Belajar dari Natal 2024: Toleransi Tidak Hanya Seremoni
Merayakan Natal kemarin, sedikit terusik dengan kedatangan pejabat Forkopimda, sesaat sebelum Misa berlangsung. Jadwal Perayaan Ekaristi pukul 17.00, dan mereka datang pukul 16.55. Â Hal yang sangat penting bagi mereka, sebagai sebuah bentuk wujud toleransi. Â Apakah sekadar demikian?
Beberapa ha menarik untuk dilihat lebih mendalam,
Pertama, waktu kedatangan. Lima menit masih lebih bagus, dari pada di tengah-tengah Misa, sebagaimana pejabat di sebuah kota pada masa  lalu. Namun, jauh lebih bijaksana adalah 30 menit lebih awal, mengapa? Itu adalah memasuki masa hening, umat atau Jemaah, atau jemaat sudah akan memasuki ruang batin dalam beribadat.
Tidak dalam konteks waktu untuk seremoni, mendengarkan ceramah atau pidato singkat sekalipun. Terlebih isinya jauh dari apa yang mau dirayakan. Pemilihan waktu yang tidak bijaksana. Pejabat tahun-tahun sebelumnya, tidak resmi, mengucapkan dengan biasa, menyalami biasa, saya pribadi tidak merasa terganggu, malah lebih respek.
Kedua, isi dari sambutan, bicara mengenai capaian pemerintah kota, keberadaan sebagai salah satu kota tertoleran, malah ada juga mengenai pilkada dan prestasi lainnya. Jauh dari esensi Natal itu sendiri. Kan bisa bicara dengan stafnya, apa yang mau disampaikan sehingga kontekstual sekaligus juga memberikan apresiasi dan dukungan untuk jemaat sekaligus jajaran pemerintahan.
Misalnya, mengenai toleransi. Ucapan dan kehadiran itu bagus, namun tidak penting, ketika ada diskriminasi, kesulitan ini dan itu. Hal yang jauh lebih mendasar, tidak sekadar seremonial atau sambutan yang tidak mendasar, atau kasarnya remeh-temeh.
Ketiga, penyebutan yang ngawur. Memperlihatkan lemahnya pengetahuan akan keberadaan agama lain. Menyapa Rama dan para pendeta, padahal pejabat ini jelas generasi PMP. Mereka tentu paham bedanya rama atau pastor dan pendeta. Di Gereja Katolik kog rama dan  para pendeta. Pendeta tentu di Gereja Kristen selain Katolik.
Masak ada rama dan pendeta di komunitas yang sama. Lagi-lagi memperlihatkan pengetahuan dasar saja lemah. Kan bisa bertanya dan berkonsultasi pada stafnya yang beragama sama dengan yang mau dikunjungi. Menyapa dengan tepat, apalagi nama akan merasa dihargai. Jauh lebih mendasar dari sekadar kehadiran seremonial, malah cenderung seperti jadi obyek atau alat semata.
Keempat. Salam berkasta. Kan paham Gereja Katolik, pastinya 99,9% Katolik, hanya pejabat mereka saja yang Noonkatolik. Buat apa salam berkasta-kasta itu. Lebih parah, ketika sedang dijawab, sudah ganti salam yang lain. Lha untuk apa? Sekadar basa-basi, bukan interaksi.