Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

(Hari Pendidikan Nasional) Rotan Vs Hak Asasi Manusia

2 Mei 2020   13:41 Diperbarui: 2 Mei 2020   14:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional ini saya ingin berbagi pengalaman saya ketika  berada di SD, sebuah sekolah dasar bersubsidi di Lewotala, sebuah desa terpencil di Kecamatan Tanjung Bunga (sekarang maauk Kecamatan Lewolema) di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ini sekitar 40 tahun silam.

Pendidikan kala itu memang sangat disiplin dan keras. Saya akan memberikan contoh-contoh yang sampai saat ini masih tersimpan utuh dalam ingatan.

Alat tulis ketika itu sangat terbatas. Kami menggunakan alat tulis dari selempeng batu (yang disebut grepe). Belum ada buku tulis dan pensil. Ketika pelajaran berlangsung, di lempengan itulah  kami mencatat, setelah itu dihapus untuk mengerjakan latihan. Demikian seterusnya, berlangsung untuk setiap mata pelajaran pada hari itu.

Dengan alat tulis ini, kami dipaksakan untuk mendengarkan, dan berusaha untuk mengerti, bukan menghafal, karena lempengan itu harus bersih setiap kali memasuki pelajaran berikutnya. Jadi, tidak ada catatan buat dipelajari di rumah.

Siswa yang melanggar tatatertib sekolah diberi hukuman fisik yang tidak tanggung-tanggung. Bayangkan saja. Siswa yang terlambat masuk sekolah, dihukum berjalan dengan lulut dari halaman sekolah menuju ruang kelas. Jaraknya kurang lebih 10 meter, dan harus menaiki tangga di depan pintu kelas. Siswa yang alpa di hari kemarin, dihukum berlulut di dekat tiang bendera sambil tengadah ke atas memandang bendera selama 2 sampai 3 jam di bawah terik matahari.

Lain halnya ketika dalam proses pembelajaran di kelas. Kami secara bergiliran mengerjakan soal di depan kelas, mengerjakan soal Berhitung (sekarang Matematika) di papan tulis, papan yang lebar berkaki tiga. Beberapa teman saya yang, maaf, agak kurang nalarnya, sering menjadi tontonan menarik, sekaligus menegangkan. Ketika mereka tidak bisa mengerjakan soal, penggaris kayu yang besar dan panjang berkali-kali mendarat di paha dan betis. Kadang-kadang, karena ayunan penggaris yang cukup, teman saya tersungkur di atas papan tulis yang rubuh. Kami pun dihukum paksa memukulkan kepala ke meja dengan cukup keras secara pribadi atau secara bersama-sama manakala kami tidak bisa menjawab pertanyaan guru dengan tepat.

Ketika kelas V, saya mendapat dua tugas khusus dari guru kelas. Setiap pagi, selama musim hujan, saya harus membersihkan sepatu boot guru kelas yang penuh lumpur. Lima menit sebelum mulai pembelajaran, saya harus menyiapkan rotan, dari ranting pohon lamtoro yang sejak lama ditanam sebagai pagar sekolah.

Setiap hari pembelajaran diawali dengan tanya jawab untuk mengetes materi pembelajaran hari kemarin. Pertanyaan diberikan secara bergilir dari depan ke belakang. Siswa yang tidak bisa menjawab, rotan melayang ke punggung kami. Karena takutnya, kami berusaha untuk menahan rasa sakit, rasa perih.

Itulah pola pendidikan zaman dulu. Kekerasan terhadap siswa dibenarkan oleh pemerintah dan orangtua. Apabila sampailah informasi bahwa seorang siswa memar-memar atau berdarah karena dipukul guru sebagai hukuman atas suatu pelanggaran di sekolah, orangtua malahan memarahi bahkan ikut memukul anaknya di rumah.

Tampak bahwa pembelajaran kala itu terfokus di sekolah. Dengan pola pendidikan yang keras itu, kami, selama pembelajaran di kelas, dipaksakan untuk serius dan fokus pada penjelasan guru. Kami berusaha untuk memahami materi yang diajarkan. Kami harus aktif mengerjakan tugas-tugas secara mandiri maupun berkelompok.

Pendidikan yang disiplin dan keras ternyata tidak sia-sia. Banyak orang sukses saat ini, sebut saja menteri, pengusaha, dokter, dosen, rohaniwan, dan guru.

Berbeda dengan pendidikan zaman ini. Kekerasan fisik terhadap siswa harus berhadapan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Guru tidak boleh menggunakan hukuman fisik, jika siswa melanggar tatatertib sekolah atau tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan. Guru tidak boleh mengeluarkan kata-kata kasar, kata-kata yang danggap merendahkan harga diri siswa. Mirisnya lagi, melalui media massa kita mengetahui guru di-bully, guru dipukul, bahkan guru diperkosa oleh siswa.

Masih pantaskah guru disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga pendidikan Indonesia semakin maju.

*Dipersembahkan untuk Bapak-Ibu guru SD Bersubsidi Lewotala, khususnya Guruku Beda Boli Larantukan dan Domi Jawa Wato.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun