Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi Orang Indonesia: Religiusitas Tinggi, Moralitas Rendah

30 Mei 2016   09:19 Diperbarui: 30 Mei 2016   10:25 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilihat dari sudut pandang pribadi penulis, sepertinya jelas bahwa antuasiasme rakyat Indonesia terhadap agama masih sangat tinggi; bahkan makin tinggi. Di tengah arus budaya sekuler dunia barat yang makin deras, ateisme yang makin menjamur di barat, rakyat Indonesia masih cukup kokoh berpegang pada religiusitas yang merupakan salah satu fondasi bangsa ini (Sila Pertama Pancasila). Saat ini di Amerika mayoritas orang dengan bangga menyatakan diri sebagai ateis, sedangkan di Indonesia ateis masih mendapatkan stigma negatif. Orang yang menyatakan diri sebagai ateis cenderung akan dicap negatif, dianggap tidak bermoral, tidak bermartabat, dan sebagainya.

Tingkat ketaatan masyarakat terhadap ritual agama pun, dalam pandangan penulis, semakin meningkat. Dulu, saya mengamati banyak orang agama tertentu, begitu mudah melakukan “bolong” atau “batal” dalam melakukan ibadah puasanya, dengan alasan tubuh kurang fit, kecapekan, dan semacamnya. Saat ini, penulis mengamati, orang semakin militan dalam menjalankan ibadah puasanya. Banyak orang begitu gigih mempertahankan ibadah puasanya walaupun sangat kelelahan, kehausan, kepanasan; bahkan seringkali sampai pingsan. Dulu, banyak pembantu rumah tangga yang tidak masalah disuruh tuannya memasak masakan daging babi atau minyak babi, asalkan dirinya tidak ikut memakan babi tersebut. Namun sekarang, banyak PRT yang enggan untuk sekedar disuruh memanasi masakan babi di microwave. Zaman dulu, jarang sekali ada orang yang rutin membayar persepuluhan di gereja. Zaman sekarang, banyak orang begitu ketat membayar persepuluhannya, bahkan merasa sangat berdosa apabila lalai sedikit saja dalam membayar persepuluhannya.

Namun ironisnya, religiusitas yang makin tinggi tersebut tidak terlihat dibarengi dengan etos kerja dan moralitas yang makin tinggi. Lihatlah kondisi penegakan hukum negara kita; apakah makin membaik dibandingkan dulu? Apakah kondisi politik kita membaik dibandingkan dulu? Apakah saat ini kita mendapatkan para politisi, penegak hukum, PNS yang makin tulus melayani rakyat dibandingkan dulu?

Ada banyak politisi yang sangat suka pergi umroh sampai berkali-kali, lalu juga saat hari raya Idul Adha mencuri perhatian masyarakat dengan menyumbangkan sapi-sapi berukuran jumbo dan harganya sangat mahal; namun mereka tidak terlihat sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Mereka sering korupsi, tertidur saat sidang, pelesiran ke luar negeri pakai uang rakyat, dan sebagainya. Ada banyak PNS, polisi, penegak hukum, hakim pengadilan, dsb, yang sering melakukan pungli, menerima suap, mencuri uang rakyat, mempersulit masyarakat, malas-malasan dalam pekerjaannya, makan gaji buta dsb, padahal ketaatannya dalam melakukan ritual agama begitu tinggi. Ada banyak pebisnis yang berbuat curang dalam pajak, menggaji pegawai di bawah UMR, menggaji rendah pembantu rumah tangga, bersikap kasar/menganiaya para PRT dsb. Padahal dari luar dirinya kelihatan rajin berderma; membayar persepuluhan, menyumbang pembangunan rumah ibadah, dan sebagainya. Masyarakat begitu militan saat menentang masuknya budaya homoseks, namun Indonesia justru tercatat sebagai negara pengakses situs porno tertinggi, dan juga tingkat kekerasan seksual yang sangat tinggi.

Yang makin ironis lagi; banyak di antara para politisi dan para penegak hukum itu, melakukan korupsi, suap, dsb, di saat dirinya sudah pernah disumpah di bawah Kitab Suci untuk melayani rakyat sungguh-sungguh, untuk tidak korupsi, dan sebagainya.

Jadi ada anomali di bangsa ini. Di satu sisi bangsa ini begitu gigih dan taat melakukan ritual-ritual keagamaan, namun di saat bersamaan, mereka mengabaikan ajaran-ajaran agamanya untuk tidak korupsi, untuk bersikap adil, untuk melayani masyarakat, dan sebagainya.

Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan seorang rekan dan ia menyampaikan pendapat yang menarik. Ia mengatakan bahwa agama telah dijadikan semacam excuse atau obat penawar untuk dosa-dosa masyarakat. Masyarakat punya pikiran semacam “tidak apa-apa deh aku korupsi sesekali, toh aku sudah taat melakukan ibadah, sudah menyumbang banyak untuk pembangunan rumah ibadah, sudah rajin menyumbang ke berbagai lembaga keagamaan, jadi nanti pahala-pahalaku itu bisa menutupi dosa korupsiku”. Benar atau tidaknya pendapat rekan saya ini, saya masih belum tahu karena belum mensurveinya.

Kita seharusnya bisa belajar dari kisah Laksamana Cheng Ho. Beliau adalah seorang kasim Tiongkok, seorang muslim yang cukup taat, hidup di zaman kekaisaran Cina kuno. Beliau dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat; ayah ibunya pernah naik haji. Saat dewasa, Cheng Ho diberi tugas menjadi pemimpin kelompok pelayaran kaisar untuk berlayar mendatangi negara-negara lain dalam rangka menjalin persahabatan. Suatu kali, kelompok pelayaran ini tiba di daerah yang cukup dekat dengan Mekkah. Beberapa rekan Cheng Ho menawarinya untuk pergi meninggalkan sementara kelompok pelayaran Cina untuk pergi berhaji sebentar, beberapa hari saja ke Mekkah. Walaupun Cheng Ho sebenarnya saat ingin naik haji, namun ia menolak tawaran itu. Baginya, tugas memimpin kelompok pelayaran adalah tugas negara yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan walau untuk sebentar saja. Ia akhirnya mengirim seorang pelukis untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan Kabah untuknya. Pada akhirnya pelukis ini kembali pada Cheng Ho setelah beberapa hari, dan Cheng Ho sangat terharu melihat lukisah Kabah yang dibawanya. Cheng Ho sendiri akhirnya tidak pernah naik haji seumur hidupnya. 

Yang pasti, menurut saya, jelas ada yang salah dengan pendidikan agama di negara ini. Saya tidak tahu bagaimana sistem pendidikan agama kita di sekolah saat ini. Namun pengalaman saya saat masih bersekolah, pendidikan agama diberi porsi yang sangat sedikit dalam kurikulum SD-SMA saya. Dan itupun juga sekedar diajari kisah-kisah kitab suci seperti perjalanan hidup para nabi, kisah penciptaan bumi, dan semacamnya.

Mungkin seharusnya pemerintah memperbanyak porsi jam pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan bangsa ini, namun juga dengan perbaikan materinya. Para siswa tidak boleh hanya sekedar diajari kisah-kisah kitab suci, namun yang lebih penting, harus diajari implementasinya dalam kehidupan nyata. Siswa kita harus diajari dan ditekankan bahwa bekerja adalah dakwah. Siswa kita harus diajari bahwa ketaatan menjalankan ritual agama tidak akan ada artinya apa-apa jika dalam kehidupan nyata kita suka korupsi, suka berbuat curang, dan sebagainya. Pendidikan agama kita harus dibarengi dengan pendidikan budi pekerti. Seperti yang dikatakan Jokowi dalam masa kampanye pilpres yang lalu; kurikulum SD kita seharusnya paling banyak diisi pelajaran budi pekerti, bukan pelajaran matematika atau sains. Revolusi mental sangat dibutuhkan oleh bangsa ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun