Masa kecil identik dengan Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Rasanya seperti baru kemarin saja masa SD itu terjadi. Kuingat pertama kali punya sepeda BMX dengan warna krom yang menyilaukan dan stangnya berjenis Batman. Selain itu, kenangan saat kecil mengingatkan tentang rasa tak merasa lelah, teman sepermainan, Â boleh bermimpi apapun, Â dan bebas lepas tanpa beban. Kuingat bisa main sepuasnya. Ketika kecil itu, melihat sesuatu dengan begitu sederhana. Kalau indah, ya pasti diakui indah. Jaman kecil dulu terasa begitu jujur apa adanya.
Ada pengalaman yang tak terlupakan ketika kecil dulu. Barangkali, hanya aku yang mengetahui dan ingat tentang peristiwa yang satu ini. Ceritanya, sekitar tahun 1994, bulannya saya lupa, ada rombongan pedagang obat keliling masuk kampungku. Sekitar pukul tujuh malam akan ada atraksi dan sulap untuk menarik para penduduk kampung. Â Pengumuman itu, jauh-jauh hari, sudah diumumkan melalui pengeras suara masjid. Ya, namanya orang kampung mendengar ada atraksi dan sulap, pasti akan berduyun-duyun datang. Saat masih siang saja, penduduk sudah ribut dan tak sabar menantikan untuk menonton atraksi dan sulap itu.
Maklum saja, hiburan atraksi dan sulap, yang gratis pula, sangat jarang dilihat secara langsung oleh penduduk kampungku kecuali saat hari pasaran Pahing di Pasar Sleman Jogja, yang selalu terkenal dan fenomenal dengan tukang obat kuat dan kulit, serta pawang ular andalan, Pak Arjo Menggolo. Kabarnya, meski sudah berumur, dengan ramuan obat yang katanya mujarab itu, Pak Arjo Menggolo masih kuat meladeni istri-istrinya yang menor dan montok-montok itu. Kabarnya, lebih dari dua istrinya, hehe.
Ya, saya teruskan ceritanya. Kira-kira satu jam lagi, atraksi dan sulap akan dimulai di kampungku. Ada satu hal yang harus kutaklukan, yaitu Bapakku, Benteng Terkuat di rumahku. Bapakkku, seorang PNS, guru bahasa Inggris yang diperbantukkan di sebuah SMA Khatolik Jogja. Bapakku ini bukan sosok yang gumunan ketika itu. Setiap hari pekerjaannya yang tak pernah luput, setelah aku selesai mandi sore, pasti tidak diperbolehkannya untuk keluyuran keluar rumah apalagi sudah maghrib dan malam.
Untuk menyiasatinya, sejak selesai mandi dan ganti pakaian, aku pergi keluar rumah ke rumah kawan. Â Memang berhasil cara itu karena Bapakku takkan mencariku. Karena setiap sore, ia selalu saja ada pekerjaan sekolah yang dibawa pulang dan harus dikoreksi di rumah. Masih ingat, guru-guru dulu kalau koreksi jawaban pilihan ganda, andalannya adalah obat nyamuk bakar. Dengan bara di ujung obat nyamuk bakar itu, Bapakku mulai melubangi kertas master kunci jawabannya. Selanjutnya, tinggal diletakkan di atas lembar jawaban muridnya dan nilainya segera akan ketahuan. Bapakku memang satu-satunya Bapak yang membanggakan meski orangnya keras. Terima kasih Bapakku. Bapakku hebat. Matur nuwun Pak!
Langsung saja, akhirnya atraksi dan sulap dimulai. Penduduk kampungku mulai mengitari rombongan penjual obat keliling ini untuk menonton. Lokasinya ketika itu berada di halaman yang luas masjid kampungku. Sang pembawa acara pun membuka acara. Dimulailah atraksinya. Tampak ada yang berpakain badut dengan wajah putih penuh bedak, mata dilingkari dengan warna hitam, dan perut buncit besar karena diisi bantal. Salah seorang mulai menyemburkan minyak ke obor lalu kobaran api besar tampak. Penduduk mulai bertepuk tangan. Berjalan di pecahan kaca, berikutnya. Mengupas kelapa pakai mulut. Tusuk balon tidak pecah. Mengeluarkan cobra dari karung, dll.
Akhirnya, giliran pembawa acara yang mulai beraksi. Ia akan aktraksi dengan sepeda beroda satu yang sama persis ketika melihat di sirkus-sirkus.  Ketika itu, ia menawari apakah ada anak kecil yang mau duduk di pundaknya  dengan berpegangan kepalanya dan ia menjamin tidak akan jatuh saat beraksi di sepeda roda satu itu. Â
Akhirnya, ia pun menunjukkan jarinya ke arahku. Mendatangi lalu menarikku begitu saja. Ia pun mulai jongkok membelakangiku dan menyuruhku naik dan duduk di pundaknya. Entah kenapa, aku ketika itu menurut saja. Dalam sekejap saja, aku sudah berputar mengelilingi arena atraksi dengan duduk di pundak orang yang tak kukenal, tak ingat wajahnya.
Penduduk kampung ketika melihatku berputar-putar, riuh dan menyebut-nyebut namaku. Beberapa tertawa lalu tepuk tangan karena tangan yang melakukan atraksi ini direntangkan sehingga tidak memegangi kedua kakiku lagi. Selesai atraksi, aku diberikan botol kecil berisi minyak rambut wangi. Katanya untuk hadiah karena bersedia diajak atraksi naik sepeda roda satu. Setelah beberapa hari, aku masih ingat belum memakai minyak rambut wangi itu. Masih kusimpan di sebuah tempat dan aku sudah lupa letak tepatnya.
Pengalaman masa kecil memang menggelikan, tapi tak terlupakan. Salam masa kecil! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H