Pendidikan Holistik, Berkaca dari Aparat dan Pendidikan Kita
Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali
Â
Membaca kata-kata indah oleh filsuf Yunani ini, jadi teringat akan apa yang sedang ramai menjadi bahan perbincangan, baik di media social ataupun media arus utama. Dua hal besar yang berkaitan dengan apa yang Aristoteles katakan. Pertama, mengenai perilaku ugal-ugalan apparat negara beberapa waktu terakhir. Kedua mengenai dunia pendidikan yang  sedang riuh rendah, soal makan siang gratis sehat, wacana libur sebulan, ataupun pembicaraan mengenai IQ 78.
Perilaku Aparat
Menyuplik dua saja sebagai bahan ilustrasi. Selanjutnya bisa dicek sendiri seperti apa. Google menyajikan dengan mudah dan lengkap untuk contoh yang lebih banyak. Kisah pertama, penembakan anak SMK di Semarang. Pihak kepolisian mengatakan, bahwa itu tugas untuk membubarkan tawuran. Fakta lain mengatakan tidak ada tawuran sama sekali, anak berprestasi, aktivis di sekolah yang cukup baik. Masyarakat di tempat kejadian juga memberikan pernyataan yang menguatkan data yang disampaikan keluarga dan pihak sekolah.
Konon hal ini terjadi karena senggolan di jalan, dan pistol menyalak menewaskan siswa yang apes. Mengapa sih harus menuding pihak lain atas kelalaian kolega mereka?
Kisah kedua, ada lagi penembakan, kali ini oleh pihak lain, bukan polisi. Bos rental yang sedang mengupayakan kembalinya mobilnya ditembak sampai meninggal. Polisi memberikan kronologi, bahwa pemilik rental ini mengejar penyewanya karena dua dari tiga GPS sudah dimatikan. Bahasa saya ada indikasi berbahaya, perlu Tindakan lebih lanjut.
Laporan ke polisi  tidak ditanggapi sebagaimana mestinya. Polisi sudah mengakui dan menyatakan akan menjatuhkan sanksi kepada polisi dan atasannya yang tidak mengawasi kinerja anak buahnya dengan baik. Eh pihak angkatan lain yang terlibat malah mengatakan, bahwa penembakan karena adanya pengeroyokan oleh lima belas orang.
Tanpa lama, beredar video di mana memperlihatkan kejadian sebenarnya. Ini di area public yang terbatas, rest area, pasti kamera pengawas cukup banyak.
Kan selesai akui bahwa oknum anak buahnya memang bersalah, pelaku pembunuhan yang layak dihukum berat. Mengapa harus membuat alibi ada pihak lain yang "memulai" sehingga layak menembak. Indentik dengan kejadian di Semarang.
Dunia Pendidikan
Selain sedang viral mengenai makan siang gratis dengan segala tetek bengek pro dan kontranya, atau wacana liburan super panjang di   tengah  semesteran berlangsung, atau mengenai UN ada lagi atau tidak, eh diperparah dan ditingkahi adanya video mengenai anak sekolah yang tidak tahu ada berapa bulan dalam dua tahun. Hal yang sudah lumayan  lama adanya hasil penelitian yang mengatakan IQ rata-rata penduduk Indonesia ada pada kisaran 78.
Literasi membaca dan numerik juga ada di posisi bawah di antara negara-negara lain. Lagi-lagi hal ini hanya menjadi polemik  dan pro kontra namun belum ada pembicaraan yang mengarah untuk memperbaiki kondisi ini baik dan segera.
Jika ada di lapangan akan paham, bagaimana susahnya menghadapi anak sekolah saat ini. Hal-hal yang sederhana saja tidak bisa atau tidak tahu. Pernah menyaksikan dengan kepala, berarti kuping, mata, dan semua Indera sendiri yang mendengar dan melihat, bagaimana anak kelas XII ditanya guru matematikanya 6:2, enam dibagi dua saja masih mikir dan tidak bisa menjawab. Ini factual, jangan membantah dengan berbagai dalih.
Apa yang terjadi dengan dua dunia yang terkisahkan di atas, penembakan dan dunia pendidikan kita adalah ketidakseimbangan. Â Â Terlalu menitikberatkan satu sisi, sehingga tidak menghasilkan manusia-manusia dewasa dan sehat secara kejiwaan.
Menekankan sisi intelektualis, otak, rasio, sehingga produknya adalah orang yang tidak punya empati, hanya mengadalkan otak dan logiknya. Menembak orang tanpa merasa bersalah, malah ngeles dengan berbagai alasan dan argument.
Jika mengedepankan hati, etika, moral, dan simpati, akan mengatakan, benar anggota kami lalai, akan kami pecat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tanpa harus menyalahkan pihak lain. Malah sudah jadi korban masih juga difitnah. Kog tega-teganya.
Mengapa bisa demikian? Ya karena membenarkan diri dan kelompoknya, tidak ada sisi empati yang berasal dari hati. Kepala itu mengamankan diri dengan segala cara. Miris.
Tanpa mengakui kesalahan, tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Keberadaan dan kekacauan yang dilakukan apparat itu sudah sangat memprihatinkan. Sikap yang selalu membela korp itu bahaya. Benar korp tidak akan salah, namun para pelakunya bisa saja keliru. Hal yang berbeda namun sering dicampuradukkan. Â Hal ini yang memperparah keadaan.
Pendidikan kita saat  ini, diwarnai getolnya pengajaran agama yang sering cenderung hafalan. Hal ini jadi bumerang. Tidak kritis blas, malah sering jadi abai akan pengetahuan umum dan pengetahuan yang berbau ilmu pengetahuan. Dalil-dalil surgawi yang lebih menguasai dunia pendidikan negeri ini.  Â
Artikel ini tidak mendeskreditkan siapapun dengan maksud apapun, namun jika tidak pernah disadari ada masalah yang keliru dipahami seperti ini, tidak akan pernah ada perubahan. Pendidikan secara menyeluruh dan berimbang ala Aristoteles ini sangat menginspirasi untuk membawa perubahan Bersama sebagai bangsa.
Hanya mau memberikan masukan dari bukan siapa-siapa ini kepada public bahwa banyak masalah namun tidak pernah diakui ataupun disadari. Sama saja meniup-niup luka, malah memperparah bukan menyembuhkan. Melenakan tanpa memberikan perbaikan.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H