Sampailah hari ketujuh.
Di angkasa
Di ubun-ubun ibu kota
Sekelebat dua sosok raksasa bertarung.
Percikan api menerangi jagat
Setiap kali beradu keris bertuah
gemuruh memecah cakrawala
Diiringi panah api menyambar
membakar gubuk-gubuk
Membumihanguskan rumah-rumah kumuh
padat penghuni di celah ibu kota.
Bagai lalat-lalat hijau
Warga berhamburan, lalu
menumpuk di mana-mana.
Mata mereka membelalak kaku.
Panik.
Gaduh.
Ketakutan mencekam.
Ibu kota lumpuh.
Polisi dan tentara dibuat tidur memeluk senjata api.
Pesawat patroli kehabisan bahan bakar.
Jutaan mulut menganga
Lalu tersedot dalam pusaran waktu.
Siang ini
Warga ibukota kembali heboh.
Dihebohkan!
Seorang pemuda tanpa identitas
Tergantung kaku pada lengan
patung Tugu Pancoran.
Pembicaraan melumer:
Di kantor-kantor,
Di lobi-lobi hotel,
Di halte bus kota,
Di media massa.
Polisipun  sigap bereaksi.
Tegas janji mengungkap tabir
Secepatnya.
Di dalam bus transjakarta,
Seorang pensiunan di sampingku berbisik:
"Itu lagu lama. Kau tahu itu?"
Aku kaget.
Menatap matanya.
"Mengalihkan perhatian publik".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H