Beberapa hari belakangan ini media massa dihebohkan dengan komentar-komentar, baik lisan maupun tulisan, mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo tentang perbedaan mudik dan pulang kampung (pulkam).Â
Berbagai komentar tersebut, bukan hanya berasal dari para pakar linguistik, melainkan dari mereka  yang menganggap dirinya mempunyai kompetensi di bidang linguistik.Â
Ada komentar yang disertai analisis yang mendalam dan  contoh-contoh yang meyakinkan. Tetapi, ada juga komentar yang berdasarkan pemahaman ala kadarnya mengenai bahasa, karena mereka berasal dari disiplin ilmu yang lain. Tentu saja berbagai komentar tersebut telah membuktikan bahwa kebebasan berpikiran dan berpendapat ke muka publik masih dijunjung tinggi.Â
Namun, yang menarik perhatian saya adalah permasalahan makna kata mudik dan frasa pulang kampung itu melebar, masuk dalam sudut pandang sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Mengapa pembicaraan melebar sejauh itu?Â
Nah, melalui tulisan ini, saya memberikan pemikiran-pemikiran  dengan tujuan, mari kita akhiri perdebatan ini. Kembalilah kita pada konteks pernyataan Presiden Joko Widodo.
Konteks Pembicaraan
Harus kita sadari bersama bahwa gonjang-ganjing mudik dan pulang kampung ini tidak terlepas dari pandemi virus corona. Penyebaran virus corona yang tak terbendung telah menyedot perhatian bangsa.Â
Corona telah mengganggu seluruh sendi kehidupan bangsa. Karena itu, pemerintah dituntut untuk memberikan perhatian penuh terhadap upaya-upaya strategis guna memutus mata rantai persebaran Covid-19 di Tanah Air.Â
Salah satunya dengan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dengan dikeluarkannya PP Nomor 21 Tahun 2020, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 sebagai pedoman untuk menjalankan PSBB.Â
Dalam Permenkes ini dijelaskan bahwa PSBB dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang COVID-19 (14 hari) dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran.
Pernyataan Sikap Istana
Dalam  Kompas.com, Jumat, 24/4/2020, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menanggapi berbagai komentar warganet mengenai makna mudik dan pulang kampung  yang disampaikan Presiden Joko Widodo.Â
Ada dua hal yang disampaikannya. Pertama, istana tidak mempermasalahkan beragam komentar warganet mengenai makna mudik dan pulang kampung. Istana menghargai keebebasan setiap orang untuk berpendapat.Â
Kedua, pernyataan Presiden tidak terlepas dari konteks pembicaraan. Pulang kampung yang dimaksud Presiden adalah kembalinya seseorang ke kampung halaman  karena tidak lagi memiliki pekerjaan di kota perantauan. Sebaliknya, mudik kembalinya seseorang ke kampung halaman dalam konteks Lebaran.
Disiplin Diri
Persoalan makna mudik dan pulang kampung menjadi pembicaraan hangat di media sosial sesungguhnya tidak terlepas dari kedisipilinan diri.
Saya mulai dengan satu contoh. Tetangga saya, sebuat saja Pak Dodi. Pak Dodi selalu mengikuti tradisi mudik atau pulang kampung setiap tahun menjelang Lebaran. Â
Sebagai seorang Jawa tentu jauh sebelum masuknya Covid-19, ia sudah berencana untuk pulang ke kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah. Namun, saat ini, ia membatalkan niatnya untuk pulang, meskipun orangtuanya yang sudah sepuh membutuhkan kehadiran anaknya untuk bersama-sama merayakan Lebaran.Â
Ia memutuskan untuk tidak pulkam karena menghindari kemunhkinan orang-orang yang ia cintai terpapar virus corona. Kehadirannya bisa membawa malapetaka bagi kedua orangtuanya.Â
Meskipun sampai saat ini Pak Doni dan keluarganya dalam kondisii sehat, tapi kekhawatiran akan tertularnya virus corona selalu ada. Melalui perjumpaan dengan penumpang lain dalam kendaraan umum maupun di terminal bus terbuka kemungkiman untuk tertularnya virus corona. Karena itu, ia memutuskan perjalanan untuk tetap tinggal di rumah.
Keputusan Pak Doni tersebut menggambarkan  bahwa ia seorang yang disiplin terhadap dirinya sendiri dan mencintai orangtuanya. Ia juga tidak egois.Â
Ia sadar betul bahwa memutus mata rantai penyebaran virus corona harus dimulai dari diri sendiri. Diri sendirilah yang berinisiatif menjaga jarak dengan orang lain. Alangkah mulianya jika semua orang memiliki kesadaran yang sama dengan Pak Doni.
Penjelasan istana mengenai makna mudik dan pulang kampung di atas sudah barang tentu tidak diterima oleh banyak pihak, terutama pakar linguistik.Â
Akan tetapi, saya berpendapat, pembicaraan ini harus dihentikan. Bahwa adanya pandangan kritis dari para pakar linguistik beberapa hari belakangan ini menjadi masukan bagi Lembaga Bahasa untuk mempertimbangkannya di saat negara kita sudah terbebas dari Covid-19.
Marilah kita mengakhiri polemik ini dengan mendudukan kembali kata mudik dan frasa pulang kampung dalam konteks pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19. Â Kita tinggalkan konsep dan pengertian-pengertian mengenai mudik dan pulang kampung karena hanya akan menyedot energi kita.Â
Dengan tanpa memperpanjang lagi polemik ini, kita mendukung berbagai upaya yang telah ditempuh  pemerintah agar virus corona segera hilang dari bumi Indonesia.Â
Marilah kita menyatukan energi untuk berperang melawan virus corona, daripada berlama-lama membicarakan hal-hal yang menggiring publik ke dalam sikap yang berpotensi memecah perhatian pemerintah.
Akhirnya, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap upaya pemerintah, marilah kita, berdisiplin diri dengan menjaga jarak, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah.
Semoga niat baik kita diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Cakung, 26/04/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H