Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (7)

26 Agustus 2011   03:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

2. Bukan Cinta Biasa

SEKOLAH usai. Anak-anak TK Aisyiyah berhamburan keluar. Sambil mengantar ke halaman depan, guru pengasuh sibuk mengatur dan menertibkan mereka. Di antara mereka nampak Efril, putri Nurjana. Menemukan mamanya di antara orang tua dan para penjemput lainnya yang sudah menunggu di halaman induk perguruan, gadis cilik secantik ibunya itu berseru riang, “Mamaaa!”

Nurjana menyambut putrinya dengan senyum hangat. Efril mencium tangan mamanya lalu melapor. “Ma. Efril mau beli kado. Nanti sore Meri ulang tahun. Efril mesti dateng. Semua juga diundang. Boleh Ma ya?”

“Undangannya mana?” tanya si mama dengan senyum tersungging.

Efril mengerluarkan kartu undangan ultah yang cantik dan lucu dari tasnya lalu menyerahkan ke mamanya, “Nih!” Nurjana mengambil, membuka dan membaca isinya. Bu Eka, guru Efril, datang menghampiri lalu mengusut, “Efril kenapa Nak?”

Nurjana mendongak lalu menyahut sambil tersenyum akrab. “Ngelapor. Mau beli kado. Temannnya mau ulang tahun.”

“Ooo si Meri ya,” sahut si ibu guru maklum. “Iyalah. Tadi Mamanya ke sini ngasih undangan. Semua juga di undang. Datanglah sama Mamanya. Ajak Oomnya juga ndak apa-apa. Biar semua pada kenal.”

Berkata demikian Bu Eka senyum TST. Tentu saja Nurjana paham apa maksudnya. Dan itulah yang mengagetkan dia: kok sudah sampai ke sekolah? Siapa pula yang bawa bocoran? “Ngundang-ngundang, ya,” bisik si bu guru sambil merapat.

“Aduh Bu Eka. Dapat info dari mana? Kok bisa-bisanya minta diundang? Habis nonton Kabar Kabari ya?” sahut Nurjana dengan wajah merona. Tentu saja Efril penasaran siapa yang dibicarakan mama dan ibu gurunya. “Siapa Ma?”

Nurjana tak ingin memperpanjang cerita. “Maksudnya Bu Eka, Oom Edonya. Sekalian diajak nemanin Efril ulang tahun. Biar temen-temen Efril pada kenal. Tapi kan Oom Edonya di sana. Masak iya sih mau diajak ulang tahun?”

Soal itu mah Efril sudah tahu. Yang dia usut justru yang satu ini: “Kok Bu Eka minta diundang? Memangnya Oom Edo mau ulang tahun ya?”

Tuh kan Bu Eka. Sudah tahu nih anak bawel masih juga ngegosip. “Maksudnya Bu Eka, kalau Oom Edonya ulang tahun. Tapi kan Oom Edonya udah gede. Masak iya sih mau ulang tahun segala?”

“Ooo kirain Oom Edo mau ulang tahun,” Efril akhirnya maklum.

“Ya udah,” putus mamanya, “sekarang kita jemput Abang dulu, baru beli kado. Yuk!”

Repot memang. Anak-anak ini masih terlalu hijau untuk segera memahami kenapa si Mama dan si Oom, yang sudah seperti kakak-adik, harus cetak undangan. Ini tidak seharusnya terjadi, tapi soalnya: apa itu berarti harus tidak?

HUBUNGAN kakak-adik itu terjalin ketika Ipda Ali Redo, setelah diwisuda oleh almamaternya, ditugaskan di Polresta setempat.

Bukan kebetulan bila Nurjana sekeluarga bisa kenal si Oom. Wahyudi, suami Fitri, adiknya, yang bekerja di sebuah bank pemerintah di sana, masih sekampung dengan Edo. Sebelum bergabungdengan rekan-rekannya di asrama, hampir dua bulan si Oom mondok di rumah adik iparnya itu. Dan, setelah tinggal di asrama, rumah Wahyudi jadi persinggahannya. Tempo-tempo dia menginap, tempo-tempo dia menghabiskan malam Minggunya di sana. Dari situ mereka saling mengenal.

Semakin jauh mengenal si Oom, Nurjana dan Usman, suaminya, semakin respek. Ternyata Oom Edo bukan polisi biasa. Ia bukan hanya jebolan pesantren, tapi juga hafiz Quran 30 juz. Sebagai pribadi dia simpatik, sebagai calon petinggi polisi dia sangat rendah hati.

Rupanya, si Oom bukan anak pejabat atau pengusaha. Ayahnya hanya sopir bus, ibunya sudah meninggal sesaat setelah melahirkan dia. Ketika berusia 3 tahun, ayahnya menikah lagi. Karena adik tirinya banyak, menjelang SD dia diasuh oleh pamannya. Lalu, setamat SD, oleh pamannya dia disekolahkan ke pesantren.

Dia, katanya, bukan tidak berminat melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tapi dia tidak ingin membebani pamannya. Dia ingin mandiri, syukur-syukur bisa membantu ayahnya menyekolahkan adik-adiknya.

Maka, atas restu Kiai pondok, dia membulatkan tekad ikut test penerimaan calon taruna Akademi Kepolisian. Modalnya cuma otak, kesehatan jasmani dan rohani, serta kedekatannya dengan Tuhan.

Ternyata sholat hajat, tahajud, doa khusuk dan tawaduk, serta tadarusan Al Quran yang dia kerjakan hampir setiap malam, membuahkan hasil yang mencengangkan. Dia berhasil lulus, tanpa duit sesen pun apalagi beking jenderal atau kolonel. “Seandainya saya nabi,” kelakarnya, “mungkin itulah mukjizat saya.”

Usman, staf pengajar IAIN yang dipercaya memimpin Pondok Pesantren Darul Ulum, merasa pucuk dicinta ulam tiba. Sudah lama dia mencari hafiz Quran 30 juz untuk membina santri-santrinya. Dia pun meminta si Oom membantunya.

Edo, yang ditempatkan pimpinannya di seksi bina mitra dan karena itu dituntut menjalin kemitraan terlebih dengan institusi strategis seperti pondok pesantren, tak kuasa menolak permintaan itu. Apalagi untuk itu Darul Ulum susah payah menyediakan fasilitas sepeda motor dan rumah di lingkungan pondok.

Itulah tali kedua yang mempererat hubungan mereka. Sebagaimana rumah Wahyudi, rumah mereka menjadi persinggahan si Oom. Tempo-tempo dia menginap, tempo-tempo dia menghabiskan malam Minggunya di sana. Dan, sebagaimana Wahyudi dan Fitri, Usman dan Nurjana menjadi abang dan kakak semangnya. Bahkan, bersama Nurjana, dia sempat menjadi kafilah MTQ tingkat nasional. Mereka berhasil meraih predikat terbaik I dan II, masing-masing untuk cabang tahfizil Quran dan tilawah dewasa wanita. Sampai dia dimutasi ke Polres kabupaten pemekaran.

Usman sangat menyayangkan pemutasian itu. Ia langsung menghadap Kapolres, mohon pertimbangan. Walaupun yang meneken Skep mutasi Pak Kapolda, tapi tentunya itu atas pertimbangan Pak Kapolres. Lalu, apa salah Edo hingga dia dimutasi?

“Yang bilang dia salah itu siapa?” Pak Kapolres balik bertanya. “Pak Usman, mutasi itu awal promosi. Yakinlah, setahun di sana, dia dilantik jadi Kapolsek. Pak Usman nggak suka karirnya berkembang?”

Usman pun dengan berat hati melepas Ali. Acara perpisahan diadakan di pondok, perwira polisi muda, tampan, inosen dan rendah hati itu diantar ke tempat tugasnya yang baru setidaknya oleh satu sedan, dua truk dan tiga bus — bak Melayu berangkat haji. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun