Dalam realita sosial, penyakit yang biasa dirasakan oleh masyarakat tidak melulu soal fisik, namun mental illness atau gangguan mental juga memiliki dampak buruk yang cukup fatal jika tidak diperhatikan. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa mental illness adalah sesuatu yang tidak begitu genting untuk dikonsultasikan, maka tidak heran bahwa penelitian WHO (World Health Organization) mengatakan mental illness biasanya menyerang 20% anak-anak dan remaja. Bahkan, dikutip dari https://communication.binus.ac.id/ hamper 800.000 tiap tahunnya banyak kasus kematian yang disebabkan oleh bunuh diri dan korbannya rata-rata berumur 15-20 tahun. Hal ini menjadikan bahwa kasus bunuh diri menjadi kasus paling marak nomor 2 di Indonesia. Karakteristik dari mental illness sendiri cenderung lebih memengaruhi cara berperilaku dan karakter seseorang yang berbeda dari orang biasanya. Buruknya, mental illness sering disangkutpautkan dengan adanya factor kurangnya pendekatan iman, bahkan kerasukan setan. Padahal, mental illness cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti lingkungan sosialnya atau keluarganya.
Mental illness sendiri memiliki beragam penyakit kejiwaan yang telah dikenal secara umum, seperti gangguan kecemasan, overthinking, gangguan obsesif kompulsif (OCD), gangguan stress pascatrauma (PTSD). Terkait penyakit-penyakit tersebut perlu ada penangan lebih lanjut oleh psikiater dan tidak dapat dibiarkan. Dampak dari mental illness yang terlalu dibiarkan bahkan malah diberikan tekanan atau penanganan yang tidak sesuai, mampu merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Dampak dari mental illness biasanya untuk perempuan cenderung mengalami depresi atau gangguan kecemasan, bahkan mampu berpotensi bunuh diri. Selain itu, biasanya dampak mental illness yang dialami laki-laki seperti ketergantungan zat-zat tertentu sebagai pelampiasan dari rasa stressnya. Bahkan, dampak paling fatal dari mental illness adalah jika merugikan sesama juga seperti pembunuhan sebagai pelampiasan atas gangguan kejiawaannya itu. Selain itu, dampak dari mental illness khususnya untuk penderita skizofrenia (gangguan kejiwaan yang mana penderitanya berpikir, berperilaku, dan berbicara di luar kenyataan atau realita/halusinasi), biasanya penderita cenderung mengalami delusi, paranoia, atau halusinasi. Bahkan hingga mendengar suara atau memercayai sesuatu yang tidak benar. Gejala dari penderita mental illness secara umum, juga adanya perubahan emosi yang drastis dan perubahan suasana hati yang drastis sehingga memengaruhi hubungan dengan orang lain. Selain itu, beberapa pasien pengidap mental illness memilih untuk menarik dari kegiatan-kegiatan bermasyarakat (cenderung tertutup).
Dari penjabaran di atas, mental illness terbukti sangat penting untuk diperhatikan. Mengapa demikian? Karena selain dampak mental illness ini merugikan diri, namun mampu merugikan orang lain melalui hingga yang terburuk adalah tindakan kriminalitas, seperti membunuh. Bahkan, dampak dari mental illness juga mampu membawa seseorang untuk ketergantungan dengan obat-obat tertentu, entah itu zat narkotika atau terkena overdosis. Mental illness yang tidak segera langsung ditangani akan membuat pasien semakin kumat. Contohnya, seperti kasus Isabella Guzman yang dilansir oleh https://news.detik.com/ dikutip bahwa ia telah menikam ibunya sebanyak 31 luka tusukan di wajah dan 48 luka tusukan di leher sesuai hasil otopsi. Meski awalnya Isabella didakwa atas dugaan pembunuhan tingkat pertama, namun menurut hasil keputusan siding, Isabella dinyatakan tidak bersalah karena ia mengidap penyakit gangguan kejiwaan, yaitu skizofrenia paranoid menurut hasil pemeriksaan Institut Kesehatan Mental Colorado di Pueblo. Dalam penyakitnya itu, Isabella sering terlihat sedang tertawa dan berbicara sendiri kata Dr. Richard, ia pun juga tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Dilansir dari WebMD, penyakit skizofrenia paranoid adalah gangguan psikosis yang mampu memengaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang. Fokus dari pasien yang mengidap penyakit ini adalah menaruh ketakutan dan kecemasan yang sangat besar terhadap seseorang, sehingga ia memikirkan bagaimana caranya melindungi diri dari hal-hal yang dicurigai, padahal belum tentu bahwa realitanya adalah sesuai yang terdapat di dalam pikirannya.
Solusi untuk mental illness ini sendiri memang harus ada penangan medis, entah itu melalui obat-obatan sesuai anjuran dokter ataupun psikoterapi oleh psikiater. Namun, mental illness dapat dikondisikan apabila tanpa penanganan medis, seperti menjaga mood penderita agar tidak kumat, seperti memberikan energi positif agar memiliki perasaan bahagia atau senang. Selain itu, penderita juga wajib diperlakukan secara normal seperti masyarakat pada umumnya, jangan malah dijauhi atau dipojokkan karena kondisinya karena hal ini mampu memicu rasa kekesalan, keresahan, kecemasan, ataupun ketakutan, tentu saja hal tersebut dilakukan agar penderita merasa dihargai dan tidak merasakan kesendirian. Selain itu, memberikan ruang kepada mereka untuk bercerita atau terbuka seluas-luasnya, hal ini bertujuan agar kita dapat memahami apa yang diinginkan penderita dan mengingatkan mana yang baik dan salah kepada penderita untuk dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H