Memandang Flobamora dalam haru.
Harummu telah sirna lalu bertenggeran di layar kaca dan media sosial.
Gemuruh angin,
Banjir bandang
Dan isak tangis mengiringi kepergian mereka yang tersayang juga harta benda,
Entah kemana akan berlabuh.
Kedamaian yang sejak lama membalut hatimu,
Nafas "gelekat lewo, gewanang tana" yang sejak lama mengiringi langkahmu,
Kini, terusik sudah!
Dalam satu putaran beliung
Engkau rebah, remuk lalu bersekutu dengan banjir bandangÂ
yang membawamu entah ke mana.
Memandang Flobamora:
Flores, Sumba, Adonara, Lembata, Solor, dan Timor,
dalam harap.
Dukamu tidaklah kekal.
Dukamu telah membangunkan hati-hati belas kasih yang selama ini tidurÂ
dalam gemerlap kerja dan pesta kepentingan.
Bangkitlah saudaraku!
Engkau tidak sendirian.
Lihatlah sekelilingmu,
Betapa ribuan hingga jutaan tangan ringan sedang memapahmu.
Memandang Flobamora dalam dada.
Apakah ini suatu pertanda,
Alam dan kita mesti bersekutu
dalam tali persaudaraan.
Tangis, rintihan dan air mata dapatkah berubah jadi cermin nan lapang,Â
lalu menggantung di awan
Agar Flobamora,
Juga kamu dan aku
Menjadi semakin bersaudara dengan alam ciptaan-Nya.
Jakarta, 08042021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H