Mohon tunggu...
Pauzan Haryono
Pauzan Haryono Mohon Tunggu... Dosen - -

"Manusia biasa yang berusaha untuk jujur pada diri sendiri"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Gaya Hidup Modern

2 Agustus 2018   14:50 Diperbarui: 2 Agustus 2018   15:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Bertrand Russel (peraih hadiah Nobel dari Inggris)  membagi dunia ini hanya dengan dua ideologi, Kapitalisme dan Sosialisme, Bung Karno (Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia) membantahnya bahwa bangsa-bangsa di benua Asia dan Afrika tidak menganut keduanya. Artinya di dunia ini ada  tiga ideologi, yaitu Kapitalisme, Sosialisme dan ideologi yang bukan Kapitalisme dan bukan Sosialisme. 

Bung Karno menyatakan bahwa untuk Indonesia ideologi itu bernama Pancasila. Setelah puluhan tahun  perdebatan itu berlalu, ternyata Kapitalisme mendominasi dunia, termasuk di Indonesia.

Kapitalisme adalah ideologi yang memberi kebebasan besar kepada individu manusia untuk berusaha seluas-luasnya dan memperoleh kekayaan materi (kapital) sebanyak-banyaknya. 

Kekayaan materi adalah ukuran keberhasilan dan kejayaan manusia. Semakin banyak materi yang bisa dikumpulkan, maka semakin sukses. Jadi, tidak heran kalau manusia-manusia modern sangat sibuk berburu kekayaan materi dan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Dikarenakan kapitalisme sangat berorientasi materi, menyebabkan pandangannya terhadap manusia juga tunggal, yaitu keseluruhan manusia adalah materi. 

Kearifan dunia timur yang memandang bahwa manusia itu terdiri dua unsur, jasmani (materi) dan ruhani (immateri) tidak berlaku. Sisi ruhani di sisi dalam manusia diabaikan dan sangat mengutamakan jasmani yang berada pada sisi luar. Karena berada di sisi luar, maka jasmani selalu kelihatan, sedangkan ruhani tidak bisa dilihat secara langsung, karena berada di sisi dalam.

Akibat terlalu mengutamakan kepuasan jasmani dan mengabaikan ruhani, manusia modern banyak mengalami parados kehidupan. Hidupnya senang tapi tidak tenang. Hidupnya kaya tapi tidak bahagia. Hidup berlimpah dengan materi tapi juga penuh kekhawatiran. Hidup indah di luar tapi keropos di dalam, karena mengidap berbagai penyakit. 

Di zaman dahulu, orang tidak makan karena kekurangan, tapi sekarang tidak bisa makan karena kelebihan. Kelebihan gula menyebabkan penyakit diabetes, kelebihan lemak menyebabkan penyakit kolesterol, kelebihan asam menyebabkan asam urat. Hidup kaya, tapi makan penuh pantangan.

Lalu bagaimana sebaiknya kita memperlakukan materi dalam kehidupan. Dalam buku 'wealth wisdom', manusia dibagi ke dalam tiga kategori ketika memperoleh uang. 

Kategori pertama adalah membelanjakan uangnya untuk membeli materi baru, misalnya membeli rumah baru, mobil baru, motor baru, telepon genggam baru dan lain-lain. Kategori kedua adalah membelanjakan uangnya untuk membeli pengalaman baru. Biasanya manusia kategori kedua ini sangat senang menggunakan uangnya untuk mengadakan penjelajahan daerah-daerah yang belum dikunjungi sebelumnya atau mempelajari hal-hal baru, seperti mengambil kuliah atau kursus baru. 

Kategori terakhir atau kategori ketiga adalah membelanjakan uangnya untuk berbuat sosial atau berbagi. Dari ketiga kategori ini, sekitar 90 persen  manusia berada di kategori pertama, sekitar 7 persen di kategori kedua dan sekitar 3 persen di kategori ketiga.

Bagaimana dengan dampaknya terhadap kebahagiaan hidup manusia? Kategori pertama hanya memberikan dampak tersingkat terhadap kebahagiaan, yaitu ketika barang baru yang dibeli belum ada yang menyaingi. Misalnya kita membeli sebuah telepon genggam/handphone generasi terbaru, maka kita akan merasa bahagia selama belum ada muncul generasi yang lebih baru lagi. 

Ketika muncul type terbaru lagi, maka handphone kita menjadi ketinggalan zaman dan mengakibatkan kebahagiaan kita berkurang. Apalagi kalau kita belum mampu membeli handphone tipe terbaru tersebut, semakin besarlah kekecewaan kita.

Kategori kedua menyebabkan kebahagian dalam waktu yang lebih panjang. Berbeda dengan kategori pertama tadi, ketika ada orang lain memiliki pengalaman penjelajahan yang sama, bukan merasa tersaingi, tapi akan terjadi saling berbagi pengalaman  dan ini akan menimbulkan efek kebahagiaan. 

Pengalaman penjelajahan yang kita miliki akan selamanya melekat dalam memori otak kita. Ketika ada orang lain menceritakan pengalaman yang sama, walaupun penjelajahan yang kita lakukan telah puluhan tahun yang lalu, maka akan membangkitkan rasa kebahagiaan lagi. 

Membangkitkan memori pengalaman penjelajahan masa lalu akan membangkitkan rasa bahagia. Semakin banyak pengalaman penjelajahan yang kita miliki maka semakin banyak memori yang bisa kita bangkitkan.

Kategori ketiga menyebabkan kebahagiaan hidup selama-lamanya. Ketika kita mengeluarkan uang untuk berbagi sebenarnya kita berinvestasi untuk kebahagiaan yang kekal. Misalnya kita mengeluarkan uang untuk membantu pendidikan anak yang kurang mampu. Maka di saat mereka yang kita bantu berhasil dalam hidupnya, maka akan menimbulkan efek kepuasan batin yang luar biasa dalam waktu jangka panjang, bahkan seumur hidup.

Melihat kurun waktu kebahagiaan tadi, seharusnya manusia lebih memilih kebahagiaan yang bersifat kekal daripada sementara. Tapi paradoks kehidupan terjadi. 

Manusia cenderung memilih menghabiskan uangnya untuk kebahagiaan sementara, daripada berinvestasi untuk kebahagiaan dalam waktu yang panjang. Hal ini dikarenakan kategori pertama bersifat fisik materi, sehingga mudah dilihat. Ketika  memiliki barang baru, maka langsung bisa dipamerkan dan mendapat pujian. 

Sementara kategori kedua membutuhkan proses dan tidak menambah apa-apa kecuali pengalaman. Pengalaman bersifat non fisik, tidak untuk dipamerkan tapi lebih untuk dirasakan. Kategori ketiga, paling sedikit dipilih orang karena investasi yang kita berikan tidak kembali dalam bentuk materi dan pengalaman. 

Ketika membantu orang-orang kurang mampu, kita tidak akan langsung melihat hasilnya. Tapi ketika orang yang kita bantu pada suatu hari menjadi orang sukses dalam kehidupan, kita akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan ada kebanggaan yang hidup yang kita rasakan. Semakin banyak orang yang kita bantu, maka semakin bermanfaat hidup kita. Perasaan kebermanfaatan dalam hidup akan melahirkan kebahagiaan yang kekal.

Tidak mau mengalami paradoks dalam kehidupan? Kita harus pintar dalam mengatur keuangan. Utamakan kebahagiaan jangka panjang daripada kebahagiaan sesaat. 

Siapkan investasi besar pada berbagi, kemudian jangan pelit mengeluarkan uang untuk pengalaman baru dan miliki materi karena fungsinya, bukan karena gaya hidup. Sebagai contoh, handphone fungsinya untuk komunikasi dan internet. Fungsi tersebut terpenuhi dengan handphone seharga 1 juta-an. Walaupun anda mampu membeli handphone seharga 10 jutaan, dan anda hanya membeli yang seharga 1 juta-an, itu namanya anda membeli fungsi bukan gaya hidup. 

Uang lebihnya anda manfaatkan untuk berbagi kepada orang lain yang kurang mampu dan mengadakan perjalanan ke daerah yang belum pernah dikunjungi, itu artinya anda telah berinvestasi untuk kebahagiaan jangka panjang. 

Tapi gaya hidup seperti ini tidak mudah, karena paham Kapitalisme sangat mendorong kita untuk menjalani hidup hedonis dan konsumeris. Yaitu hidup yang sangat mencintai kenikmatan fisik dan terlalu mengagung-agungkan kekayaan materi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun