Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selingkuh Akidah (8)

9 September 2011   00:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Datanglah gejolak politik. Karena tidak kebagian proyek PDAM, seorang pengusaha menggerakkan sejumlah preman, tokoh pemuda dan LSM menggelar demo untuk mempermalu Pak Wako menjelang kujungan Wapres. Karena togel sedang gila-gilanya, togel mereka gunakan sebagai bola. Berbagai elemen berhasil mereka galang, termasuk kampus dan sekolah. Kecuali Darul Ulum.

Mencurigai pondok Usman disuap, Imron, promotor demo, bersama tiga rekannya, mendatangi Drs H Arifin Zarkasih, MM, pensiunan pejabat yang aktif di parpol dan duduk di DPRD propinsi, pendiri sekaligus pengurus yayasan Darussalam, pemilik Darul Ulum. Menunjuk surat jawaban yang diteken Usman, Imron pun menghujat, “Berapa Darul Ulum disuap?”

Tentu saja Pak Haji, yang sedang mempersiapkan diri untuk ikut pemilihan bupati di daerah kelahirannya, membantah pondoknya disuap bandar togel. “Lha wong saya sendiri ketua yayasannya kok. Masak iya saya ndak tahu? Lagi pula masak iya sih pesantren terima duit togel?”

“Herannya, Pak Haji,” sungut Imron, “justru Darul Ulum sendiri yang menolak memberikan dukungan. Padahal semua sekolah umum, termasuk SLTP, siap turun ke jalan. Lalu Darul Ulum ini pesantren macam apa?! Pesantren orang munafik yang membiarkan kemungkaran merajalela di sekeliling mereka, begitu?!”

Haji Arifin pun dibuat repot menjelaskan bahwa sesuai ART, pimpinan pondok berwenang penuh mengatur rumah tangga pondok. “Nah cuma, untuk hal-hal seperti ini,” ujar Pak Haji, “mestinya pimpinan pondok ngomong dulu dengan yayasan.”

“Justru itu Pak Haji yayasan harus tanggap!” ujar Imron sengit. “Jangan biarkan pimpinan pondok bersikap semaunya! Jangan lupa, Pak Haji orang partai. Apapun sikap pondok, jelas akan berdampak ke partai Pak Haji. Pak Haji mau partai Pak Haji ditunding beking togel?”

Besoknya, bersama tiga dedengkot yayasan, yang semuanya orang partai, Haji Arifin mendatangi Usman ke pondok. Pondok gerah. Dengan absen dan notulen rapat yang diteken 27 ustadz dan 5 ustadza, Usman mematahkan tundingan dia mengambil keputusan sendiri. Sesuai mekanisme, keputusan diambil melalui rapat pimpinan pondok dengan dewan guru. Pak Haji tak mau tahu.

“Kita tidak bicara mekanisme, Pak Usman. Kita bicara dampak. Dampak politik keputusan yang diambil berdasarkan mekanisme itu. Baik terhadap yayasan, pengurus, maupun pondok sendiri. Semua sekolah umum, mulai dari SLTA sampai SLTP, siap turun ke jalan. Darul Ulum sendiri yang menolak memberikan dukungan. Lalu Darul Ulum ini pesantren macam apa?!”

Usman seperti mau mengurut dada. “Pak Haji. Tugas pondok mencegah kemungkaran dengan pendidikan, bukan dengan mengirim santri ke jalan. Lagi pula, nonsen kalau semua sekolah siap turun ke jalan. Saya sudah kontak tiga puluh sekolah. Semua membantah memberikan dukungan. Kampus juga ndak semua. Saya sudah cek ke BEM Muhammadiyah dan IAIN. Mereka juga menolak memberikan dukungan. Mereka tahu ini bukan fisabilillah, tapi buntut rebutan proyek. Isu keagamaan dijual, untuk mencoreng muka Walikota menjelang kunjungan Wapres. Lebih penting lagi, kalau kita sudah bicara dampak politik, kita sudah mempolitisir lembaga pendidikan. Untuk Pak Haji ketahui, orang-orang togel siap menggelar demo tandingan. Kalau unjuk rasa itu digelar, bentrok pasti akan terjadi. Yang saya khawatirkan, gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Kalau pelanduk yang mati itu santri Darul Ulum, siapa yang akan bertanggung jawab ….?”

Haji Arifin bungkam. Usman terpaksa bicara tajam. “Saya, terus terang saja, ndak sanggup. Kalau ada yang sanggup, silahkan! Saya ikhlas. Sekarang juga saya meletakkan jabatan!”

Rupanya, di saat yang sama, di ruang kerjanya di kantor Walikota, Pak Wako mencak-mencak di hadapan Imron dan ketiga rekannya.

“Bung! Kalau mau jadi pejuang belajar dulu! Biar kalian tahu yang mana fisabilillah yang mana feasibility! Yang mana malaikat yang mana iblis! Biar kalian ndak diperalat orang! Kalian pikir dapat apa kalian kalau proyek PDAM itu jatuh ke tanganGufron?Komisi?Saham kosong?Bung!Jangan ngimpi kalian! Kalau dia peduli kalian, kalian ndak bakalan dia jadikan umpan!”

Imron dan ketiga rekannya bungkam. Sepertinya, di hadapan Pak Wako, tensi mereka turun drastis. Justru tensi Pak Wako yang melonjak tajam.

“Jadi sudahlah. Kita ndak usah adu kekuatan. Ndak ada gunanya. Yang rugi kita semua. Darah kita tumpah, judi tetap merebak di mana-mana. Yang untung cuma Gufron. Dia puas, sudah mempermalu Walikota menjelang kunjungan Wapres. Kalau kalian mau fisabilillah, datangi umat door to door. Ajak mereka menjauhi judi. Kalau kalian berhasil, togel mati sendiri! Kalau kalian mau duit, bilang terus terang! Jangan agama yang kalian jual! Kalian pikir aku gentar menghadapi kalian? Bung! Kalau takut digertak preman, Abu Bakar Idrus ini ndak bakalan duduk di kursi panas ini! Ngerti kalian?!”

Pak Wako mengambil dua gepok uang pecahan Rp 100 ribu dari laci mejanya lalu melemparkannya ke hadapan Imron dan rekannya. “Itu yang kalian cari? Ambil!”

Sementara tamunya jelalatan melirik uang di meja, Pak Wako mendesis setengah meradang: “Bilang sama Gufron! Kalau dia jantan temui aku kesini! Jangan main belakang!”

Tak sampai sepuluh menit kemudian Imron dan ketiga rekannya sudah keluar dengan wajah tak segarang ketika mereka masuk. Melihat gelagat itu, pegawai Sub Bagian Protokol Pemkot yang ngumpul di luar ruangan diliputi ketegangan, mengulur nafas mereka yang tertahan.

Sejak itu tak terdengar lagi cerita demo togel. Yang terdengar kemudian cerita tentang perubahan nasib seorang perjaka lapuk berparas jelek yang mengasingkan diri di gubuk deritanya di pinggiran kota. Enam kali berturut-turut kena togel dengan nilai pasangan masing-masing Rp 1 juta, dia meraup rezeki hampir Rp 13 miliar.

Usai menggelar pesta “Selamat Tinggal Gubuk Derita”, Edi Bopeng mengirim Jayak dan Anton ke rumah Nurjana. “Ini titipan untuk Kak Jana,” ujar Anton sambil menyerahkan sehelai amplop. Tidak menemukan alamat pengirim, Nurjana buruan mengusut, “Dari siapa ini???”

“Bang Edison,” jawab pemuda itu berdebar.

Tentu saja Nurjana kaget. Edison???

“Baliau maklum kalau Kak Jana sudah lupa. Yang jelas, beliau ndak pernah melupakan Kak Jana. Makanya beliau titip ini. Sekedar mengingatkan, beliau pernah hadir di tengah Jana. Dulu, di bangku SMA,” jelas Anton tendensius.

Barulah Nurjana jelas Edison dimaksud. Di sekolah dulu Edi memang top, terutama karena cacat celanya. Nurjana juga tahu Edi feeling sama dia, walau yang bersangkutan tidak pernah berterus terang. Persoalannya sekarang: ada apa dengan Edi? Kok tiba-tiba melayangkan amplop? Terus, isinya apaan?

Tamunya kabur, amplop segera dia buka. Ternyata isinya tabanas Rp 50 juta disertai sepucuk surat. Membaca isi surat seketika Nurjana terguncang.

Rp 50 juta. Satu kali pakai. Di kasur empuk di kamar VIP hotel berbintang. Dan itu cukup 30 menit, sekedar memuaskan rasa penasaran. Rasa-rasanya, tarif artis bispak sekali pun belum tentu semahal itu. Haruskah rezeki nomplok ini ditolak?

“Ya Allah,” desah perempuan itu usai sholat zuhur, “peliharalah imanku, kehormatanku, rumah tanggaku, cintaku terhadap suami dan anak-anakku. Kokohkanlah rasa qona’ah dalam sukmaku, jadikanlah aku hamba yang senantiasa mensyukuri nikmatMu.”

Malamnya kamar VIP hotel Alaska diketuk. Edi buruan membuka pintu. Pintu terkuak, miliarder togel itu kaget. Yang datang bukan Nurjana, tetapi lelaki muda berwajah inosen dan simpatik. Dan dia lebih kaget lagi ketika amplop yang diserahkan lelaki muda itu dia buka. Ternyata isinya samimawon dengan yang dia kirim ke Nurjana. Karuan saja dia melotot, “Anda apanya ….?”

“Saya tetangganya, Bang. Kebetulan saya pernah kerja di sini, tahu banyak tempat ini, jadi beliau minta tolong saya nganterin ini ke Bang Edi,” jelas Ali Redo iyaiyanya.

Tentu saja Edi Bopeng tak percaya begitu saja tamunya tetangga Nurjana. “Jangan ngarang kamu!” desisnya. “Kamu pasti pacar gelapnya!” tudingnya penasaran. “Iya kan?!”.

“Bang,” sahut Edo lunak. “Saya kenal persis siapa Mbak Jana. Jangankan pacar gelap, pikiran gelap juga enggak. Tolong, jangan fitnah beliau.”

Edi mencermati tamunya. “Betul kamu tetangganya?”

“Yaiyalah, Bang. Kalau enggak dari mana dia kenal saya?”

Edi menariknya masuk. Lantas: “Kamu tahu apa ini? Ndak tahu kan? Nih! Baca!”

Edo memaksakan diri memenuhi kehendak Edi. Amplop dia buka dan dia pun pura-pura kaget membaca isi dokumen itu. Edi teriak iyaiyanya. “Lima puluh juta! Satu kali pakai! Dan itu cukup tiga puluh menit! Dan dia menolak, tanpa kalimat sepotong pun! Tolol bukan?”

Mengembalikan dokumen itu ke Edi, Edo “menggeliat”. “Sebenarnya masih banyak kerjaan lain yang harus saya beresin ketimbang resek sama urusan orang. Tapi, karena Bang Edi udah open door, saya terdorong masuk. Boleh saya nanya, Bang ….?”

“Kenapa tidak? Silahkan! Tanya aja! Sepuasnya! Mau nanya apa?”

“Kalau Bang Edi mau,” ujar Edo, “dengan duit segitu Bang Edi bisa long time dengan lima perawan tulen. Lalu, kenapa Bang Edi ngusik istrinya orang, punya anak dua, ibu rumah tangga baik-baik ….?”

“Bung!” teriak Edi dramatis. “Nurjana itu citra terindah di masa lalu saya! Bertahun-tahun saya bermimpi bisa meremas jemarinya, merasakan geletar bibirnya, menikmati butir keringatnya di malam pertama! Sayang saya bukan hamba pilihan! Tampang saya berantakan, hidup saya jomplang! Jangankan bidadari surga seperti dia, kerak neraka pun pikir panjang saya ajak bercinta!”

Pahamlah Edo duduk perkaranya. Rupanya, masa remaja miliarder togel yang sedang menjadi buar bibir ini kurang bahagia: naksir Nurjana, dia laksana pungguk merindu bulan.

“Makanya,” aku Edi setengah bangga, “begitu saya punya uang, saya sanggup bayar berapa saja untuk mencicipi dia! Bukan mau menjadikan dia budak nafsu, tapi sekedar memuaskan rasa penasaran saya: seperti apa sih rupa dan rasa kewanitaannya dia? Setelah itu sudah, saya enggak akan mengusik dia! Sederhana bukan ….?”

Edo tersenyum masam. “Itu menurut sampean, Bang Edi,” sahut hatinya. “Dasar sampean edan, enggak bisa membedakan yang mana yang hak yang mana yang batil. Kalau yang begituan dibilang sederhana, terus yang ruwetnya itu yang gimana ….?”

Edi memutus. “Tapi sudahlah. Kita enggak usah berpanjang-panjang. Sekarang begini aja. Kalau situ mau duit, bujuk dia memenuhi permintaan saya! Kalau situ berhasil, saya kasih situ lima puluh juta!”

Meluncur ke lemari, Edi mengambil lima gepok uang pecahan Rp 100 ribu. Lalu, sambil melempar uang itu ke tempat tidur, dia berkata yakin, “Nih!”

Edo terpaku. Bung, 50 juta. Bila Anda pegawai negeri golongan III dengan masa kerja tiga tahun, Anda butuh waktu tiga tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dan selama itu Anda harus puasa. Kini uang itu ada di depan mata dan Anda memerlukannya untuk beli motor, mengirim orang tua, paman, dan adik-adik.

Tapi Nurjana lebih-lebih lagi memerlukannya. Gaji suaminya pas-pasan, mereka punya anak yang harus dikasih makan. Dan dia menolaknya. Dan untuk itu dia tidak perlu masuk pesantren, hafal Quran 30 juz, lulus Akademi Kepolisian. “Ya Allah,” desah lelaki muda itu usai sholat tahajud, “karuniailah hamba jodoh perempuan istiqomah seperti Mbak Jana.”

Dua pekan kemudian, didampingi Budi, Jayak, Epan dan Anton, Edi Bopeng datang ke Darul Ulum. “Apa kekurangan pesantren kita ini ….?” usutnya gagah.

Usman tak bisa menahan geli. “Kalau mau nanya tanyalah kelebihan, Ed. Jangan nanya kekurangan. Pesantren kita ini beda dengan pesantren di Jawa. Kekurangannya membentang dari Sabang sampai Marauke.”

Usman pun membeberkan kekurangan pondoknya. “Yang namanya pondok pesantren itu kan santrinya mondok di asrama. Bukan bolak-balik kayak sekolah biasa. Nah santri Darul Ulum ini baru sepuluh persen yang bisa ditampung di asrama. Itu pun kita prioritaskan santri dari daerah dan itu belum semua. Sebagian masih dititipkan di keluarga sekitar sini. Itu baru asrama santri. Belum ruang kelas, perpustakaan, ruang pertemuan, lab bahasa, lab komputer, masjid, rumah ustadz, dan seterusnya. Pokoknya, kalau dihitung-hitung, ndak cukup sepuluh milyar ….”

“Oke. Kalau begitu kita mulai dari setengah milyar. Sisanya silahkan cari donator lain,” putus Edi. Lalu, sambil menyerahkan maf yang dibawa Budi, dia berkata pasti: “Lima ratus juta. Tolong prioritaskan untuk kepentingan santri.”

Setengah tak percaya Usman menerima maf dari tamunya. Maf lalu dia buka. Ternyata benar: isinya cek senilai Rp 500 juta dan selembar tanda terima atas nama Usman, pimpinan pondok. Usman tercengang. “Ini serius, Ed?”

“Ya serius. Kenapa? Sangsi? Usman,” ujar Edi iyaiyanya, “begini-begini aku juga kepingin masuk surga. Yakinlah, kalau esok-lusa aku jadi konglomerat, Darul Ulum akan semegah Al-Zaytun!”

Melepas maf ke meja, Usman repot menjelaskan mekanisme penerimaan sumbangan yang berlaku di lingkungan pondok yang dia pimpin.

“Jadi begini, Ed. Sesuai mekanisme, setiap sumbangan harus melalui yayasan. Nanti, yayasanlah yang akan mengatur pemanfaatannya sesuai kebutuhan pondok. Jadi, kalau kau serius mau ngasih sumbangan, silahkan hubungi yayasan. Sebaiknya langsung ke ketua, Pak Haji Arifin Zarkasih. Nah cuma, beliau ini orang sibuk. Maklum, anggota DPRD propinsi. Dengar-dengar beliau juga mau calon bupati. Jadi, kalau mau ketemu, sebaiknya malam.”

Edi dan “anak asuhnya” kabur, Usman segera menelpon Haji Arifin. “Barusan ada donator, Pak Haji. Mau ngasih sumbangan. Nilai cukup besar, setengah M. Nah cuma, untuk Pak Haji ketahui, duitnya bermasalah. Kebetulan orangnya saya kenal, pernah teman di SMA. Nah tempo hari dia kena togel. Dengar-dengar belasan milyar. Entah mimpi apa, dia mau nyumbang ke pondok. Sesuai mekanisme, saya sarankan dia langsung ke Pak Haji. Jadi, kalau esok-lusa dia menemui Pak Haji, tolong diingat-ingat: namanya Edison. Jangan sampai heboh, Darul Ulum terima duit togel ….”

“Usman. Pimpinan pondok. Ngasih tahu, ada donator mau nyumbang semen tiga puluh sak. Alhamdulillah ….,” ujar Haji Arifin pada tamunya, Roban, anggota DPRD kota yang dia ajak pasangan calon bupati.

Besok paginya, ketika nyampai di IAIN, Usman dicegat pemuda yang mendampingi Edi ke pondok. “Maaf Pak Ustadz, mengganggu. Ini titipan dari Bang Edi,” ujar Budi. Usman terpaku. Lalu, sambil menerima amplop yang diserahkan tamunya, dia memastikan isinya, “Apa ini ….?”

“Jadi begini, Pak Ustadz,” jelas Budi. “Sesuai petunjuk Pak Ustadz, semalam sumbangan sudah kami sampaikan ke Pak Haji Arifin. Pas setengah M, ndak dikurangi sesen pun. Nah ini tanda terimanya. Bukan copy, tapi tindasan. Sengaja beliau minta buat pegangan Pak Ustadz. Pesan beliau, tolong diawasi. Ini untuk pondok, bukan untuk calon bupati.”

Berbalik ke mobil sambil melempar tasnya ke dalam, Usman segera membuka amplop. Ternyata benar adanya: isinya tindasan tanda terima sumbangan senilai Rp 500 juta dari Edison, diteken Drs H Arifin Zarkasih, MM, ketua Yayasan Darussalam, lengkap dengan stempel yayasan.

Usman pun gerah. “Tempo hari yayasan ngotot mendesak pondok mendukung demo anti togel. Sekarang yayasan terima duit togel. Sebenarnya, kita ini mau kemana Pak Haji?”

“Pak Usman,” sahut Haji Arifin liat. “Sudah dua puluh tahun Darul Ulum berdiri. Depag propinsi pun baru nyumbang dua puluh juta. Depag propinsi! Pemerintah! Sekarang ada orangnya yang namanya Edison, mau nyumbang setengah milyar, tanpa proposal setebal bantal, tanpa SPJ selembar pun! Gila apa mau ditolak?! Memangnya gampang cari dana setengah milyar?”

Usman menelan ludah. Pak Haji enteng menekannya. “Jadi tolong hormati sikap yayasan. Yakinlah, yayasan akan menghormati sikap Pak Usman.”

Tak ayal, hari itu juga Usman melayangkan surat pengunduran diri. Pondok heboh. Para ustadz menggelar rapat untuk menentukan sikap terhadap yayasan. Hasilnya: kalau yayasan mengabulkan pengunduran diri Usman dan tidak mengembalikan uang togel sumbangan Edi, mereka sepakat mundur. Besoknya, ketika sedang sholat subuh, Usman tersungkur di sajadah. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi jiwanya tak tertolong lagi.

Nurjana pun terguncang. Kalau saja imannya goyah, niscaya dia ambruk. Mendadak dia harus menjadi ibu sekaligus ayah, bagi kedua anaknya yang masih balita. Di tengah kemaruk neojahiliah. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun