beragam.Â
Suatu ketika saya pernah mengobservasi guru mengajar dengan menggunakan pendekatan ilmiah pada tahapan akhir, yakni mengkomunikasikan. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan hasil observasi, kebetulan yang dilaporkan proses pertumbuhan kecambah dalam satu minggu.Â
Dengan penuh semangat, siswa tersebut menyampaikan tujuan observasi, alat-alat yang diperlukan untuk menumbuhkan kecambah serta bercerita proses pertumbuhan mulai dari biji kacang hijau sampai menjadi kecambah.Â
Yang menarik, ketika saya menyaksikan presentasi siswa tersebut, ia mampu mencatat pertumbuhan kecambah selama satu minggu dengan cermat dan detail bahkan pertumbuhan tiap sentimeter.Â
Setelah selesai presentasi, kelompok lain menanggapi dengan mengajukan pertanyaan. Sebelum pembelajaran berakhir, guru memberikan penguatan tentang materi yang telah didiskusikan. Akhirnya bel berbunyi, siswa dengan wajah ceria siap-siap mengakhiri pelajaran.
Deskripsi pembelajaran yang menggunakan salah satu tahapan pendekatan ilmiah menunjukkan pemerolehan pengetahuan (knowledge acquisition) dilakukan seperti penelitian ilmiah. Meskipun tahapan penelitiannya sangat sederhana, tetapi dengan cara seperti itu siswa mampu membangun pengetahuan sendiri lewat pengalaman langsung.Â
Dalam implementasi pendekatan ilmiah, guru hanya dituntut sebagai fasilitator memberikan kesempatan siswa untuk belajar. Penggunaan pendekatan ini membantu siswa memahami proses metode penelitian dalam bentuk yang paling sederhana karena mulai digunakan pada jenjang sekolah dasar (SD).
Pada kesempatan lain, ketika saya melaksanakan observasi kelas yang gurunya sebenarnya ingin menggunakan pendekatan ilmiah tetapi kelihatannya siswa belum terbiasa dengan cara belajar seperti itu.Â
Ada kesan pembelajaran sudah di-setting sebelumnya ketika ada supervisi implementasi kurikulum 2013. Kelas seperti ini biasanya guru lebih mendominasi dalam proses pembelajaran dan menggunakan cara yang lebih cepat, yaitu ceramah.Â
Setelah selesai observasi pembelajaran saya berusaha menemui gurunya menggali lebih mendalam mengapa pembelajaran dapat berjalan seperti itu.Â
Dijelaskan berkali-kali saja siswanya belum paham apalagi tanpa dijelaskan dan sebagian besar siswanya rendah motivasinya. Inilah argumentasi gurunya dalam mencoba menggunakan pendekatan ilmiah.Â
Memang dalam pendekatan ilmiah diharapkan siswa mampu menemukan sendiri pengetahuannya yang dalam kurikulum 2013 terkenal istilah "siswa diharapkan mencari tahu bukan diberitahu."
Dalam setiap pergantian kurikulum khususnya metode pembelajaran sebagian besar guru sudah berupaya untuk menggunakan metode baru, namun masih ada juga guru yang tetap menggunakan metode lama, yaitu ceramah.Â
Perlu waktu lama untuk mengubah pola pikir (mindset) guru yang sudah terbiasa dengan metode mengajar prakmatisme, menyampaikan materi dengan ceramah yg tidak perlu ribet dan cepat setelah itu memberikan tes.Â
Untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) memang agak sulit, apalagi diminta untuk berubah atau beradaptasi sesuatu hal yang baru perlu dipaksa agar perubahan itu bisa berhasil.Â
Asumsi saya terhadap implementasi kurikulum 2013 yang secara tersirat akan membentuk budaya riset di sekolah-sekolah belum sepenuhnya berhasil, tetapi upaya itu telah dilaksanakan.Â
Budaya riset tidak bisa tumbuh dan berkembang sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah. Oleh karena itu momen penggabungan Ristek ke Kemendikbud sangat tepat untuk mendekatkan antara pendidikan dan riset.Â
Dengan demikian ke depan akan terbentuk budaya riset dan akhirnya melahirkan periset-periset unggulan meski kita masih menunggu lima sampai sepuluh tahun lagi.Â
Membangun budaya riset dengan pendekatan ilmiah dalam kurikulum 2013 bukan bermaksud akan menghasilkan lulusan sekolah yang ahli dalam penelitian karena memang tidak ada pelajaran metode penelitian.Â
Yang diharapkan adalah para siswa memiliki rasa ingin tahu (sense of curiosity) yang tinggi, memiliki sifat kritis, berpikir secara rasional dan mengungkapkan pemikiran secara sistimatis. Hal-hal seperti itu merupakan karaktersitik dari metode penelitian.Â
Kita sadar bahwa membentuk budaya riset tidak mudah dan perlu waktu lama, tetapi yang penting kita sudah mencoba. Semoga budaya riset bisa terealisasi lewat pendidikan dasar dan menengah. Aamiin.
Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Pati, 14 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H