Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (3)

22 Agustus 2011   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:34 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Edi pun kalap. “Kubunuh kau!” radangnya. Jika saja Budi dan kawan-kawan tak mampu menguasainya, sangat mungkin esok harinya Propost terbit dengan berita kriminal: “Karena Terbakar Emosi Edison Kalap Membacok Yunita”.

Besoknya, dua anggota Polresta datang menemuinya. Bukan membawa surat perintah penahanan, tapi membawa surat pribadi Pak Kapolres. “Percayalah, ini sekedar sandiwara. Saya sudah siapkan sel khusus untuk Bang Edi,” tulis si bapak.

Meski pernah berminat menjadi aktor, Edi merasa bukan saatnya dia bermain tonil atau komedi stambul. Kalau betul secara hukum dia salah, sudah seharusnya Pak Kapolres melindunginya. Upeti yang dia berikan sudah ratusan juta, kalau tidak sekarang kapan lagi si bapak mau membalasnya?

“Persoalannya enggak segampang itu, Bang,” ujar Aipda Toni Sabara. “Siapa pun orangnya, yang kita hadapi anggota dewan. Sekarang ini, yang namanya dewan, sama dengan dewa. Salah-salah Bapak kepental. Bang Edi mau Bapak dicopot?”

Akhirnya Edi kompromi. Dia memenuhi panggilan untuk dimintai keterangan, terkait laporan penganiayaan dan penghinaan yang disampaikan Yunita. Untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut, dia ditahan di Mapolres.

Ita, sebenarnya, tak perlu memperkeruh situasi dengan mengecek langsung ke Mapolres apa betul Edi disel. Secara hukum Edi memang salah, tapi secara moral jelas dia tercela. Publik tahu itu dan dia sendiri tak bisa mengingkari nuraninya. Tapi, merasa di atas angin, dengan arogan dia sidak ke Mapolres. Polres, yang baru mendapat bocoran 20 menit terakhir, kalang kabut mengatur siasat jangan sampai ketahuan Edi diperlakukan istimewa.

Menemukan Edi terjepit di antara puluhan tahanan lain di sel sempit itu, Ita puas lalu maju bermuka-muka. Lantas, dengan wajah tanpa dosa, dia melontarkan cercaan itu: “Ngaca! Jangan jelek-jelek nggak tahu diri! Kamu pikir kamu siapa?!”

Edi, yang sudah diwanta-wanti Pak Kapolres, hanya bisa menelan ludah. Ita berlalu dengan pongahnya dan Pak Kapolres hanya bisa geleng kepala. Bertolak meninggalkan sel membuntuti sang anggota dewan, dia memberi isyarat agar Edi bersabar.

Dua hari kemudian ribuan massa unjuk rasa di halaman Mapolres. Selain menuntut Edi segera dibebaskan, para pengedar togel, pedagang miras, pentolan LSM, wartawan muntaber, preman pasar dan ratusan simpatisan Edi yang dikoordinir Budi dan kawan-kawan, juga menuntut Polres segera mengusut dugaan korupsi di DPRD.

Kapolres, yang langsung berdialog dengan mereka, berjanji akan menyelesaikan kasus Edi secara kekeluargaan. Tapi untuk itu mereka diminta bersabar.“Percayalah, Bang Edison enggak apa-apa. Ini sekedar salah paham. Sebentar lagi beliau akan kembali ke tengah kalian,” ujar si bapak persuasif.

Soal dugaan korupsi di DPRD, Polres tak bisa bertindak gegabah. Polres perlu bukti dan itu harus memenuhi tiga unsur: penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri, dan merugikan negara. “Kalau kalian punya bukti, silahkan lapor ke kami. Biar segera kami tindak lanjuti,” ujar Pak Kapolres.

Bertolak meninggalkan Mapolres, mereka long march ke kantor DPRD. Di sana mereka menggelar orasi, meneriakkan berbagai ketidakberesan. Mulai dari integritas pribadi anggota dewan, sampai indikasi korupsi yang merebak di sana: perjalanan dinas fiktif, mark-up dana studi banding, bisnis anggota dewan, keterlibatan oknum DPRD dalam penyimpangan distribusi BBM subsidi. Akhirnya, mereka menuntut Ita Mustika mencabut laporannya.

Tak ayal, rapat pimpinan fraksi mendadak digelar. Hasilnya: Ita harus mencabut laporannya. Mendapat tekanan dari sana-sini, akhirnya Mustika takluk. Surat pencabutan laporan dia teken, Edi hari itu juga dibebaskan, dan rakyat dibuat semakin bingung: sebenarnya, ada apa dengan wakil mereka?

Peristiwa itu jelas merugikan Mustafa dan partainya. Selain duit bejibun, Edi punya banyak massa. Jelas, itu modal yang sangat berharga untuk pemilu mendatang. Maka dia pun membujuk Edi rekonsiliasi dengan Ita. Edi menolak keras. “Sampai mati pun Edison tidak akan pernah memaafkan dia!” serunya. Selanjutnya: tidak ada lagi kontribusi dana untuk partai. “Kecuali iblis itu angkat kaki!” tandasnya.

Karena Edi ogah berdamai, akhirnya Mustafa cari selamat. Dia berjanji akan mendepak Ita, tapi Edi harus membantunya mendanai partai. Dewan harus dikuasai, agar “bisnis” aman dan lancar. Lagi pula, kelakarnya, Edi layak jadi walikota. Untuk itu kendaraan politik mutlak diperlukan. Sementara, setelah dilantik, dukungan parlemen jelas menentukan umur kekuasaan.

Karena Ita masih juga bercokol, Edi bersikukuh tidak mau mengucurkan dana. Baik untuk membenahi kantor DPC, atribut partai, pembinaan kader, maupun tetek bengek lain. Sampai datang proposal turnamen voli itu, setahun kemudian.

Tiga pekan setelah proposal itu dia tolak, beredar isu bahwa AMAT (Aliansi Masyarakat Anti Togel) akan menggelar demo besar-besaran menuntut pemberantasan togel sampai ke akar-akarnya. Mereka akan melibatkan semua elemen, mulai dari organisasi keagamaan sampai ibu-ibu rumah tangga. Mereka akan turun ke jalan, lalu orasi di Pemkot, DPRD, dan Mapolres.

Edi segera mengontak Akian, bandar togel terbesar setelah dirinya. Lusanya, para pengedar togel, yang sudah mereka himpun kedalam Forum Silaturrahmi Pengedar Togel atau Forsidagel, menggelar pertemuan. Hasilnya: mereka siap menggelar demo tandingan!

Karena sarat muatan politik dan berdampak luas terhadap kamtibmas dan itu berarti menyangkut kepentingan publik, Propost menganggap perlu memuat berita itu. Karena yang bakal bentrok rakyat vs rakyat, tentunya wakil rakyat perlu diminta tanggapannya.

Bukan maksud harian itu untuk mengadu domba bila yang mereka wawancarai Ita Mustika. Dia memang duduk di komisi A, yang membidangi pemerintahan. Dan ketika wartawan Propost datang ke DPRD, dari enam anggota komisi hanya Ita yang ada di tempat.

Ita pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Mestinya Polres bertindak tegas!” serunya lantang. “Tangkap Edi sama Akian, jeblos ke penjara! Selesai! Orang jelas-jelas mereka bandar togel, kok. Demo tandingan itu kan mereka yang ngatur.”

Kenapa Polres tak kunjung bertindak tegas, katanya, karena mereka kebagian rezeki. “Habis, kalau nggak, kenapa Edi sama Akian bebas membandari togel, sampai mengorganisir pengedar kedalam forum silaturahmi segala?”

Merasa diserang, Pak Kapolres, ketika dikonfirmasi, melepaskan “timah panas”. “Jangan cuma mengkritik. Berikan solusi. Asal Anda tahu. Yang namanya kompetisi sepak bola, pengiriman tim Piala Suratin, pengiriman tim Porda, pembinaan Galanita, semua diback-up Edi dan Akian. Bukan APBD!” tandasnya gerah.

Merasa terkena bidikan, Pak Wako, yang juka ketua KONI, menangkis. “Yang saya tahu, Pak Edi sama Pak Akian itu pengusaha legal. Punya badan hukum, punya NPWP, punya usaha yang jelas. Wajar kan kalau mereka kita minta sumbangsihnya untuk memajukan olah raga di daerah ini,” kilahnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun