Mohon tunggu...
Paulus Aditya Christianto
Paulus Aditya Christianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - fresh graduate

Hobi mengamati fenomena sosial-politik baik nasional ataupun internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Imigran di Eropa: Generosity or Too Generous?

3 Mei 2021   15:38 Diperbarui: 4 Mei 2021   10:48 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.nyclu.org/

Imigran merupakan bentuk dari penyebutan orang yang melakukan imigrasi. Imigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk menetap. 

Fenomena imigrasi yang dialami oleh sebagian besar negara-negara Eropa khususnya Eropa Barat sudah dimulai sejak dahulu kala sebagai tempat berlindung dari negara asalnya yang dapat dikatakan tidak aman baik secara politik, sosial ataupun keamanan. Imigrasi yang sudah ada dari zaman dahulu sebagai contoh secara umum adalah persebaran bangsa Yahudi. 

Bangsa Yahudi yang sudah menempati tanah levant sejak 1047 SM serta mendirikan 2 kerajaan yaitu Kerajaan Israel dan Yudea harus berakhir sekitar tahun 586-587 SM di bawah kekuasaan Babilonia, dan berganti ke Persia, Yunani, Romawi hingga masa pemerintahan Islam. 

Peristiwa demi peristiwa yang dialami bangsa Yahudi memaksa mereka menjadi imigran dan tersebar di berbagai tempat termasuk dataran Eropa demi mencari tempat berlindung dari tindakan diskriminasi sosial yang kerap dialami oleh para penganut Kristen ataupun Islam.

Pada abad ke-21 ini kedatangan imigran asing khususnya berasal dari Afrika, Timur Tengah atau Balkan di dataran Eropa menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Eropa, terlebih digaungkannya perjuangan Hak Asasi Manusia sempat di perjuangkan oleh sebagian besar pemerintah dari negara-negara Eropa Barat atau Utara. 

Melonjaknya angka imigran di Eropa tidak terjadi tanpa alasan, melainkan adanya konflik di negara asalnya seperti Suriah, dan Afghanistan dengan ketidakstabilan politiknya tidak menjamin keamanan bagi penduduknya. Mungkin akan menjadi pertanyaan, mengapa harus Eropa? Adapun alasannya sebagai berikut:

"Di Timur Tengah, selalu ada konflik Sunni-Syiah. Ketika datang pengungsi dari Suriah yang mayoritas Syiah, negara-negara Arab, seperti Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, takut ada infiltrasi ideologi yang bergeser dari Syiah," ujar Zuhairi kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).

***

Dilansir dalam Forbes, selain dari tujuan humanitarian, namun juga bertujuan untuk menambah angka usia produtivitas di Eropa yang sebagian besar sudah berusia lansia jika dibandingkan dengan generasi muda. Hal ini dapat dilihat dari sensus penduduk Negara Jerman sebagai beikut:

https://theodora.com/
https://theodora.com/

Berdasarkan contoh diagram diatas diambil dari sampel sensus penduduk tahun 2018 menunjukan angka penduduk usia 50 tahun keatas jauh lebih besar dibanding dengan angka penduduk muda.

Hal ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi khususnya industri di Eropa jika sewaktu-waktu anga penduduk usia 50 tahun ini menginjak usia pensiun, hingga menyebabkan pension crisis serta fiscal imbalance karena sistem dana pensiun di sebagian besar negara UE menerapkan prinsip solidaritas antarkelompok pekerja dan pensiun dan bukan pada akumulasi. 

Artinya, setiap potongan dana pensiun dari pekerja sesungguhnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi kelompok pensiun. Maka dari itu jika angkatan kerja rendah maka negara tidak mampu menyokong kesinambungan sistem dana pensiun. 

***

Dari program imigrasi ini tentunya membawa perubahan yang positif dari segi sumber daya manusia dan juga ekonomi dengan bertambahnya tenaga ahli yang dibutuhkan seperti imigran India yang yang sebagaian besar dikenal sebagai ahli IT.

 Adanya imigran di Eropa juga memberikan dampak positif dari segi budaya, di mana Eropa yang dikenal dengan masyarakatnya yang homogen dapat berbaur dengan masyarakat dari latar belakang budaya lainnya sehingga membentuk masyarakat multikultur.

***

Berdasarkan dampat positif diatas juga tidak luput dari dampak negatif yang diterima. Dari segi bertambahnya tenaga ahli, tentunya akan diikuti dengan tingginya persaingan antara job seekers, sehingga dapat menimbulkan konfliK horizontal antara imigran dengan penduduk setempat. 

Budaya juga selain dampak positif yang ditawarkan juga membawa dampak negatif, di mana budaya individual masyarakat EU yang kental akan bertabrakan dengan budaya kolektif yang dibawa oleh imigran asal Afrika, Timur Tengah atau Asia Timur pada umumnya, sehingga tidak jarang ada imigran yang menolak berintegrasi dengan penduduk lokal dari segi sosial budaya. 

Gagap bahasa dan rendahnya pendidikan dari negara asal juga menjadi masalah yang cukup penting bagi sebagian besar imigran di EU, sehingga tidak jarang dari mereka yang menganggur serta penghasilannya yang hanya mengandalkan dari jaminan sosial. 

Banyaknya angka pengangguran dari kalangan imigran tentunya dapat meningkatkan angka kriminalitas, sebagai contoh maraknya kasus pemerkosaan, dan pemerasan di Jerman dan Swedia oleh Imigran dengan latar belakang korban penduduk lokal ataupun sesama imigran. 

Polisi Jerman mengatakan, serangan seksual massal – mulai dari meraba-raba hingga pemerkosaan – di  Cologne telah melibatkan 2.000 pria imigran.(Internasional Kompas, 12/07/2016)

Tingginya angka kriminalitas dari kalangan imigran tentunya juga disebabkan kurang pengawasannya pihak imigrasi terhadap imigran ilegal yang masuk ke suatu negara tanpa dibekali skill yang memumpuni untuk bersaing di negara tujuan. 

Membludaknya imigran di EU tentunya membawa konflik di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri, di mana kelompok partai sayang kanan kerap menekankan pembatasan imigran serta menutup perbatasan guna kepentingan keamanan dan kesejahteraan warga negaranya.

"Guna mengurangi arus migrasi, akan sangat membantu jika Merkel dengan jelas dan secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada lagi akses arus masuk tanpa kendali ke Jerman," kata Lindner. (DW, 03/03/2020)

https://www.dw.com/
https://www.dw.com/

Dari segi agama tentunya menjadi topik yang populer dengan adanya Islamophobia. Timbulnya Islamophobia di Eropa tentunya bukan tanpa sebab, maraknya aksi terorisme berkedok agama Islam kerap menghantui masyarakat Eropa sehingga akan menjadi wajar timbul rasa tidak nyaman akan kedatangannya imigran yang berasal dari negara yang dilanda konflik karena aksi separatisme yang berlatar belakang agama seperti ISIS, Boko Haram, Al-Qaeda, Taliban, dan lain-lain. 

Perasaan waspada timbul sebagai wujud khawatir akan adanya penyusup yang hendak melancarkan aksi terorisme, seperti pada peristiwa bom Paris, tragedi 11/09, dll.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun