Pagi-pagi benar
Setelah aku keluar dari kamar
Dengan tatapan yang masih samar-samar
Kutemui bapak lagi santai menyeruput kopi
Dengan tampilan wajah penuh reflektif
Mentari pagi menyirami wajah bapak yang senja
Wajah bapak terukir sebuah makna hidup yang tak kunjung redup
Dengan tatapan yang masih samar-samar
Kutanyai soal surat warisan
Emak sengaja tak mendengarnya
Saudari-saudariku juga, seakan-akan mereka menutup telinga
Sedangkan bapak masih santai menikmati kopinya
Rupanya bapak sengaja tak mendengarkannya
Beliau malah begitu kusyuk menyeruput kopi
Sembari menyemburkan isi kepalanya pada langit
yang isinya adalah inspirasi-inspirasi
Ceritanya lebih menarik dari pertanyaanku
Namun
Tak sekali bapak membiarkan isi kepalanya tumpah dan tenggelam dalam cairan hitam itu
Karena bagi bapak;
Hidup ini bukan hanya tentang pahit dan manis
Banyak rasa yang harus dirasakan
Banyak pertanyaan yang harus dituntaskan
Sebelum tenggelam dalam realita kehidupan
Usai menatap kekosongan dan kebisuan pagi itu
Tanpa sepata katapun bapak memberikan surat itu
Setelah kubuka ternyata bukan surat warisan
Tak ada segudang tanah
Ia tak ingin sepetak tanahpun tumbuh di atas kepala anak-anaknya
Yang ia berikan adalah wasiatnya
Di akhir surat wasiat bapak tertulis
"SABAR, SABAR, DAN SABAR, nak hidup ini butuh kesabaran"
Itu yang kudapat dari tangan bapak
Itu Wasiat yang kuterima dari padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H