Hingga saat ini pembicaraan mengenai gawai tidak pernah sepi. Benda buatan manusia ini dipandang telah menimbulkan efek negatif pada perkembangan anak. Pembicaraan pun melebar ke mana-mana, seperti alasan anak kecanduan bermain gawai, pola pendampingan orangtua, kesalahan orangtua, dosa orangtua, dan berbagai upaya mengalihkan perhatian anak dengan kegiatan lain.
Pertanyaannya, apakah kita orang dewasa berhasil menghentikan kecanduan anak terhadap gawai? Marilah kita beralih sejenak ke persoalan rokok.
Rokok adalah salah satu "pembunuh" manusia. Menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, terdapat sekitar satu miliar perokok di dunia atau sekitar sepertujuh dari populasi global pada tahun 2018. Setiap menit, hampir 11 juta batang rokok diisap di dunia dan 10 orang meninggal karenanya. Sekitar 80 persen perokok dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah dan 226 juta di antaranya dianggap miskin.
Di Indonesia, 76 persen pria dewasa (berumur di atas 15 tahun) sebagai perokok. Jika dilihat dari prosentase penduduk, Indonesia menempati prosentase penduduk sebagai perokok terbesar di dunia.: 76 persen pria berusia di atas 15 tahun tercatat sebagai perokok (liputan 6, 31/5/2018).
Apakah para perokok tidak tahu akan bahaya rokok? Jawabannya, para perokok tahu betul akan bahaya rokok. Terdapat 13 bahaya merokok bagi kesehatan tubuh:
kanker paru-paru, penyakit jantung, koleaterol tinggi, komplikasi diabetes, keguguran, gigi menguning dan keropos, bernagai jenis kanker, monopause prematur, gangguan mata, gangguan ereksi dan kesuburan, menurunnya sistem imun tubuh, rasa cemas dan gelisah, jari menguning dan kulit keriput (sehatq-com, 21/1/2020).
Jika ditanya, mengapa orang merokok? Inilah alasan-alasannya: mengurangi tegang syaraf dan menghilangkan rasa lelah, mengendurkan persendian dan menimbulkan rasa lega, merokok untuk menyendiri, merokok karena ingin menyertai sesuatu perbuatan, merokok sebagai penganti makanan, merokok sebagai sikap sosial, merokok untuk menumbuhkan rasa percaya diri (Kompasiana, 27/1/2016)
Sejak lama pemerintah bekerja sama dengan produsen rokok memberikan peringatan melalui gambar-gambar yang menyeramkan pada bungkusan rokok. Pemerintah puga melarang media massa mengiklankan rokok dengan menampilkan secara langsung orang sedang merokok, atau gambar bungkusan rokok sekalipun. Apakah berhasil? Tidak. Nyatanya orang tetap merokok. Peringatan tetaplah peringatan. "Apalagi merokok ditemani secangkir kopi.Alangkah nikmatnya!" Kata si perokok.
Kembali ke persoalan gawai. Penggunaan gawai yang berlebih berdampak negatif pada perkembangan anak: penurunan perkembangan otak, bahaya radiasi, penurunan kemampuan interaksi sosial, merusak penglihatan, kurangnya minat bermain di alam terbuka, dan tempramental (Kumparan, 3/11/2019). Dampak negatif gawai menjadi heboh ketika pada Oktober 2019 diberitakan bahwa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di daerah Jawa Barat merawat 209 pasien anak akibat dari kecanduan gawai. (Kompasiana, 29/12/2019).
Perihal kecanduan anak terhadap gawai tidak ubahnya dengan pecandu rokok. Menghentikan anak agar tidak menggunakan gawai sepertinya sulit. Mengapa? Sejumlah kondisi berikut yang memungkinkan gawai tidak bisa dilepaskan dari kehidupan anak.
Produksi Gawai
Produksi gawai tak terbendung dalam era teknologi digital. Kehadiran gawai tak pernah luput dari pandangan anak. Di mana-mana terdapat toko atau gerai gawai. Di situ pulalah hasrat anak untuk memiliki dan bermain gawai tak terelakkan.
Sistem Pendidikan Kita
Sistem pembelajaran mengharuskan anak menggunakan gawai sebagai medianya. Ketika di sekolah, anak diharuskan untuk menggunakan gawai untuk mengunduh materi pembelajaran. Dengan gawai, anak belajar mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan membuat dan mengedit audio dan video. Belum lagi anak mengikuti even pertandingan atau perlombaan daring yang disponsori oleh institusi tertentu, seperti membuat animasi, desain grafis, dan video klip.
Mencontoh Orangtua
Karena pekerjaan, orangtua seringkali mengerjakan tugas-tugas kantor menggunakan gawai. Apalagi di saat bekerja dari rumah selama masa pandemi corona ini. Anak tentu menyaksikan perilaku orangtua ini.
Gawai sebagai kebutuhan rekreatif
Kita tidak mengingkari lagi bahwa gawai sebagai media rekreasi anak. Anak mengisi kekosongan waktu di rumah dengan bermain game pada gawai. Ia bisa melepaskan ketegangan setelah mengerjakan tugas di runah, atau melepaskan kebosanannya  setelah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru selama belajar dari rumah.
Sampai kapan anak terus bermain gawai? Seperti hal kita bertanya, sampai kapan pecandu rokok berhenti merokok. Pemerintah maupun orangtua hanya bisa menghimbau. Berhasil tidaknya himbauan itu tergantung pada kesadaran si pencandu rokok.
Begitu hal dengan anak, si pecandu gawai. Beranikah kita menghilangkan sejumlah kondisi di atas?Â
Akhirnya, gawai pun bernasib sama dengan rokok.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H