Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Tembak, Polisi Tanpa Senpi, Keamanan dan Kewibawaan

10 Desember 2024   15:35 Diperbarui: 10 Desember 2024   15:35 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah Tembak, Polisi Tanpa Senpi, dan Keamanan 

Menarik apa yang terjadi belakangan ini. Ada beberapa kejadian yang bisa dikatakan mengerikan karena meletusnya pistol penegak hukum. Beberapa kisah sebagai berikut bisa menjadi perhatian Bersama, di Tengah desakan DPR RI untuk "melucuti" si coklat dari senjata api yang mematikan. Beberapa konteks memang membahayakan. Kisah pertama, ada perwira pertama menembak rekan kerjanya sampai meninggal. Pembicaraan bukan karena alasan apanya, namun bagaimana senjata yang seharusnya untuk menjaga diri dan keamanan, malah "membunuh" rekannya, jelas bukan peruntukannya. Harusnya senpi itu untuk menembak bandit, teroris yang membahayakan keselamatan petugas ketika menegakkan hukum. Ini malah menewaskan sesame petugas. Kisah kedua, ada petugas menembak yang diduga begal di depan anak, istri, dan orang tuanya. Dua versi yang disajikan media mengatakan, versi dari keluarga, ada dua orang tidak dikenal masuk ke pekarangan dan menanyakan nama si korban. Orang tuanya bertanya identitas si tamu tidak dijawab, namun mereka langsung masuk ke dalam rumah. Si bapak berteriak," Nak ada polisi," dan anaknya melongok langsung ditembak perutnya tembus punggung, dan dibawa ke dalam mobil. Berlumuran darah dan dibawa ke mana tidak tahu. Ujungnya dinyatakan tewas dan keluarga diminta mengambil jenazah dan memakamkannya. Adik korban mengaku menandatangani berkas yang ia tidak tahu isinya apa. Polisi mengatakan, bahwa anak buahnya melakukan tindakan terukur, baca menembak, karena mendengar suara klik, yang diasumsikan pistol rakitan yang dianggap bisa membahayakan nyawa petugas. Nah, jika mengikuti alur pikir ini, ada ancaman nyawa, meski asumsi, mengapa menyeret tubuh korban dan konon ada penendangan ke istri dan ibu korban? Walaupun benar penjahat, toh menendang ibu dan istri terduga ini sudah keliru. Ingat masih terduga, belum ada penyelidikan dan penyidikan. Jika memang benar polisi yang mau menangkap begal, harusnya ada surat yang ditunjukkan kepada pihak keluarga. Mengerikan jika perilaku demikian ini, sangat mungkin nantinya rebutan pacar bisa menuding saingannya dan didor dengan berbagai dalih dan alibi untuk membela diri. Kalau demikian cara berpikirnya, negeri ini bisa kacau karena hukum rimba yang dibalut demokrasi. Kisah ketiga, anak SMK yang tewas ditembak lagi-lagi polisi. Dua jenis lagi-lagi isi pemberitaan media. Versi pertama dari polisi, yang mengatakan bahwa anak ini tewas ditembak, atau tertembak karena pihak keamanan sedang membubarkan tawuran dari genk motor. Pihak keluarga, teman, sekolah, dan warga, tidak ada tawuran di sana, anaknya baik, aktivis Paskibra yang jauh dari citra sebagai anggota genk motor. Ada tambahan, sangat mungkin itu terjadi karena senggolan di jalan. Wajar, ketika meminjam kisah di atas itu, ada desakan untuk melucuti polisi dari perlengkapan senjata api. Cukup untuk diberi pentungan panjang untuk "melindungi" mereka. Namun ada beberapa hal yang layak dicermati, Pertama, polisi tanpa senjata api, tentu mengerikan bagi si polisi. Menghadapi teroris, bandar narkoba, atau penjahat kelas kakap, pentungan bisa menyetorkan nyawa dengan sia-sia. Jangan salah, ketika mau melindungan warga negara, namun juga jangan menyetorkan nyawa aparat. Mati koyol, yang bisa membuat polisi nanti takut melakukan tugasnya. Kedua, pemakai senjata api terbatas. Hanya polisi di bagian tertentu, seperti Brimob, antinarkoba, antiteroris itu bahkan wajib senjata. Jika pengendali huru hara apalagi tawuran pelajar, cukup komandan lapangan yang memegang senjata api, dengan sangat ketat seleksi dan ujian kompetensinya. Ketiga, uji psikologi dan psikiatri dengan lebih banyak atau sering dan teliti. Tidak sekadar ketika mau memakai atau mendapatkan pertama kalinya. Berkala dalam artian kemampuan menghadapi tekanan bisa berbeda-beda dan berubah-ubah. Hal ini untuk mengantisipasi stress yang menyebabkan salah tembak atau salah sasaran. Jangan nafikan hal ini sebagai hal yang biasa. Keempat, membangun sikap berwibawa itu karena humanismenya, bukan karena keberadaan senjata api di pinggang atau di depan badannya. Hal ini penting, karena si coklat sering ditakuti dari pada disegani karena sikap pengayoman mereka. Takut pada polisi karena ada pameo lapor kehilangan kambing malahan ikut lenyap juga sapi. Atau di jalan takut ada polisi, bukan wibawa atau segan, namun seolah menjadi predator dari masyarakat. Pengayom itu masih jauh dari harapan. Lebih sering warga ketakutan untuk berinteraksi pada polisi. Hal ini harus diubah. Sikap garang, militeristik ala Orba malah sekarang ini lebih kuat lagi. Semangat reformasi terredusasi karena perilaku beberapa pihak hari-hari ini. Kelima, polisi berani mengatakan anggota yang salah sebagai salah. Korp tidak pernah salah itu benar dan iya, namun para petinggi dan anggotanya bisa keliru. Selama ini pendekatannya berbeda. Jika ada anggota Bhayangkara keliru atau salah dalam menangani perkara hampir selalu ditutup-tutupi. Hal ini keliru jika tidak disadari, karena atas nama cinta lembaga, membenarkan semua kesalahan anggotanya. Keenam, penguatan Lembaga kontrol, baik Kompolnas ataupun LMS yang waras. Toh banyak Lembaga-lembaga di masyarakat yang masih cukup bersih dan benar-benar mau mengawal negeri ini bermartabat dan memiliki polisi yang berwibawa, professional, dan handal tentunya. Bersih dari salah tembak, arogan, dan juga seenaknya sendiri dalam menegakkan hukum. Berharap polisi yang humanistik, pengayom, namun mereka juga tetap aman. Hal yang penting juga bagi pribadi dan keluarga mereka. Pun masyarakat tidak takut melihat atau didatangi polisi. 

Terima kasih dan salam Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun