Di ujung pena, para pembelajar mencatat derita.
Mengerti mengapa harus diciptakannya ilmu.
Kala itu, mereka berontak tentang ingatan yang dipangkas paksa.
Mereka sangat  mampu berpikir dengan kepala tapi tak sekalipun menyampaikan selamat beristirahat bagi kepala.
Turun ke jalan-jalan sambil memeras kata
Dan ramai-ramai mengantarnya ke rumah kepala
Di situ kepala-kepala bersileweran; kepala dingin, besar kepala, kepala kantor, kepala politik, kepala uang, kepala biro, kepala gundul dan kepala-kepala lain;
Yang pemilknya telah menjadi patung.
Ledalero, Â September 2019
AMNESIA
Suatu waktu yang tak biasa, aroma marahmu menyeruap dari balik kelambu.
Telah kupasang tiang-tiang penyanggah yang mengamankan tidurku pada ranjang malam
Setelah hari ini kupulang dari kota menangkap amis tanah.
Bantal dan selimut dimusuhi kutu dan debu, membandel pada rambutku
seolah-olah cuek paling senewen yang tak ingin tanggal.
"Ibu, belikan aku sabun agar bisa kubersihkan sekujur tubuhku dengan baik"
Ibu masih sibuk membereskan barang dagangannya untuk dipasarkan di kampung bernama Kampoeng Khamprett.
 Ia masih memarahiku sejak kemarin karena bahasa Indonesiaku kurang bernas. Dan aku memang sadar itu. Tapi aku kira, ia tak punya alasan untuk memarahiku sampai lama begini.
Malam ini, aku pun tidur dengan badan kotor, dan bermimpi tentang surga.
Kujumpai seorang digantung tanda busana. Kemaluannya tidak ada. Badannya degil tetapi ia tersenyum lalu membilang; surga ini milik siapa?
Ledalero, Agustus 2019
Paul Ama Tukan, lahir pada 7 Mei 1998 di Waiwerang, Adonara. Saat ini Tinggal di Unit Mikhael, Â Ledalero. Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores-NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H