Membaca judul tulisan di atas, mungkin bagi sebagian pembaca, ini bukan permasalahan baru. Sudah banyak ulasan yang dimuat di media massa, termasuk di Kompasiana. Namun, saya meyakini, persoalan seputar hidup perkawinan seperti percekcokan, perselingkuhan, perceraian, dan tidak berketurunan merupakan persoalan yang selalu menarik untuk dibicarakan. Nah, di dalam tulisan ini, saya mencoba membicarakan hal ihwal keluarga yang belum atau tidak mempunyai anak berdasarkan pengalaman nyata ketika mendengarkan konsultasi dari pasangan-pasangan tersebut.
Dalam tulisan saya yang dimuat di Kompasiana, Sabtu, 18 April 2020, "Resep Perkawinan Bahagia: Amati Istri saat Ia Terlelap", penulis sudah menyampaikan mengenai hakikat perkawinan. Perkawinan itu suci. Karena suci, tidak ada perceraian. Namun begitu, kenyataan telah membuktikan bahwa perceraian masih sering terjadi, bukan hanya di kalangan artis, namun terjadi juga dalam keluarga-keluarga di masyarakat kita.Â
Salah satu penyebabnya adalah pasangan itu belum atau tidak memiliki anak. Saya akan memulai ulasan ini dengan memberikan contoh-contoh. Namun, terlebih dahulu mohon maaf kepada pasangan-pasangan yang kasusnya saya angkat di sini. Jangan khawatir, saya tidak menunjuk pada nama dan tempat tinggal yang sesungguhnya. Karena bagi saya, persoalan Anda menjadi hikmah bagi banyak orang.
Kasus Pertama
Pasangan ini, sebut saja Dodi dan Dini, sudah menikah selama tujuh tahun, namun belum mempunyai anak. Pekerjaan Dodi adalah penagih kredit atau debt collector. Untuk mengejar target, setiap hari ia berangkat pagi-pagi dan pulangnya larut malam. Karena beranggapan bahwa dunia debt collector adalah dunia keras, ia memperlengkapi dirinya dengan kekuatan-kekuatan gaib yang dimasukkan ke dalam badannya berupa butiran besi. Selain itu, ia juga mengenakan ikat pinggang berjimat. Tujuannya adalah memberikan keberanian, kekebalan tubuh dan mempengaruhi orang lain.
Ternyata, kekuatan gaib yang dikenakannya berpengaruh juga pada emosinya. Ia tidak bisa mengendalikan diri. Setiap hari selalu ada pertengkaran di keluarga. Tidak jarang ia memukuli Dini, istrinya. Peristiwa ini terjadi setiap hari selama bertahun-tajun. Suatu saat, atas inisiatif Dini, mereka datang dan berkonsultasi kepada saya. Persoalan utama yang diungkapkan Dini adalah keinginan memiliki anak. Sebagai pendengar, saya membiarkan mereka saling mengungkapkan pendapat.
Akhirnya, saya mengajukan pilihan kepada Doni. "Sekarang silakan pilih, pekerjaan atau keluarga." Memilih pekerjaan berarti ia membiarkan keluarganya hidup dalam "neraka". Sebaliknya, memilih keluarga berarti ia harus mencari pekerjaan lain, dan melepaskan kekuatan gaib yang ia miliki.Â
Doni akhirnya memilih keluarga, dan merelakan kekuatan gaibnya saya musnahkan. Atas dasar kesadaran itu, untuk selanjutnya, saya menyarankan agar hidup doa perlu dihidupkan lagi dalam keluarga. Mintalah kepada Tuhan agar mereka boleh dikarunia keturunan. Dua bulan setelah itu, mereka kembali bertemua saya. Syukurlah, Dini, istrinya sedang menganduk 3 minggu.
Kasus Kedua
Pasangan Susilo dan Susi sudah menikah selama 5 tahun, namun belum memiliki anak. Susilo seorang tukang ojek bukan ojol ketika itu. Karena persoalan ekonomi dan karakter suaminya yang keras juga emonional, percekcokan selalu terjadi. Sebagaimana biasa, sebagai pendengar, saya membiarkan mereka saling mengungkapkan isi hati.
Setelah keduanya melampiaskan uneg-uneg, saya menyadarkan mereka dengan pesan Injil, karena mereka orang Kristen. Ketika proses penciptaan bumi beserta isinya, Allah menciptakan manusia agar mereka juga menikmati cinta seperti yang Allah  miliki (maaf, kepada para ahli kitab suci kalau pernyataan ini mungkin tidak sama persis!).Â