Puisi: Mengatakan Begini dengan Cara Begitu
Orang sering jatuh cinta pada puisi karena kekuatan kata. Bunyi kata dengan rima yang harmonis dan ritmis memancing orang untuk menikmati puisi secara sadar dan tentram.Â
Mula-mula dari kata, selanjutnya mulai mengguratkannya sebagai ungkapan rasa dan kesan (lebih sering di dalam diari): jatuh cinta, sukses, galau, harapan, doa, syukur atau geliat euforia lain yang dialami.
Persis, pada konteks ini puisi dapat disederhanakan sebagai dunia "bongkar pasang" kata sampai mencapai puncak keindahan yang diinginkan.Â
Realitas dan imajinasi terinternalisir di dalam puisi. Kalau demikian bagaimana dengan kata yang dipuisikan? Mungkinkah dalam keadaan apapun puisi dapat secara leluasa tercipta?
Mengatakan Begini dengan Cara Begitu
Banyak persepsi yang mengklaim puisi sebagai rajutan kata-kata abstrak yang mustahil dipahami secara pintas/sekali baca. Puisi terkadang menampilkan kesan 'ilmiah' yang harus dikupas dengan pisau analisis yang jeli.
Kalau demikian, puisi juga dapat dikatakan sebagai ulasan ilmiah yang dipadatkan, ikhtiar empiris yang mutlak melalui proses dialektis untuk memahaminya.Â
Saya kira, persepsi yang demikian tidak dapat divonis sebagai opini yang keliru. Seni apapun pada akhirnya membawa kesan subjektif pada penikmatnya. Seni tidak dapat dibelenggu pada kerangkeng objektif sebagaimana diinginkan seniman.
Saya memandang puisi sebagai "mengatakan begini dengan cara begitu". Hal yang sama juga diafirmasi sebagai dunia kebebasan yang kreatif agar menciptkan suatu 'tampilan' yang 'menawan' di hadapan penikmat.Â
Puisi memang memiliki sejumlah teori leksikal dan linguistik yang membuatnya mampu "diukur" oleh para pakar, akan tetapi teori yang demikian tidak mengatur secara ketat kata apa yang harus dimulai dalam puisi atau frasa apa yang harus mengakhiri puisi.Â
Dengan demikian. Puisi adalah menulis kebebasan dengan kebebasan.
Substansi puisi bergerak sepenuhnya pada alam imajinasi penyair. Maka seni puisi juga adalah dunia tanpa sekat yang tidak memprioritaskan rasionalitas melainkan estetika, getaran efeksi ketimbang sistematika.Â
Klaim-klaim yang timbul sebagai upaya re-branding puisi membuat saya terenyuh dengan permenungan yang dalam: " seni memang harus dipahami, agar ia dapat dikecap budi alih-alih orang jatuh cinta pada puisi bukan semata-mata karena paham tetapi karena tersentuh".
Lebih jauh sebagai sebuah seni, puisi pertama-tama menggugah nuansa rasa atau iklim kepekaan terdalam seseorang untuk sejenak melihat, bukan saja dengan indra yang 'telanjang' melainkan indra yang 'melampaui' sesuatu yang mainstream-cenderung biasa.Â
Artinya tendensi untuk melihat, mengamati atau mendengar sesuatu secara biasa akan kolaps berhadapan dengan bunyi puisi yang padat dengan bahasa yang 'tidak biasa'.
Semua kita dapat dikatakan penulis puisi, andaikata realitas yang muncul di hadapan kita diolah dengan racikan yang impulsive atau busana baru yang memelekkan, tidak seperti adanya realitas itu.Â
Oleh karena itu, dunia yang ada di dalam puisi adalah dunia hiperrealitas, boleh jadi beberapa tingkatan di atas realitas, yang memperlihatkan ada sesuatu yang tidak biasa.
Seni memang terkadang melampaui yang biasa. Sebab rasa estetik tidak suka yang biasa bahkan rasa terkadang tak mampu dipahami logika. Yang tidak biasa kerap menjadi 'lahan' garapan para seniman.Â
Puisi adalah 'yang tidak biasa'. Saya boleh berkata pada seorang gadis itu "Aku jatuh cinta padamu", setelah kembali saya mengguratkannya sebagai sebuah puisi: "Berapa kecepatan cinta dari sudut mata ke dasar hati?"
Muncul persoalan tatkala dunia hiperrealitas itu tidak semua mampu dipahami secara kolektif. Pertama, apapun puisi pasti mendapat rintangan dalam lanskap pemahaman pembaca.Â
Terkadang pembaca menjadi gerah dengan keanehan puisi. Kegerahan ini melahirkan tanda Tanya yang berkepanjangan. Bagi saya, ketika puisi dapat membuat orang bertanya, ketika itu juga puisi berhasil menjadi dunia yang tidak 'biasa'.
Kedua, "mengatakan begini dengan cara begitu" menciptakan distansi yang cukup lebar. Puisi menjadi distansi itu sendiri. Ketika saya berkata-kata, segala sesuatru tersembul dari lidah karena koordinasi spontanitas otak. Ketika menulis puisi, antara kata-kata dan cara bersikap terhadap kata-kata itu harus memiliki distansi agar tidak terkesan biasa.
Puisi dapat rampung tatkala kata-kata yang spontan itu diramu dengan cara estetis/cara bahasa yang tidak biasa. Maka saat puisi telah menjadi puisi, saat itu pula dihidangkan "jamuan" kata --kata yang telah ditransformasikan sebagai cara 'baru'.Â
Puisi adalah membuat cara yang 'begitu' dengan kata-kata yang 'begini', sehingga apapun tampilan puisi tidak dilihat sebagai gugusan kata-kata biasa yang hanya jadi 'jasad' di hadapan alam tafsir pembaca. Dengan lain perkataan, puisi telah menjadi sebuah cara berkata-kata yang lahir dari kelincahan meramunya.
Ketiga, ketika menjadikan puisi dengan cara yang 'begitu', setiap orang seyogyanya menghayati kesederhanaan secara radikal. Puisi lahir dari perasaan "hampa" agar realitas yang dijumpai mudah menggetarkan afeksi lalu memantik inspirasi.Â
Seni itu lebih identik dengan sederhana tetapi membekas. Kesederhanaan menciptakan ruang untuk tidak dibelenggu oleh prasangka-prasangka yang jauh di atas awan. Sehingga puisi tidak memaksa orang untuk masuk ke dalam "buku" melainkan ke dalam hidup itu sendiri.
Jokpin misalnya, menulis puisi tentang Mimpi Basah, Kamus Kecil, Kamar Mandi ataupun Sapardi dengan Perahu Kertas, Aku Ingin, dll yang luput dari perhatian banyak orang.Â
Dalam kesederhanaan memandang inilah lahirlah buah-buah karya yang menghipnotis jagat sastra Indonesia. Persis, puisi lebih tepatnya sebagai ikhtiar kesederhanaan yang membuat orang melek untuk melihat hal-hal kecil dan belajar dari hal-hal remeh temeh.Â
Hidup kalau dipuisikan akan menjadi sederhana karena kesederhanaan adalah cikal bakal kebesaran, kekekalan.
Dan keempat, puisi bukan manipulasi. Ia boleh dibabtis sebagai catatan retoris yang estetis tetapi bukan sebagai wadah untuk mencoreng esensi kejujuran.Â
Menyitir Ayu Utami : "Sastra apapun bentuknya harus berkiblat pada kejujuran. Menulis itu terapi kejujuran". Betapapun puisi tampak abstrak di mata pembaca tetapi nilai kejujuran dalam mencipta akan membekas lewat kekuatan kata-kata.
Manipulasi dalam puisi sesungguhnya membuat puisi sendiri akan lekang dari kesan dan ingatan penyair. Banyak orang menulis puisi bisa juga termotivasi oleh ketenaran reputasi lalu mulai memanipulasinya dengan kata-kata sarkastis-non etis yang bisa memperkeruh kedamaian hidup banyak orang.
Puisi bisa menjadi media protes sosial yang membawa transformasi tetapi bukan sebaliknya sebagai wadah mengungkapkan kebencian yang tidak realistis.Â
Oleh karena itu prinsip seni kontemporer ialah bebas berekspresi dan berkreasi tetapi tidak bebas nilai. Puisi harus menambah khazanah keindahan yang lahir dari kejujuran mencipta sehingga orang juga merasa dinafkahi oleh puisi.
Merawat Imajinasi
Sebagai akhir, kita sekalian diajak untuk senantiasa merawat imajinasi agar tidak keropos dimakan "ngengat" kemapanan. Membongkar sebuah kepastian ialah jati diri penyair.Â
Berziarah ke dunia "lain" yang bisa juga terkesan 'gila' dan tidak waras lalu mulai duduk di beranda kesempatan menenun inspirasi. Lebih jauh, merawat imajinasi ialah mencumbui keheningan.
Dunia imajiner bukan fantasi yang menorobos segala kemungkinan-jauh dari realitas hidup melainkan penyatuan segala kemungkinan yang memperdamaiakan rasa dan logika.Â
Jika demikian maka, puisi bisa menjadi sebuah 'karisma dan nafas' hidup setiap kita dalam menggerus derap hidup ini. Kata apapun bisa menjadi puisi, kapan dan dimanapun puisi juga dapat tercipta asalkan : " Kita mati dan hidup secara kreatif di dalam kata". Syalom.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H