Adamu tersembunyi.
Terperangkap dalam mulut.
Terpelihara dengan lembut.
Tertunduk pada kehendak bibir melepaskanmu kapan dan kenapa engkau boleh bergerak bebas.
Sungguh dasyat!
Sekali engkau dilepaskan,
Alam semesta meleset keluar mengeja dalam warna-warni kata-kata yang tak menemui pangkal.
Sayang!
Selamanya engkau diperbudak oleh nalar dan rasa.
Adamu tak kan pernah berpaling.
Sudah terlanjur!
Menjadi mainan yang bergerak-gerak tanpa kausadari sendiri mampu menggoncangkan dunia, melumatkan jagad raya walau sekejap.
Tapi, kehebatanmu tak pernah dipuja. Bahkan kesesatanmu juga membebaskanmu dari berbagai tudingan.
Sungguh naas!
Kelenturanmu telah diperbudak oleh otak dan otak-otak,Â
telah dipersunting oleh rasa nan ragam.
Tarian keelokanmu digoncangkan lalu membungkam dirimu dalam ambisi dan keserakahan.Â
Engkau dibelah.
Bercabang dalam beratus, beribu dan berjuta-juta.
Nalar dan rasa memperalat dirimu untuk menebarkan kebencian, menyuburkan kebohongan dengan legitimasi-legitimasi semu.
Kau dipaksakan untuk membunyikan bunyi-bunyi yang sudah terkunci rapat dalam kedua bibir.Â
Cabangmu terus dipelihara,
Dipersunting bagai pengantin.
Berarak-arak memasuki layar kaca, menyirami dunia maya buat membela diri:Â
menarasikan kepedulian kepada kaum miskin,
menarasikan toleransi, dan
menarasikan upaya melumpuhkan kezaliman.
Cabangmu berkembang mekar, semekar otak dan otak-otak.
Kini, tempatmu tidak sesempit mulut lagi.Â
Tidak juga bergantung pada kebaikan bibir.
Adamu yang bercabang telah mampu membesarkan otak-otak tercemar oleh zaman.
Jakarta, 306021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H