Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suatu Ironi: Ramai-ramai Menyebut Diri "Aku Kartini" di Hari Kartini 2020

23 April 2020   08:33 Diperbarui: 23 April 2020   08:35 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karakter unggul Beliau yang pantas diteladani:  (1) berani menghadapi tantangan, (2) banyak membaca sehingga berpengetahuan luas, (3) terbuka terhadap orang lain, (4) terampil  komunikasi, (5) prihatin terhadap penderitaan orang lain, dan (6) tidak mementingkan diri sendiri.

Meskipun demikian, peringatan Hari Kartini tahun ini memperlihatkan dua fenomena yang berbeda. Merayakan Hari Kartini di tengah negara kita sedang dilanda Covid-19 telah memunculkan keharuan yang mendalam. Bahkan, kita bisa meneteskan air mata. Mengapa tidak? 

Beredar di media sosial, gambar dan video para pejuang kesehatan, seperti dokter dan perawat  yang wanita yang tengah menangani pasien Covid-19. 

Kita pantas mengangkat topi kepada mereka atas perjuangannya yang tanpa mementingkan kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan keluarganya. Malahan, perjuangan mereka berujung pada kematian karena ikut menjadi korban Covid-19. Wanita-wanita inilah yang pantas disebut Kartini-Kartini zaman sekarang.

Lalu, bagaimana dengan mereka-mereka yang dengan bangganya menyebut dirinya "Aku Kartini-Aku Kartinii"? Saya mencoba menganalisisnya terlebih dahulu dari segi bahasa. "Aku Kartini"  adalah sebuah bentuk bahasa yang metaforis. Aku sebagai unsur pembanding, dan Kartini sebagai unsur yang diperbandingkan. 

Di sini  "aku" menyamakan dirinya dengan seorang Kartini. Kartini memiliki sejumlah karakter unggul di atas sehingga ia diangkat menjadi pahlawan kemerdekaan. Maka, di sini, " Aku Kartini" berarti seseorang mau menunjukkan bahwa "aku adalah pahlawan", atau  "Aku sebagai pahlawan". Akan menjadi berbeda jika seseorang menyebut dirinya "Aku mau menjadi Kartini". Hal ini menunjukkan niat seseorang untuk meneladani Kartini dalam kehidupannya ke depan.

Apakah karena aku wanita sehingga dengan mudahnya aku menyebut diri Aku Kartini seperti yang diviralkan? Jika benar demikian maka peringatan Hari Kartini menjadi peringatan tanpa makna.  Banyak  wanita dengan gampangnya menyebut dirinya Kartini-Kartini zaman ini. Bahkan tanpa disadari,  ada pula yang menyebut dirinya Kartini sambil mengangkat jempol yang mengarah kepada orang lain. Menyebut diri Kartini sambil memuji atau membanggakan orang lain. Ironis!

Kartini zaman sekarang adalah wanita Indonesia yang memiliki figur seperti R.A. Kartini. Wanita-wanita Indonesia yang telah menunjukkan bakti dirinya untuk memperjuangkan harkat dan martabat wanita Indonesia di tengah persoalan-persoalan yang terjadi akibat perubahan zaman di segala bidang. 

Kartini zaman sekarang adalah wanita-wanita Indonesia yang dengan gigih menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bersama. 

Perjuangan ini, bukan saja terhadap sesama wanita, tetapi terhadap semua orang dari penipuan, pemerasan, pembodohan, pemiskinan, dan pelecehan seksual.

Oleh karenanya, sangat tidak tepat jika seseorang menyebut dirinya sebagai pahlawan, sebagai pejuang wanita. Dan akan lebih berkenan  lagi jika sebutan atau label pahlawan itu diberikan oleh orang lain daripada diucapkan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun