Pak Bondan, si sopir angkot bahagia saja hidup bersama Bu Citra, perempuan yang dinikahinya 30 tahun lalu. Kebahagiaan mereka mendapat kepenuhan dengan dianugerahi 3 buah hati yang ganteng dan cantik-cantik.Â
Apakah sejarah perkawinan mereka lolos masalah? Jelas ada. Pribadi Pak Bondan tidak sama dengan pribadi Bu Citra. Setiap pribadi itu unik, kata psikolog. Toh, langgeng sampai detik ini.
Pak Ekayana, seorang guru sekolah dasar. Perfeksionis. Kepribadiannya itulah yang telah menutup pintu rapat-rapat buat setiap gadis yang ingin mendekatinya. Perfeksionisnya itulah yang membuat Pak Ekayana sudah 35 tahun hidup bersama dalam ikatan perkawinan dengan Ibu Sumarni. Memang, perkawinan dari hasil perjodohan kedua pasang oran tua. Mereka hidup bahagia bersama kedua putra putrinya hingga detik ini juga.Â
Melalui ilustrasi dua keluarga di atas, saya ingin mengatakan bahwa dijodohkan atau tidak, jaminan kebahagiaan keluarga terbuka lebar, selebar samudera yang tak bertepi. Nyatanya, perkawinan atas dasar pilihan sendiri Pak Bondan dan Ibu Citra tetap langgeng. Nyatanya, perkawinan melalui perjodohan orang tua kedua pihak, Pak Ekayana dan Ibu Sumarni juga langgeng. Masalah?Â
Maka, persoalan langgeng tidaknya perkawinan, baik atas  pilihan sendiri maupun atas pilihan orang tua terletak terletak di sini. Seberapa besar pasangan itu mengusahakan kebahagiaan sepanjang hidup perkawinan mereka.
#1 Setiap pribadi itu unik sehingga perlu diselami.
Kepribadian Pak Bondan berbeda dengan kepribadian Ibu Citra. Begitu juga Pak Ekayana dan Ibu Sumarni. Mungkin kedalaman saling kenal Pak Bondan dan Ibu Citra berbeda dengan Pak Ekayana dan Ibu Sumarni. Kemauan dan kesadaran saling mengenal lebih jauh dalam kurun waktu yang relatif lebih lama membuat kedua pasangan orang muda ketika itu boleh dikatakan lebih siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan.Â
Sebaliknya, sebagai pasangan yang dijodohkan, Mas Ekayana dan Mbak Sumantri kala itu melaju ke kursi pelaminan dalam kondisi saling kenal yang kurang mendalam. Maklum! Berangkat dari proses mengenali pasangannya atas dorongan dari kedua orang tua.
Kenyataan bahwa kedua pasangan itu hidup rukun dan langgeng mengindikasikan bahwa mereka sudah menyelami keunikan kepribadian masing-masing. Perbedaan kepribadian ternyata bukanlah menjadi alasan untuk menilai bahwa perjodohan itu menyengsarakan ala pernikahan Siti Nurbaya; perjodohan itu menciptakan kehidupan keluarga yang tidak harmonis, seperti anggapan sebagian masyarakat.Â
Kesimpulan: setiap pribadi itu unik. Setiap pasangan itu unik. Keunikan butuh penerimaan dan penyesuaian kedua pihak sehingga keluarga langgeng dan bahagia.
#2 Cinta perkawinan bertumbuh sepanjang hayat.
Kalau dibilang kadar cinta pasangan Pak Bondan dan Ibu Citra lebih besar dibandingkan pasangan Pak Ekayana dan Ibu Sumarni, ya, boleh-boleh saja.Â
"Benar, nih, Bon, lo benar-benar mencintai calonmu itu?" Tanya orangtua Bondan ketika itu. Mungkin nada serupa juga berlaku terhadap Citra muda. Tentu jawaban kedua orang muda itu sama. "Benar, Beh."
Jelas, cinta sudah bertumbuh di antara mereka. Maka, modal awal itu memotivasi pasangan muda melangkah menaiki bahtera kehidupan bersama.
Bisa saja berbeda dengan Mas Ekayana dan Mbak Sumarni. Kadar cinta tergantung berapa lama mereka sudah berkenalan. Semakin lama orang tua mengulurkan waktu pernikahan, semakin lama pasangan muda itu saling menyelami dan menumbuhkan rasa cinta.Â
Tapi, sudahlah! Yang penting, dijodohkan atau tidak, sudah ada cinta di antara kedua pasangan muda itu. Sama-sama mereka akhirnya memutuskan untuk dipersatukan oleh Allah di depan pejabat agama, seperti penghulu atau pastor.Â
Kesimpulan: kadar cinta setiap pasangan ketika memasuki jenjang rumah tangga sudah pasti berbeda-beda. Tidak masalah, dijodohkan atau pilihan sendiri. Kadar awal itu akan semakin bertumbuh sepanjang jalan perkawinan,Â
                  ***
Akhirnya, saya menyimpulkan, perkawinan melalui perjodohan atau atas pilihan sendiri bukanlah masalah. Semua perkawinan bisa langgeng, bisa juga buntu lalu masing-masing berjalan berlawanan arah. Satu ke utara satunya lagi ke selatan. Nyatanya, banyak pasangan dari hasil perjodohan hidup langgeng dan bahagia.Â
Inilah modal kelanggengan dan kebahagiaan, yaitu tali kesalingan.Â
Saling menerima.
Saling menghargai.
Saling terbuka.
Saling memaafkan.
Semoga.
Jakarta, 20052021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H