Mohon tunggu...
paulus londo
paulus londo Mohon Tunggu... -

Aku bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Indonesia Selera Asing?

4 April 2014   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13965196512030374670

[caption id="attachment_318312" align="aligncenter" width="249" caption="Paulus Londo (dok: PA PA GMNI Jakarta Raya)"][/caption]

Oleh:

PAULUS LONDO

Pada tahun ini (2014) Indonesiaakan memilih pemimpin. Yakni para wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden yang memimpin pemerintahan. Karena pemilahan itu dilakukan melalui system dan mekanisme pemilihan umum, maka pemimpin yang terpilih selalu dianggap sebagai murni bersumber pada pilihan rakyat.

Namun jika dicermati dengan mendalam, sejatinya mereka yang tampil jadi pemimpin di negeri ini tidak 100% dari rakyat, melainkan karena “selera pihak asing.” Tegasnya, bangsa Indonesia sejatinya belum mampu memilih sendiri pemimpinnya. Memang, dalam konteks pemilihan pemimpin Indonesia, pihak asing kerap memperhatikan realitas yang berkembang di masyarakat. Mereka akan memilih pemimpin yang memang sudah dekat dengan rakyat, namun tentu adalah orang dapat diajak bernegosiasi untuk kepentingan masing-masing.

Tampilnya Soekarno, Hatta, Mas Mansyur, Ki Hdajar Dewantoro, KRT Radjiman Wedioningrat dalam pentas kepemimpinan nasional, tentu karena mereka memiliki karakter yang sesuai dengan selera penguasa Jepang. Namun setelah tentara Sekutu datang ke Indonesia, para pemimpin tersebut untuk sementara “off” dari kekuasaan politik. Sebab kriteria pemimpin yang sesuai dengan selera Sekutu adalah yang berorientasi ke barat seperti Sutah Syahrir dan para tokoh PSI lainnya. Untuk menyesuaikan dengan selera asing, maka tidak hanya karakter para tokoh pemimpinnya tapi juga system ketata-negaraannya juga mesti sesuai. Karena itu, dengan Maklumat X Wakil Presiden Hatta, Indonesia menjalankan system pemerintahan parlementer yang didasarkan pada semangat liberalisme.

Tapi ketika intervensi pihak asing semakin dalam, Soekarno melawan dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin yang memusatkan semua aspek kepemimpinan ke dalam dirinya. Hal ini tentu tidak disukai pihak asing. Ketidaksukaan itu akhirnya bermuara pada penggulingan Soekarno, dan figure pengganti yang cocok dengan selera asing adalah Jenderal Soeharto. Mengapa bukan yang lain, misalnyaSarwo Edhie, atau Nasution ? Sarwo Edhie dan Nasution jelas tidak cocok dengan selera Asing, dalam hal ini Amerika Serikat dan sekutunya. Sebab, Sarwo Edhie dan Nasution ikut terlibat dalam operasi penumpasan PRRI/Permesta yang didukung pihak asing itu.Sementara Soeharto dapat diajak bekerjasama oleh pihak asing untuk menggagalkan Dwikora.

Dalam perkembangan selanjutnya, kepemimpinan Soeharto sudah tidak sesuai dengan selera asing. Sebab ia cenderung menolak beberapa permintaan pihak asing yakni membuka Indonesia selebar-lebarnya bagi kekuasaan modal asing. Karena itu dengan rekayasa politik-ekonomi yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi (yang kemudian menjadi krisis multi dimensi) Soeharto pun digulingkan. B J Habibie sang calon pemimpin yang disiapkan oleh Soeharto juga tak bertahan lama karena tidak sesuai dengan selera Asing.

Post Soeharto

Anehnya, meski banyak tokoh politik Indonesia yang punya hubungan dekat dengan pihak asing (misalnya, Megawati dan Amir Rais punya hubungan dekat dengan para tokoh Partai Demokrat Amerika Serikat seperti Jimmy Carter, Bill Clinton, dan sebagainya) namun pada masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi, pihak asing agak kesulitan menentukan figur pemimpin puncak di negeri ini.

Penyebabnya, yang disebut pihak asing itu tidak tunggal, tapi terdiri dari berbagai kubu dan tentu dengan selera yang berbeda-beda. Karena itu, kendati pada Pemilu 1999, PDI Promeg keluar sebagai pemenang, namun Ketua Umum PDI Promeg, Megawati Soekarnoputeri gagal dalam pemilihan Presiden. Memang terasa janggal, PDI yang menjadi fraksi terbesar di MPR RI tidak berhasil mengantarkan Ketua Umumnya menjadi Presiden. Namun hal itu tidak aneh jika didasarkan pada pemahaman bahwa untuk jadi pemimpin di Indonesia mesti cocok dengan selera pihak asing. Dengan kata lain, pada saat itu figur Megawati tidak (belum) sesuai dengan keinginan pihak asing, dalam hal ini pihak Kapitalis Barat. Mereka itu melalui jaringan kompradornya di dalam negeri –termasuk di MPR- berhasil menggagalkan Megawati dalam pemilihan presiden.

Operasi penggagalan Megawati dalam Pemilihan Presidenpada saat itu tentu dapat dimaklumi sebab pada saat itu masih banyak nasionalis marhaenis soekarnois yang berada di sekitar Megawati, seperti Sophan Sophian (alm), Dr. Roeslan Abdul Gani (alm) , Amin Aryoso, Roy BB Yanis, Haryanto Taslam dan masih banyak yang lain. Memang saat itu tidak mudah bagi pihak asing menentukan figur yang tepat untuk menjadi Presiden RI, sebab sebagian besar dari tokoh yang dekat dengan asing juga memiliki keterkaitan dengan rezim lama (orde baru). Sementara tokoh yang kritis terhadap Soeharto seperti Amin Rais namun minim dukungan rakyat. Sukses Amin Rais dan “kelompoknya” menggalang kerjasama dengan partai-partai menengah dan kecil telahmengantarkannya menjadi Ketua MPR RI,dan dengan jabatan itu ia memainkan peranan yang memadai dalam perubahan UUD 1945

Pilihan menjadi Presiden RI akhirnya jatuh kepada K H Abdurahman Wahid (Gus Dur), tokoh yang lihai menjaga keseimbangan hubungan dengan semua kelompok, bahkan dekat dengan Israel. Sejatinya, Gus Dur menyadari bahwa sebagai Presiden RI ia akan mendapat tekanan dari pihak asing serta jejaring kompradornya di dalam negeri. Karena itu, dalam kedudukannya sebagai presiden, Gus Dur tetap menjaga keseimbangan hubungan dengan berbagai kelompok kekuatan internasional (dengan kapitalis barat, eropa, tiongkok, india dan sebagainya). Sedangkan untuk mengecoh para komprador asing di dalam negeri, Gus Dur menerapkan jurus “pendekarmabok,”yang oleh sebagian orang dianggap sikap mencla mencle. Dengan pernyataan-pernyataannya yang kerap saling bertolak belakang, maka sulit bagi komprador asing menjebaknya.

Karakter asli seorang Gus Dur yang independen, berani tidak mudah didikte (apalagi kalau hanya digertak) baru terlihat jelas ketika ia dengan berani dan tegas menolak permintaan Amerika Serikat –melalui ,mantan Menlu AS, Hennry Kisinger yang langsung menemuinya di Jakarta—memperpanjang kontrak Freeport, dan perusahaan AS lainnya tanpa pembaruan isi kontrak. “Jangan gadaikan Papua,” itu perintah Presiden Gus Dur kepada jajaran kabinetnya. Pada saat bersamaan, Gus Dur juga menegaskan hubungannya yang akrab dengan Tiongkok, namun tanpa kompromi terhadap konglomerat hitam. Bahkan ia dengan tegas memerintahkan agar pelaku judi di Kepulauan Seribu ditangkap dan Petral yang selama ini mengusai supply bahan bakar dari Singapura ke Indonesia dibubarkan.

Dengan pendekatan kultural persuasif, Gus Dur juga berusaha mengatasi gerakan separatis di Aceh dan Papua. Pendekatan dialogis dengan para pentolan separatis (terkecuali yang berada di luar negari), sudah mulai menunjukkan hasil, dan ini jelas tidak disukai pihak asing yang berada dibalik gerakan separatis itu.

Karena itu dilancarkan “operasi” penggulingan Presiden Gus Dur dan operasi itu bisa berjalan mulus seiring dengan terjadi keretakan antara Gus Dur dengan Megawati, sementara Amin Rais yang menjabat Ketua MPR RI juga menghendakinya. Melalui penyelenggaraan Sidang Istimewa yang dikuasai jejaring asing, Gus Dur pun berhasil dilengserkan.

Meski , menurut konstitusi Wakil Presiden Megawati otomatis menggantikannya menjadi presiden, namun pada kenyataannya tidak mudah. Menurut beberapa sumber, setelah MPR RI memutuskan pemberhentian Gus Dur, maka yang dilakukan selanjutnya adalah menekan Megawati agar menerima permintaan pihak asing yakni bersedia mengubah (amandemen UUD 1945) sehingga ke depan operasional anasir asing mendapat pembenaran secara konstitusional. Jika Megawati menolak, maka MPR RI akan menggelar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru, dan dipastikan Megawati tidak akan terpilih.

Selain itu, pada saat berlangsung Sidang Istimewa MPR RI aliran dana dari asing terus mengucur deras untuk menjinakkan para anggota MPR RI. Megawati akhirnya mengalah. Apalagi ia kemudian “dipaksa” menyerahkan posisi strategis PDI di perwakilan rakyat kepada mereka yang akomodatif kepada pihak asing seperti Yakob Tobing dan Arifin Panigoro.Hal ini mengecewakan para nasionalis-soekarnois yang sudah sejak awal berjuang bersama Megawati. Sophan Sophian (alm)yang kala itu menjabat Ketua Fraksi PDI di MPR RI kehilangan fungsi politiknya sama sekali, karena untuk kelancaran amandemen UUD 1945, Yakob Tobing selaku Ketua Panitia Ad Hoc I (PAH I) MPR langsung berhubungan ke Megawati tanpa melalui Fraksi PDI MPR-RI.

Sementara untuk menggalang dukungan anggota Fraksi PDI di MPR RI, Theo Syafei memainkan peranannya dengan cantik, berhasil membungkam suara pihak yang menolak amandemen itu, meski dalam barisan yang menolak amandemen terdapat Taufik Kiemas, suami Megawati. Hubungan mesra Pemerintahan Megawati dengan pihak asing psada awalnya berlangsung dengan mesranya. Berbagai permintaan pihak asing, seperti penjualan BUMN strategis (Indosat, dan sebagainya), perpanjangan ijin dan atau ijin baru eksploitasi sumber daya alam umumnya berjalan mulus. Penerapan system kerja outsourcing, pemberian kemudahan bagi para konglomerat (BLBI), dan sebagainya merupakan sebagian indikator kesamaan selera antara kedua belah pihak.

Tapi peralihan kekuasaan di Amerika Serikat dari Partai Demokrat (Clinton) ke Partai Republik (G W Bush Jr) juga berpengaruh terhadap format hubungan Megawati dengan Amerika Serikat. Kemesraan pun menjadi hambar ketika Mega menolak memberi dukungan terhadap penyerangan Amerika Serikat dan sekutunya di Afganistan, dan juga menolak menyerahkan Ustad Abu Bakar Baasyir ke pihak Amerika Serikat. Tentu, lebih mengecewakan Amerika Serikat dan pihak barat pada umumnya, ketika PDIP, yang dipimpin oleh Megawati menjalin kerjasa sama “sekolah politik” dengan Partai KomunisTiongkok.

Karena itudimata Barat perlu dimunculkan calon pemimpinbaru dan diawali dengan program pembentukan citra (image building)melalui media massa. Tokoh baru dimunculkan itu adalah Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat menteri di Kabinet Megawati. Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang menanjak tajam dan nyaris menyaingi popularitas Megawati pada gilirannya membuat hubungan antara Mega dan SBY menjadi hambar. Kesempatan SBY menampilkan diri sebagai pihak yang teraniaya dan karenanya menarik rasa iba dihati publik menemukan momentunya ketika Taufik Kiemas, suami Megawati secara terbuka menilai SBY “seperti anak kecil.”

Sama halnya dengan awal kepemimpinanMegawati, SBYjuga merupakan sosok pemimpin yang sesuai selera asing, khususnya Amerika Serikat. Bedanya, yang menjalin hubungan akrab dengan SBY adalah elite partairepublik.Kesukaan tersebut tampak didasarkan pada kenyataan bahwa Presiden SBY tidak mengusik kepentingan asing di Indonesia, bahkan ia cenderung bersikap santun terhadap negara tetangga yang nyata-nyata berbuat usil terhadap Indonesia. Yang kerap bersuara lantang terhadap pihak asing justru Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Salah satu yang mungkin tidak disukai oleh para konglomerat bermasalah yang sementara waktu “mengungsi: ke luar negeri adalah sikap Presiden SBY yang tidak memberikan “pengampunan” sehingga para konglomerat bermasalah itu dapat segera kembali ke Indonesia. Para konglomerat bermasalah semakin ragu terhadap itikad SBY mencari solusi yang “mengenakkan” dua belah pihak, ketika Presiden SBY membiarkan besannya sendiri, Aulia Pohan berurusan dengan penegak hukum hingga masuk bui. Dalam persoalan korupsi, Presiden SBY memang terkesan membiarkan sepak terjang KPK yang cenderung mengganas sehingga tak sedikit yang masuk bui, kendati tindakan lembaga anti rasuah itu dituding tebang pilih. Bahkan kasus Hambalang dan Century yang langsung mengarah ke jantung Partai Demokrat dibiarkan bergulir liar menyeret sejumlah figure yang berada di dalam slagorde Presiden SBY.

SUKSESI 2014

Dalam sejarah terlihat jelas bahwa naik dan jatuhnya pemimpin di Indonesia selalu ditemukan jejak intervensi pihak asing. Bahkan tidak hanya pada level nasional tapi belakangan juga pada suksesi lokal (Pemilukada) Karena itu, pada Pemilu 2914 (Pemilu Legislatif dan Pilpres) bisa dipastikan akan banyak agen-agen asing ikut bermain, baik untuk memenangkan jagoannya, maupun untuk mengganjal calon pemimpin yang tidak mereka sukai. Bahkan petarungan antar jejaring asing pada suksesi kali ini, kemungkinan lebih seru dibanding dengan momentum sebelumnya. Sebab jika dimasa lampau, anasir asing yang dominan berasal dari kubu barat dibawah kendali Amerika Serikat dan sekutunya, maka pada Pemilu kali ini muncul kekuatan internasional baru seperti Rusia dan Tiongkok, dan tentu juga kekuatan internasional lainnya yang juga berkepentingan dengan Indonesia sepertinegara-negara Timur Tengah, India, Jepang dan lain-lain.

Pertarungan antar kekuatan asing pun menjadi semakin seru jika dikaitkan dengan menghangatnya konflik di kawasan Asia Timur dan Tenggara yang berpusat di Laut Tiongkok Selatan. Terkait dengan itu maka ada beberapa fakta yang patut dicermati lebih dalam yakni:

1.Pada Pilpres 2014 tidak ada Capres Petahana (incumbent), karena Presiden SBY sudah dua periode menjabat presiden. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi munculnya figur pemimpin baru. Hal ini telah merangsang banyak tokoh mengadu untung dengan menawarkan diri menjadi Capres/Cawapres, dan bagi pihak asing ini berarti terbuka kesempatan membangun hubungan kerjasama baru dengan harapan lebih menguntungkan mereka. Dengan kata lain, ada kesempatan bagi pihak asing mendiktekan kepentingan mereka kepada pemimpin baru.

2.Kendati Presiden SBY bisa dipastikan tidak ikut bertarung dalam Pemilu Presiden 2014, namun tetap saja menjadi sasaran hujatann dari berberepa kelompok politik dan sementara itu terus mendapat tekanan dari pihak asing, baik terbuka maupun dalam bentuk aksi spionase (penyadapan telepon). Apakah ini berarti jejaring penduku SBY baik di dalam negeri maupun di luar negeri masih dipandang kuat sehingga perlu pelumpuhan ?

3.Sesungguhnya yang jadi sasaran kritik (hujatan), tidak hanya Presiden SBY, tapi juga mantan Presiden Megawati dan Calon Presiden Aburizal Bakrie. Perbedaannya, target kritik, hujatan dan diintimidasi terhadap Megawati adalah agar yang bersangkutan memberi kekuasaan kepada Joko Widodo dan menetapkannya menjadi Calon Presiden dari PDIP. Sementara tekanan terhadap Aburizal Bakrie, tampak terkait dengan sosok yang bersangkutan dan Partai Golkar yang relatif independen, tidak banyak tergantung kepada pihak asing.

4.Fenomena Joko Widodo dari tokoh yang kurang dikenal bermetaporfosis menjadi figur paling populer menyisihkan figur-figur lain. Apakah hal yang tal lazim ini merupakansesuatu yang natural, atau hasil kerja “operasi senyap”dari suatu “jejaring politik terselubung ?”Hal ini tentu menarik disimak sebab melambungnya popularitas Joko Widodo dan kuatnya tekanan terhadap Megawati agar segera menetapkan Joko Widodo sebagai Calon Presiden, cukup berhasil meruntuhkan bangunan kerjasa sama politik antara PDIP (Megawati) dan Gerindra (Prabowo Soebianto), dua partai politik yang karena visi, misi dan program perjuangannya kerap disebut sebagai parpol berciri Nasionalis-Sosialis.

5.Pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati pada saat menyambut kemenangan Joko Widodo-Ahok dalam Pilkada Jakarta yakni adanya “Penumpang Gelap” yang membajak kemenangan tersebut. Bagaimana mungkin partai sekelas PDIP dan Gerindra tidak mampu mendeteks secara dini kehadiran penumpang gelap (ini merupakan indikatir lemahnya intelijen parpol di Indonesia). Rumor beredar di masyarakat, sejatinya Presiden SBY dan Partai Demokrat sejak awal telah mengendus kehadiran penumpang gelap dan Megawati juga merasakan hal sama. Maka jadi pertanyaan: Mengapa mereka membiarkannya ? Ada apa di balik itu ?

CATATAN AKHIR:

1.Faktor letak geografis serta kelimpahan sumber daya alam Indonesiasenantiasa menarik perhatian asing menanamkan pengaruhnya di Indonesia (Penanaman Pengaruh – Dominasi- Hegemoni).Hal ini sudah terjadi sejak jaman purbakala dan akan terus berlangsung sepanjang masa. Kekuatan asing (multi nasional) yang sudah terlanjur mereguk kenikmatan dari bumi nusantara, jelas tidak akan rela melepaskan segala sumber kenikmatan itu.

2.Salah satu bentuk penguasaan atas bumi nusantara adalah ikut menentukan figur pemimpin negara, yakni dengan mendudukkan orang yang mudah diatur atau “boneka.” Hal ini secara jelas dengan campur tangannya penguasa kolonial dalam proses penentuan sultan/raja. Upaya tersebut juga tetap berlangsung setelah Indonesia merdeka.

3.Maka keberanian memilih pemimpin yang independen dari pengaruh asing tapi memiliki komitmen kuat bagi masa depan Indonesia Raya yang jaya pada hakekatnya merupakan “panggilan patriotik,” bagi setiap bangsa Indonesia.

1 April 2014

PAULUS LONDO

Alumni GMNI Jakarta Raya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun