Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Dendam Seorang Penjahat yang Kandas

21 April 2020   12:50 Diperbarui: 21 April 2020   13:02 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
esensikata.blogspot.com

Aku selalu menyumbat ketenangan dan kebahagiaan dalam kekejaman.

Teriak dan ratap  ketakutan malah semakin melunturkan  

naluri keadaban untuk melumpuhkannya dalam ayunan gagang celurit, atau sebuah letusan berapi. 

Berbekal keahlian warisan keluarga, 

aku menggenggam kepastian bahwa langkahku tak pernah sia-sia. 

Seperti burung yang meloncat dari pohon ke pohon, 

aku bergerak mengawasi sasaran dari rumah ke rumah di siang hari.

Peneroponganku tidak pernah meleset, walau menembus tembok-tembok tebal, 

lemari dan brankas di sudut kamar tidur. 

Kugasak perhiasan dan uang lalu meninggalkan letusan pada dada dan kepala.

Kekejaman telah memanjakan hidupku, istriku, dan anakku.

Tiada lagi yang berbeda.

Kemewahan bukan hanya milik mereka yang memanjakan lidah di cafe dan restoran berkelas;

Bukan hanya  milik mereka yang memanjakan bokongnya di dalam mobil mewah;

Bukan hanya milik mereka yang hidupnya berpindah-pindah dari hotel ke hotel berbintang.

Kemewahan ini  telah menggenapi dendam masa kecilku atas sebuah peradaban yang nyingir atas ketiadaan.

Kini, perahu ini  berbalik haluan, lalu merajut kembali cerita lama masa kecilku.

Kemewahan telah mengalir  pergi, lalu membentuk mata air kepedihan yang tak pernah kering. 

Tragedi demi tragedi merenggut nyawa striku, lalu anakku! 

Duka ini telanjur tajam menancap di dasar dada.

Sejak itu, aku terbangun dari mimpi panjang

Memburu harta yang bukan milikku.

Ratap kesakitan dan teriakan minta tolong berebutan  

setiap aku memandang pintu dan jendela. 

Wajah-wajah ketakutan, berlumuran darah tak pernah lelah mengganggu tidur malamku.

Hidupku mengalir dalam alunan kehampaan 

yang tak henti-hentinya mendendangkan syair:                  

"Apa yang kautanam, itulah yang kautuai."

Kehampaan ini

Menjadi guruku selamanya.

Aku kembali kepada-Nya.

(Jakarta, 2004020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun