Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Omongan Tetangga bagai Dua Mata Koin

3 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 3 Mei 2021   07:02 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi omongan tetangga (Cintalia.com)

Omongan tetangga adalah salah satu fenomena hidup bertetangga. Tanpa omongan tetangga hidup ini terasa hambar, tidak ubahnya dengan makanan tanpa bumbu. Masakan terasa hambar, alias tidak nikmat. Karenanya, omongan tetangga mesti kita hadapi; mesti kita sikapi agar tidak menjadi persoalan yang menguras energi kita sendiri ataupun memperburuk relasi kita dengan tetangga. 

Terhadap masalah omongan tetangga, saya cenderung memandangnya sebagai dua mata koin. Sebagaimana kita ketahui, dua mata koin meskipun berbeda gambar tetap merupakan satu- kesatuan yang bernilai. Begitu juga dengan omongan tetangga. Baik omongan itu bernada negatif maupun bernada positif, hendaknya kita terima itu sebagai proses untuk mendewasakan; proses untuk membuat diri kita semakin bijaksana dalam hidup bertetangga, atau dalam berelasi dengan orang lain pada umumnya.

Sikap Objektif

Hal pertama yang kita lakukan terhadap omongan tetangga adalah bersikap objektif. Kita bisa bertanya pada diri sendiri atau membicarakannya dalam keluarga, benar-tidaknya omongan tetangga tersebut. Di sinilah sikap keterbukaan dan kejujuran dibutuhkan. Dalam suasana persaudaraan anggota keluarga saling mengungkapkan kebenaran. Benarkah omongan tetangga tersebut? Jika benar, omongan itu menjadi cermin, menjadi umpan balik dalam memperbaiki sikap, kata-kata atau perbuatan anggota keluarga ke depan.

Sebaliknya, jika omongan itu kita tanggapi secara subjektif, dalam arti ditanggapi secara emosional, tentu menimbulkan persoalan. Tanpa meneliti benar-salahnya, kita langsung menanggapi. Kita pasti membela diri, mengekspresikan ketersinggungan dengan kata-kata kasar. Jelas ini akan memperburuk situasi. Persoalan akan menjadi panjang. 

Mulailah dari Diri Sendiri

Setiap ada persoalan dengan orang lain, penyelesaiannya  yang bijaksana adalah memulainya dari diri sendiri. Secara objektif kita meneliti kelemahan-kelemahan kita. Bagaimana perilaku kita selama ini: bahasa kita, kata-kata kita, atau sikap badan kita yang menyinggung perasaan orang lain. 

Terkait persoalan omongan tetangga, jika benar omongan itu, kita jadikan sebagai bahan untuk mengubah diri. Umumnya, omongan tetangga tidak jauh dari persoalan-persoalan ini:

  • Memutar musik terlalu kencang

  • Istri atau anak perempuan pulang larut malam

  • Pertengkaran dalam keluarga

  • Mendidik anak dengan nada keras (misalnya mengerjakan PR)

  • Membasahi halaman atau kendaraan tetangga ketika mencuci kendaraan

  • Canda tawa tamu ketika jauh malam

  • Membeli perlengkapan rumah tangga

  • Parkir kendaraan di depan rumah tetangga

  • Atap rumah melewati batas tanah

  • Anak perempuan yang belum menikah

  • Suami yang tidak bekerja

  • Tidak pernah keluar rumah

  • Jarang atau tidak pernah ikut rapat warga

  • Suka berhutang

Apabila ada benarnya omongan tetangga di atas, marilah kita memperbaikinya.Tidak perlu kita membela diri dengan mengatakan "uruslah keluargamu sendiri!", atau "jangan mencampuri ususan keluarga saya!". Omongan tidak pernah akan berhenti jika tidak kita mulai dengan mengubah diri kita sendiri. 

Mawas Diri 

Bagaimana kalau omongan tetangga itu tidak benar? 

Ada pelajaran berharga dari omongan tetangga. Pertama, kita bisa mempelajari karakter tetangga kita. Ternyata tetangga kita termasuk orang yang iri hati, tidak suka melihat orang lain sukses, pendendam, tidak realistis, suka berangan-angan, dan sebagainya. Dengan mengetahui karakteristik tetangga seperti itu, kita semakin mawas diri. Kita bisa membawa diri dalam pergaulan sehari-hari dengan menjaga tutur kata dan perbuatan yang sopan, ramah, dan rendah hati. Dengan demikian, kita semakin dihormati, disegani, bahkan diberi kepercayaan dalam tugas kemasyarakatan tertentu.

Sebagai penutup, saya menggaris bawahi, omongan tetangga adalah fenomena biasa dalam hidup bertetangga. Omongan tetangga seperti dua mata koin yang tak terpisahkan. Jika omongan itu benar, marilah kita jadikan itu sebagai cerminan hidup, yakni bahan refleksi agar ke depan hidup bertetangga menjadi lebih rukun. Sebaliknya jika omongan itu tidak benar, kita jadikan sebagai pelajaran berharga untuk semakin mengenal karakter tetangga kita. Kita semakin bisa membawa diri dalam menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis.

Semoga.

Jakarta, 0305021.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun