Mohon tunggu...
Paul SinlaEloE
Paul SinlaEloE Mohon Tunggu... Aktor - Aktivis Anti Korupsi - Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakryat (PIAR NTT)

Aktivis Anti Korupsi - Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakryat (PIAR NTT)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PERDAGANGAN ORANG dan MEMBLENYA KEPOLISIAN

25 Februari 2014   17:56 Diperbarui: 11 Mei 2019   11:24 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERDAGANGAN ORANG DAN MEMBLENYA KEPOLISIAN

Oleh: Dominggus Elcid Li dan Paul SinlaEloE

 Kematian Marni Baun  (22 tahun) di Medan, Sumatra Utara (Victory News, 24 Februari 2014) seharusnya bisa dihindari jika pihak kepolisian sejak awal mendengar ‘jeritan’ korban sebelumnya, Eri Ndun, yang ikut dalam satu rombongan ke Medan, Sumatra Utara di tahun 2012. Ketika ia dipulangkan dalam keadaan sakit usai disiksa pada Bulan Januari 2013. Laporan ke pihak Polda NTT yang dilakukan oleh PIAR NTT dan Rumah Perempuan dengan no laporan STPL/32/II/2013/SPKT tertanggal 5 Februari 2013.

Sayangnya upaya untuk membuka jaringan perdagangan manusia ini tidak dilakukan oleh pihak kepolisian. Padahal laporan Eri Ndun cukup jelas bahwa ia bukan korban tunggal, bahwa ia disekap bersama 25 temannya yang kebanyakan berasal dari Timor Barat, dan sebagian kecil berasal dari Rote Pantai Baru. Mereka semuanya perempuan dan berasal dari kampung-kampung di pedalaman NTT seperti Nakmofa, Kapan, Takari, SoE, Amanatun. Selain memberi laporan tertulis, Eri Ndun juga bertemu langsung dengan Kapolda NTT Brigjen. Ricky Sitohang. Dalam pertemuan Eri meminta tiga hal: (1) memperjuangkan gajinya yang belum pernah diperolehnya selama bekerja, (2) kepastian hukum atas kasus kekerasan yang menimpa dirinya, dan (3) meminta pihak kepolisian memulangkan kawan-kawannya saat itu. Pesan ketiga merupakan pesan kawan-kawannya yang dikurung dan dipekerjakan di rumah sarang burung walet. Namun laporan ini hanya tinggal laporan, hingga pihak kepolisian NTT menerima peti jenazah Marni Baun lebih beberapa hari lalu, atau lebih dari satu tahun setelah Eri Ndun melapor. 

 

Orang NTT Harganya Murah

Perdagangan orang (human trafficking) oleh Amnesty International disebut sebagai perbudakan manusia moderen. Fenomena ini dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal perdagangan manusia maupun perbudakan moderen juga terjadi di dalam wilayah NKRI. Di Republik Indonesia orang NTT telah diposisikan sebagai ‘orang yang harganya murah’, di belahan pulau lainnya.

Eufemisme terasa sekali dalam penyebutan kasus perdagangan orang, dengan menyebut ‘tenaga kerja ilegal’. Padahal jelas hal yang diperdagangkan bukan lagi ‘tenaga kerja’, tetapi ‘orangnya’. Perbedaannya, jika hanya menjual ‘tenaga kerjanya’ maka itu bisa disebut sebagai tenaga kerja, tetapi ketika sang subyek tidak lagi memiliki otoritas atas dirinya, maka ia sebagai manusia telah dijual. Ia telah di-eksploitasi, dan manusia telah menjadi komoditas. Ini lah yang disebut perdagangan orang.

Kondisi pengabaian atas martabat manusia yang sedang terjadi di NTT ini mundur lebih dari 150 tahun silam, ketika bangsa-bangsa kolonial Eropa menghentikan praktek perbudakan manusia. Di NTT di tahun 2014, persoalan perbudakan manusia bagia pihak kepolisian skala prioritasnya masih ada di bawah perkara penanangan permainan ketangkasan, maupun perkara tilang pengemudi yang tak memiliki SIM/STNK. Kenapa pihak kepolisian lebih serius menangkap para pemain judi ketangkasan, daripada memburu kakitangan perdagangan orang?

Di tingkat regulasi upaya menghentikan perdagangan orang pun diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sudah disahkan pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam LN-RI Tahun 2007 No. 58, Tambahan LN-RI No. 4720. Dalam produk hukum ini secara tegas diakui bahwa ‘setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945’. Karenanya, ‘perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas’.

Di level antar negara, Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengakui pengesahan protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak. Protokol ini melengkapi konvensi PBB untuk menentang tindak pidana transnasional terorganisir. sebagaimana yang tertera dalam UU No. 14 Tahun 2009. 

Tetapi aturan tetap tinggal aturan. Apa gunanya aparat kepolisian jika tidak mampu menyelesaikan persoalan perdagangan manusia? Dalam banyak kasus pihak kepolisian di NTT hanya menahan para tenaga kerja asal NTT di pintu keluar (pelabuhan dan bandar udara), sedangkan kakitangan maupun para pimpinan perusahaan dibebaskan begitu saja. 

Bias pihak kepolisian kembali terjadi di sini. Biasanya perusahaan dengan gampang mengelak bahwa perusahaan mereka telah terdaftar secara resmi, dan pihak kepolisian pun cuci tangan dengan melepaskan perusahaan tersebut. Padahal soal ‘legal’ atau ‘tidak legal/illegal’ bukan hanya soal persoalan administratif saja, tetapi juga terkait dengan ‘aksi/tindakan’ yang dilakukan. Jika persoalan legalitas hanya sampai di tingkat administratif, bisa dibilang pihak kepolisian menutup mata terhadap aksi-aksi illegal yang dilakukan oleh perusahaan dan kaki tangannya, seperti pemalsuan identitas dan dokumen terkait. Misalnya Almarhum Marni Baun sendiri berasal dari Kapan (TTS), tinggal sementara di Kelurahan Lasiana, sebelum diberangkatkan, dan kemudian berangkat dengan KTP Desa Oebelo, Kabupaten Kupang.

Gentingnya penanganan perdagangan manusia terasa tidak menyentuh para petinggi kepolisian --maupun tokoh pemerintahan dan para tokoh agama di NTT. Di kampung-kampung di pedalaman Timor Barat , para perempuan muda direkrut di sekolah-sekolah dan dibawa kabur. Mereka disediakan identitas palsu dan dikirim ke kota-kota besar di Indonesia sebagai pembantu. Sebagian lagi dikirim ke negara-negara di Asia Tenggara.

Saat ini para perempuan yang dijual ke kota-kota besar maupun mancanegara direkrut dengan cara yang amat tidak berperikemanusiaan. Tak jarang kaki tangan yang merekrut para perempuan adalah para pedagang sapi, yang mencari sapi dari kampung ke kampung. Praktek pembiaran semacam ini sudah seharusnya dihentikan.

 

Apa yang bisa dilakukan Kapolda NTT?

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Kapolda NTT terkait persoalan ini. Pertama, Kapolda NTT membuat ‘Operasi Membuka Perdagangan Manusia di NTT’ untuk membuka jaringan perdagangan manusia. Meskipun NTT merupakan salah satu kantong TKI/TKW bermasalah hingga kini tidak ada operasi semacam ini. Sebaliknya operasi seremonial semacam, operasi lilin untuk Natal, operasi ketupat untuk Idul Fitri yang lebih dominan, dan operasi memburu SIM/STNK.

Kedua, Kapolda NTT segera berkoordinasi dengan Kapolda Sumatra Utara untuk segera membebaskan sekitar 23 orang warga NTT yang masih disekap di sana, sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap laporan yang telah diberikan oleh Eri Ndun secara tertulis maupun lisan kepada Kapolda NTT. Kerjasama pengawasan perdagangan orang lintas provinsi harus segera dikerjakan mengingat jaringan kriminal di Kepulauan Indonesia hanya mungkin dibuka jika pihak kepolisian secara institusional melakukan kerjasama terpadu di berbagai provinsi, khususnya dengan provinsi-provinsi yang menjadi simpul perdagangan manusia seperti di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan Batam.

Ketiga, pihak kepolisian NTT harus membersihkan oknum-oknum kepolisian yang terlibat dalam perdagangan manusia. Para oknum yang mendiamkan laporan para korban, khususnya laporan Eri Ndun sudah seharusnya diproses dan diberi hukuman internal.

Keempat, para pelaku perdagangan manusia segera diproses secara hukum seadil-adilnya. Dalam kasus Eri Ndun dan Almarhum Marni Baun, penyalurnya diduga adalah Rabeka Ledoh, yang saat ini ada dalam tahanan pihak kepolisian NTT.

Menjadi seorang polisi bukan lah soal karir. Menjadi seorang polisi adalah pengabdian terhadap semangat kemanusiaan. Di tengah deras nalar materialistik yang menjalar seluruh kehidupan bangsa, seharusnya ada semangat pembaharu yang muncul dari tubuh kepolisian. Jika ini tidak dilakukan maka, pihak kepolisian saat ini semangatnya jauh lebih buruk dari perlakuan penguasa Belanda.

Aneh sekali kita merasa hidup di alam merdeka. Padahal saudara-saudari sendiri dijual, disiksa, dan dibiarkan mati. Aneh sekali pihak kepolisian yang isinya anak-anak pertiwi, malah tak bergerak melihat penindasan ini. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 25 Februari 2014).

 

--------------------------------------------------------

Penulis, Pengamat Kinerja Polisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun