Tempo hari penulis mengajar les privat siswi kelas 2 SMP di sebuah SMP swasta yang cukup terkenal di Surabaya. Di tengah proses belajar tersebut, ibu siswi tersebut datang dan memberikan angpao berisi kiriman hadiah ulang tahun dari ayah siswi. Siswi tersebut segera membukanya dan menemukan bahwa isinya adalah uang sebanyak 1 juta rupiah. Memang, dari segi ekonomi, keluarganya tergolong sangat berada.
Ini membuat penulis merenung. Di satu sisi, banyak mahasiswa yang tidak mendapat uang saku dari orang tua karena keadaan ekonomi orang tuanya, sehingga mereka mencari uang sendiri dengan bekerja part time atau menjadi guru les. Di sisi lain, begitu banyak siswa maupun mahasiswa yang begitu dimanjakan oleh orang tuanya dengan uang saku yang banyak, blackberry, dan berbagai kemewahan lainnya, karena orang tuanya memang sangat kaya.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa siswa dan mahasiswa yang berada pada golongan terakhir ini begitu mudah menghamburkan uangnya untuk berbagai hal yang tidak penting. Untuk perempuan, mereka suka menghamburkannya dengan berdandan di salon, membeli make up, luluran, dan sebagainya. Sedangkan untuk laki-laki, mereka suka menghamburkannya dengan membeli rokok atau makan di restoran-restoran yang mahal. Lingkungan universitas penulis diisi oleh banyak mahasiswa yang berada pada golongan ini. Seringkali penulis mendapat curhat dari mahasiswa seperti ini bahwa uang sakunya sebesar 1 juta per bulan itu terlalu sedikit, sementara bagi penulis itu sudah merupakan jumlah yang sangat besar.
Sebaliknya, para mahasiswa yang berada pada golongan pertama umumnya begitu menghargai uang. Mereka bisa mengerti susahnya mencari uang. Mereka berusaha memakai uang seperlunya saja. Para mahasiswa ini jarang sekali mengeluh tentang sedikitnya uang saku yang mereka terima, meskipun uang saku seringkali tidak mencukupi untuk kebutuhan-kebutuhan kuliah mereka.
Inilah sifat manusia. Jika diberi banyak, mereka tidak akan puas dan akan meminta lebih banyak lagi. Jika situasi membuat mereka hanya bisa menerima sedikit, mereka tidak akan mengeluh dan akan berusaha mencukupkan diri dalam kekurangan mereka. Pendeta Stephen Tong pernah menceritakan tentang seorang mahasiswa yang biasanya selalu pulang-pergi kuliah dengan berjalan kaki. Saat akhirnya mahasiswa tersebut berhasil membeli sepeda dengan uang tabungannya sendiri, ia begitu senang dan sangat menghargai sepedanya. Sementara penulis justru menemui di lingkungan universitas penulis, banyak mahasiswa yang sudah diberi motor oleh orang tuanya, justru mengeluh karena orang tuanya tidak mau membelikan mobil kepadanya.
Dalam salah satu kotbahnya, Pendeta Stephen Tong menceritakan bahwa beliau berusaha mendisiplin anaknya supaya jangan sampai menjadi seperti anak orang kaya yang selalu minta dibelikan ini itu. Beliau bercerita bahwa dia hanya membayarkan sebagian uang sekolah anak-anaknya yang bersekolah di luar negeri, selebihnya anak-anaknya harus membayar sendiri. Pendeta Stephen Tong memang tidak kekurangan uang untuk membayar seluruh uang sekolah anak-anaknya, namun beliau sengaja hanya membayarkan setengah untuk mengajarkan anak-anaknya tentang arti perjuangan. Dengan didikan seperti inilah, anak-anaknya bisa bertumbuh menjadi orang yang mandiri dan tidak manja.
Penulis ingin menyarankan kepada para orang tua, khususnya yang secara ekonomi tergolong sangat mampu, untuk mendidik anak dengan lebih disiplin. Jangan terlalu memanjakan anak dengan memberikan berbagai fasilitas dan kemewahan kepada mereka. Ada kalanya membiarkan anak sendirian mengatasi kesulitannya sendiri justru merupakan ekspresi kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Sedangkan untuk para siswa dan mahasiswa, khususnya yang berasal dari keluarga mampu, penulis menyarankan supaya belajar mendisiplin diri sendiri. Jangan terus-menerus bergantung pada orang tua. Mulailah belajar mencari uang sendiri, mencukupi sendiri kebutuhan-kebutuhan. Bagaimanapun, manusia dibentuk melalui pengalaman-pengalaman hidupnya. Apabila seluruh pengalamannya adalah pengalaman kemewahan, dimanjakan orang tua, maka akan menjadi manusia yang rapuh dan gagal.
Terakhir, penulis ingin menyarankan kepada para orang tua maupun anak, untuk menggunakan uang dengan bijaksana. Jangan menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, seperti untuk memanjakan anak atau untuk menikmati hal-hal yang mewah. Gunakan uang untuk seperlunya saja. Selebihnya, gunakan uang untuk perbuatan-perbuatan yang lebih mulia, antara lain dengan disumbangkan untuk pekerjaan Tuhan atau ke orang miskin. Masih banyak tempat-tempat ibadah yang kekurangan dana. Masih banyak orang miskin di seluruh dunia ini yang tidak memiliki uang untuk makan maupun menghidupi keluarganya. Masih banyak korban bencana alam yang belum mendapat pertolongan mencukupi. Harapan penulis, semoga artikel ini membukakan mata kita semua tentang pentingnya menghargai uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H