Hadirnya UU No. 18 Tahun 2017, tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI), pada dasarnya bertujuan ingin melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar Hak Asasi Manusia (Alenia Pertama Penjelasan Umum UUPPMI). Karenanya, tidaklah mengherankan apabila UUPPMI lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan Perlindungan PMI.
Dalam penjelasan umum UUPPMI, di jelaskan juga bahwa diperlukan suatu sistem yang terpadu yang melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam rangka perlindungan PMI. Perlindungan PMI ini meliputi perlindungan secara kelembagaan yang mengatur tugas dan kewenangan kementerian sebagai regulator/pembuat kebijakan dengan Badan sebagai operator/pelaksana kebijakan. Perlindungan kepada PMI dilakukan mulai dari Desa, Kabupaten/Kota, dan Provinsi, sejak sebelum bekerja sampai setelah bekerja.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPPMI, PMI dimaknai sebagai "setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia". Dengan pengertian PMI yang demikian luasnya, maka Pasal 4 ayat (1) UUPPBMI, membatasi lingkup dari makna PMI hanya meliputi: a. PMI yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan hukum; b. PMI yang bekerja pada Pemberi Kerja perseorangan atau rumah tangga; Â dan c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.
Dengan demikian, yang tidak termasuk sebagai PMI dalam UUPPMI sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (2) UUPPBMI, yaitu: a. Warga Negara Indonesia (WNI) yang dikirim atau dipekerjakan oleh badan internasional atau oleh negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas resmi; b. pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri; c. WNI pengungsi atau pencari suaka; d. penanam modal; e. aparatur sipil negara atau pegawai setempat yang bekerja di Perwakilan Republik Indonesia; f. WNI yang bekerja pada institusi yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara; dan g. WNI yang mempunyai usaha mandiri di luar negeri.
Substansi dari Pasal 4 UUPPMI ini, menunjukan bahwa para pengambil kebijakan ingin melakukan pembedaan secara tegas antara PMI dengan WNI yang melakukan kegiatan di luar negeri yang tidak termasuk sebagai PMI. Pembedaan ini mungkin penting untuk pemerintah bisa lebih fokus dalam memberikan perlindungan terhadap PMI yang akan bekerja keluar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan, maupun PMI yang bekerja keluar negeri melalui pelaksana penempatan PMI ke luar negeri yang terdiri atas: a. Badan; b. Perusahaan Penempatan PMI; atau c. Perusahaan yang menempatkan PMI untuk kepentingan perusahaan sendiri (Pasal 49 UUPPMI).
Pelaksanaan penempatan PMI ke luar negeri dilakukan dengan 5 (lima) skema, yaitu: Government to Government (G to G), Government to Private (G to P), Private to Private (P to P), mandiri/perseorangan dan untuk perusahaan sendiri di luar negeri. PMI yang akan bekerja diluar negeri, dapat bekerja pada pemeberi kerja yang dalam hal ini instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara  tujuan penempatan yang mempekerjakan PMI (Pasal 1 angka 11 UUPPMI).
PMI yang akan bekerja keluar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan, dalam UUPPMI diartikan sebagai PMI Perseorangan (Pasal 1 angka 4 UUPPMI). Menjadi PMI Perseorangan, merupakan salah satu strategi untuk mengatasi pembebanan biaya penempatan yang tinggi. Untuk mengatasi persoalan ini, UUPPMI telah melarangan bagi setiap orang membebankan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung calon Pemberi Kerja kepada Calon PMI (Pasal 72 huruf a UUPPMI) dan bagi setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), jika melanggarnya (Pasal 86 huruf a UUPPMI).
Menurut Pasal 63 ayat (1) UUPPMI, PMI Perseorangan dapat bekerja ke luar negeri pada Pemberi Kerja berbadan hukum. PMI Perseorangan wajib melapor pada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 63 ayat (3) UUPPBMI) dan ketentuan lebih lanjut mengenai PMI Perseorangan, diatur dengan Peraturan Menteri. (Pasal 63 ayat (4) UUPPBMI).
Kalau dicermati secara kritis, maka pengaturan terkait PMI Perseorangan dalam UUPPMI, memiliki sejumlah kelemahan substantif. Apalagi dalam Pasal 63 ayat (2) UUPPBMI, ditegaskan bahwa "segala risiko ketenagakerjaan yang dialami oleh PMI Perseorangan, menjadi tanggung jawab sendiri". Ketentuan Pasal 63 ayat (2) UUPPBMI ini, membuka ruang bagi negara untuk lari dari tanggung jawab atas perlindungan bagi seluruh warga negara, sebagaimana amanat konstitusi.
Kelemahan substantif lainnya yang berhubungan dengan PMI Perseorangan adalah penggunaan kata "dapat" oleh para perumus UUPPMI yang terdapat pada Pasal 63 ayat (1) UUPPMI. Kata 'dapat' dalam rumusan Pasal 63 ayat (1) UUPPMI merupakan ketentuan "karet" yang mengandung tafsir bahwa dapat juga bekerja pada perseorangan. Artinya, PMI Perseorangan yang akan bekerja disektor rumah tangga, juga dimungkinkan untuk bekerja secara perseorangan/mandiri pada pemeberi kerja perseorangan di luar negeri.
Risikonya adalah PMI Perseorangan yang bekerja disektor rumah tangga berpeluang besar untuk tereksploitasi dan menjadi korban kekerasan serta kesewenang-wenangan. Bahkan, mereka sangat rentan mengalami kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar Hak Asasi Manusia. Argumen ini bertolak dari realita bahwa tidak sedikit PMI yang bekerja disektor rumah tangga di luar negeri, banyak yang mengalami penyiksaan hingga menemui ajal, padahal mereka bisa bekerja melalui pelaksana penempatan PMI ke luar negeri.