Jokowi maupun para pendukungnya terus mengumandangkan revolusi mental pasca pilpres yang lalu. Namun sejauh ini saya belum melihat ada penjelasan yang komprehensif mengenai revolusi mental ini. Saya sendiri menyadari betapa pentingnya revolusi mental ini, dan kali ini saya akan coba menjelaskannya.
Salah satu akar permasalahan bangsa ini adalah mental pecundang. Melalui revolusi mental, kita harus mengubah mental ini menjadi mental bangsa pemenang. Bukan lagi mental pecundang. Sebagai contoh. Saat pemerintah melakukan impor beras demi memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, harga beras menjadi turun. Para petani langsung marah-marah, menuntut impor distop, menuduh pemerintah tidak melindungi petani, dan sebagainya. Inilah yang namanya mental pecundang. Di negara-negara lain seperti Amerika atau Jepang, para petani mereka tidak akan bersikap seperti itu. Mereka justru akan jadi terpacu untuk meningkatkan produksi beras mereka supaya bangsa tidak butuh beras impor lagi. Mereka juga akan terpacu untuk meningkatkan kualitas beras mereka supaya beras mereka lebih disukai daripada beras impor.
Mental pecundang seperti ini juga menjalar ke berbagai hal. Misalnya saja, polisi. Para polisi lalu lintas begitu suka mencari-cari kesalahan pengendara, untuk menilang mereka, supaya dengan demikian mereka mendapat untung. Mereka juga suka mencari suap. Mereka suka seenaknya tiba-tiba memasang pembatas "jalur khusus roda dua", "jalur khusus angkutan umum" di jalan bukan supaya lalu lintas tertib, melainkan supaya para pengendara terjebak dan kena tilang. Kalau ditanya kenapa bersikap seperti itu, mereka akan jawab “ini karena gaji saya terlalu rendah. Ya mau gimana lagi. Mau tidak mau harus cari “penghasilan tambahan”. Jangan salahkan saya. Salahkan pemerintah yang menggaji saya terlalu rendah”. Bahkan saya sering mendengar para korban perbuatan polisi tersebutpun malah ikut-ikutan membela polisi dan memaklumi tindakan kotor polisi tsb. Mereka bilang "maklum lah, kasian mereka (polisi), mereka cuma digaji sedikit". Inilah mental pecundang. Kalau mereka memang bermental juara, mereka akan punya harga diri untuk tidak mau melakukan perbuatan hina seperti itu hanya demi uang. Mereka akan berusaha mencari penghasilan lain entah bagaimana caranya supaya bisa bertahan hidup, entah dengan berbisnis kecil-kecilan atau mengincar kenaikan pangkat.
Mental pecundang juga mengakibatkan munculnya ideologi “Keuangan Yang Maha Kuasa” di Indonesia. Bagi orang-orang Indonesia saat ini, uang adalah yang paling utama. Mereka bersikap masa bodoh dengan masa depan bangsa atau nilai-nilai idealisme, yang paling penting adalah “saya dapat duit”. Mereka rela mengorbankan harga diri mereka demi segepok uang. Mereka rela meninggalkan bangsanya dan tidak membangun bangsa demi mendapat penghasilan besar di luar negeri. Mereka rela mengorbankan hukum dan keadilan demi tawaran segepok uang dari tersangka. Mereka rela membuat proyek-proyek pembangunan mangkrak demi mencuri jatah uang dari proyek tersebut. Bangsa Indonesia seharusnya diberi pendidikan budi pekerti sejak kecil untuk memberantas mental cinta uang ini. Mengajarkan bahwa nilai-nilai kebenaran adalah yang paling utama dan harus selalu dikejar, dijunjung tinggi. Mereka seharusnya diajarkan bahwa mengorbankan kebenaran demi uang adalah sesuatu yang sangat hina. Revolusi mental.
Mental pecundang ini juga menyebabkan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Mereka yang menganggur selalu menyalahkan pemerintah karena tidak memberikan lapangan pekerjaan untuk mereka. Padahal penyebab tingginya pengangguran di Indonesia adalah rendahnya jumlah pengusaha/pebisnis. Pengusaha/pebisnis di indonesia baru sebanyak 0,18%, padahal angka minimal menurut James McClevelland adalah 2%. Pengusaha inilah yang seharusnya membuka perusahaan untuk menyerap pengangguran. Masalahnya, orang Indonesia bermental pecundang, sehingga mereka lebih suka menjadi karyawan daripada menjadi pengusaha. Bisa juga dikatakan mental budak, akibat pernah dijajah 3,5 abad. Kalau bangsa Indonesia bermental pemenang, mereka seharusnya akan berusaha keras untuk bisa menjadi pengusaha/pebisnis, bukan melulu menjadi karyawan.
Mental pecundang Indonesia ini sudah begitu mendarah daging. Saat ini orang-orang Indonesia umumnya memiliki mindset "setiap orang berhak hidup makmur dan enak tanpa perlu bekerja terlalu keras". Tak heran para buruh berdemo menuntut kenaikan UMR yang bisa mencukupi untuk mereka mencicil rumah atau berlibur ke Bali. Mereka inginnya hanya enak-enakan bekerja jadi buruh biasa, tapi berkeinginan bisa hidup enak dan makmur. Padahal di negara-negara lain, semua orang tahu bahwa bekerja menjadi karyawan/buruh itu seharusnya bukan menjadi tujuan hidup mereka. Menjadi buruh/karyawan itu hanyalah sebatas mengumpulkan uang untuk modal membuka bisnis, lalu kemudian dari bisnis itulah mereka menjadi pengusaha sukses, bisa hidup enak dan makmur. Lain halnya dengan INdonesia; orang Indonesia inginnya cukup dengan bekerja jadi buruh seumur hidup, bisa hidup enak dan makmur.
Karena orang Indonesia punya mindset "tiap orang berhak hidup enak dan makmur tanpa perlu bekerja terlalu keras", maka muncullah mindset berikutnya: "jika saya tidak memperoleh hidup enak dan makmur, maka saya boleh berbuat seenaknya untuk mendapatkan hak saya tsb". Karena itulah para polisi berpikiran "saya digaji cuma sedikit, jadi tidak apa-apa saya melakukan cara-cara curang untuk mencari penghasilan lebih". Para politikus juga berpikiran "saya digaji cuma sedikit, jadi tidak apa-apa saya korupsi". Para hakim pengadilan atau wasit sepakbola juga berpikir "saya digaji cuma sedikit, jadi tidak apa-apa saya menerima suap". Inilah mental yang sungguh merusak bangsa ini. Kalau alasannya seperti itu, maka berarti para anak-anak jalanan, gelandangan, orang-orang miskin dsb semuanya juga harus dimaklumi kalau mereka mencopet atau mencuri. Bahkan saya pernah mendengar di radio saat ada diskusi tentang polisi-polisi nakal yang suka mencari-cari kesalahan pengemudi, si penyiar malah mengatakan "tapi ya memang kasihan juga polisi itu, soalnya mereka memang digaji cuma sedikit". Yah, memang mental pecundang bangsa ini sudah sedemikian mendarah daging. Beda sekali dengan zaman dulu. Pada zaman orde lama dulu, korupsi tidak sebanyak sekarang, padahal para polisi, politisi, hakim dll gajinya jauh lebih rendah daripada zaman sekarang. Saya pernah menonton film Surabaya di tahun 1920 an, pada masa itu para polisi bekerja jauh lebih keras daripada sekarang, tapi mereka tidak korupsi. Pada zaman itu tidak ada lampu lalu lintas, jadi para polisi berfungsi sebagai "lampu lalu lintas", berdiri seharian di bawah terik matahari, memberi tanda dengan tangan "jalur sini jalan, jalur sana berhenti dulu....... Nah sekarang gantian jalur kamu jalan....". Para polisi zaman sekarang sudah jauh lebih enak daripada mereka.
Selain mengakibatkan perilaku korupsi yang makin parah, mental pecundang bangsa ini juga berdampak pada cara memandang pemerintah. Rakyat seringkali menuntut kebijakan-kebijakan yang "pro rakyat". Yang jadi pertanyaaan, apa sebenarnya definisi "kebijakan pro rakyat" tersebut? Inilah yang masyarakat sering salah kaprah.
Misalnya saja, mengenai impor beras. Pemerintah seringkali dituntut menghentikan impor beras supaya petani indonesia makmur, jadi mereka menganggap kebijakan impor beras adalah kebijakan yang tidak pro rakyat. Benarkah demikian? AKibat impor beras distop, harga beras di pasaran jadi tinggi. Masyarakat jadi sengsara akibat kenaikan harga beras. Para pengusaha yang produksinya membutuhkan beras (misalnya pengusaha restoran) juga jadi tercekik. Kalau memang petani ingin makmur, seharusnya mereka berusaha menggenjot produksi beras mereka, berusaha mencari akal untuk menaikkan kualitas beras mereka, dsb. BUkan malah menyalahkan pemerintah yang melakukan impor beras. Keinginan petani supaya pemerintah menghentikan impor beras tsb jelas berasal dari mental "ingin hidup enak dan makmur tanpa bekerja terlalu keras". Mereka ingin bisa hidup enak dan makmur tanpa perlu bekerja lebih keras menggenjot produksi beras mereka atau kualitas beras mereka. Ini ibarat seorang anak yang sedang belajar jalan. Saat ia jatuh, ia bukannya berusaha lebih keras supaya bisa berjalan dengan kuat tanpa jatuh, ia malah minta digendong terus oleh orangtua nya supaya tidak jatuh lagi. Peran pemerintah untuk menyejahterakan petani memang diperlukan, namun caranya bukan dengan menghentikan impor beras, melainkan dengan membantu para petani meningkatkan produksi beras ataupun kualitas beras mereka; itulah yang namanya kebijakan pro rakyat.
Bidang yang paling parah kacaunya akibat mental pecundang ini adalah bidang politik. Pada zaman dulu, politik adalah tempat bagi orang-orang yang sungguh memiliki jiwa patriot, jiwa nasionalisme tinggi, ingin mengabdi untuk negara. Mereka rela bekerja keras untuk negara meskipun cuma digaji sedikit, atau bahkan tidak digaji. Beda dengan zaman sekarang. Para politikus berlomba-lomba menjadi presiden, gubernur, DPR atau semacamnya dengan tujuan supaya bisa meraih gaji tinggi dan juga meraih peluang melakukan korupsi. Sempat terlintas di benak saya: kalau begitu mungkin sebaiknya para politisi tidak usah digaji saja supaya mereka yang masuk dunia politik adalah mereka-mereka yang sungguh-sungguh hatinya untuk negara, bukan untuk uang. Namun setelah saya pikir lagi, tidak bisa juga begitu. Mereka yang berjiwa nasionalisme tinggi pun juga tetap saja butuh uang untuk makan. Jadi ada dilema di sini. Di satu sisi ada bagusnya jika para politikus digaji sedikit saja supaya kita mendapatkan para politikus yang benar-benar hatinya untuk negara, di sisi lain mereka juga butuh uang untuk bisa hidup. Karena itulah kita bisa simpulkan bahwa ide Prabowo dalam debat capres pada Juni yang lalu bahwa gaji para politikus perlu dinaikkan supaya mereka tidak korupsi itu sungguh-sungguh ide yang ngaco. Ide Prabowo tsb jelas berakar dari mental pecundang yang sudah saya sebutkan: ""jika saya tidak memperoleh hidup enak dan makmur, maka saya boleh berbuat seenaknya untuk mendapatkan hak saya tsb". Faktanya, kita bisa melihat bahwa para anggota DPR masih saja terus korupsi walaupun gajinya sudah mencapai 60 juta per bulan. Akil Mochtar yang gajinya sudah ratusan juta per bulan pun juga korupsi.
Seringkali kita berpikir bahwa yang korupsi di bangsa ini adalah para pejabat politik, polisi, hakim, dsb. Padahal para politiikus, polisi dll itu dilahirkan oleh siapa? Oleh rakyat. Sebenarnya seluruh rakyat bangsa ini mentalnya sudah rusak dan berperilaku korupsi. Sebagai contoh, lihat saja para pasukan nasi bungkus yang sebegitu mudahnya dibayar beberapa puluh ribu untuk melakukan demo-demo bayaran. Lihat saja saat pileg, berapa banyak rakyat yang sebegitu mudahnya disuap oleh acara bagi-bagi uang para caleg. Lihat saja berapa banyak ketua RT/RW/Lurah yang begitu mudah melakukan pungli (padahal pada zaman dulu menjadi ketua RT/RW itu dipandang sebagai sebuah pengabdian). Seluruh bangsa ini mentalnya sudah rusak.
Saat ini UU pilkada tidak langsung sudah disahkan oleh DPR. Saya termasuk orang yang sangat sedih dengan disahkannya UU tersebut. Rakyat banyak yang sangat marah oleh kejadian ini. Namun persoalannya, apa benar ini salah para politikus semata? Saya yakin rakyat juga bersalah. Memangnya siapa yang memilih para orang-orang jahat pendukung pilkada tidak langsung tsb untuk duduk di DPR? Rakyat kan? Rakyat tidak mau memilih caleg yang benar-benar bersih kelakuannya. Saat pileg mereka justru senang jika terjadi acara bagi-bagi uang, bukan menentangnya. LIhat saja anggota-anggota DPRD DKI 2014-2019 ini. Caleg seperti lulung yang sudah jelas-jelas orang kotor pendukung preman tanah abang malah bisa terpilih lagi. Sementara para orang-orang kepercayaan AHok yang ikut nyaleg justru gagal terpilih.
Dari semua ini bisa disimpulkan: revolusi mental harus segera dilakukan! Bagaimana caranya? Cara terbaik tentu saja melalui pendidikan. Ide Jokowi bahwa kurikulum SD harus didominasi oleh pelajaran budi pekerti itu sungguh tepat. Selama ini anak-anak semenjak kecil sudah dididik dengan materi-materi matematika atau IPA yang berat-berat, dengan alasan supaya mereka menjadi SDM yang cerdas. Kalau ditanya, untuk apa menjadi orang yang cerdas? Mereka akan jawab, untuk menjadi sukses dan mendapat banyak uang. Tak heran bangsa ini menjadi bangsa yang korup. APalagi filsafat-filsafat kuno yang mengandung begitu banyak nilai-nilai budi pekerti yang indah dan mulia seperti filsafat konghucu atau kisah mahabaratha sudah tidak diajarkan lagi. Berapa banyak generasi zaman sekarang yang suka menonton kisah wayang? Para generasi tua pasti tahu betapa banyak nilai budi pekerti dalam kisah-kisah wayang tersebut. Revolusi mental ini sudah tentu butuh waktu yang sangat lama untuk bisa membentuk mental bangsa pemenang. Kita lihat saja dalam 5 tahun ke depan, sejauh mana Jokowi bisa mengerjakan revolusi mental ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H