Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

7 Kebiasaan Baik ala Mendikdasmen dan Menurut Saya

15 November 2024   21:05 Diperbarui: 15 November 2024   21:05 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

7 Kebiasaan Baik ala Mendikdasmen dan Menurut Saya

Kebiasaan baik yang digagas Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah ini baik. Namun ada beberapa hal yang bagi saya pribadi malah luput, jika melihat apa yang terjadi di Tengah Masyarakat kita selama ini. Hal yang paling jelas itu mengenai kegiatan beribadah. Mana ada sih Masjid, Gereja, atau tenpat ibadah lain yang sepi dalam hari-hari wajib beribadah, tanpa mengurangi rasa hormat untuk Vihara atau Pura, sepanjang yang saya lihat dan cermati ya milik dua kepercayaan itu.

Bagaimana ibadah namun tidak mengubah perilaku curang, korup, dan tidak bertanggung jawab. Apalagi hal-hal lain yang sangat tidak mendasar untuk memperbaiki kerusakan yang sudah parah terjadi di negeri tercinta ini. Revolusi Mental ala Presiden Jokowi selaku presiden ketujuh    sama sekali belum terlihat dampak signifikannya.

Jauh lebih pas 7 (tujuh) kebiasaan baik itu adalah

Satu, kejujuran. Sekian banyak peristiwa beberapa waktu ini adalah perihal kejujuran. Professor abal-abal, dalam artian ketika mengurus jabatan itu dengan cara-cara yang tidak baik, menggunakan jalur yang tidak semestinya. Terbaru, ya mengenai perolehan gelar doctor yang banyak diungkap di luar nalar atau prosedur.

Belum lagi jika bicara KKN, bagaimana kolusi, dan juga korupsi bukannya berkurang, namun malah bertambah mengerikan. Saling sandera dalam menyelesaikan masalah hukum. Jika orang gemar beribadah, jelas tidak demikian.

Pun dalam seleksi atau kenaikan pangkat, uang yang bicara, malah politik sekarang ini malah lebih ugal-ugalan lagi, ketika yang terjadi adalah saling sikut dan sikat demi kekuasaan dan perkoncoan. Bagaimana jiwa reformasi itu sedang pada titik terendah karena perilaku yang identic dengan masa itu. Dulu didemo dan dijatuhkan alas an yang sama.

Sebuah ungkapan sarkas, kehilangan kambing lapor polisi jadi hilang juga sapi. Penegak hukum susah dipercaya, selain focus pada uang dan tidak menyelesaikan masalah.

Dua, tanggung jawab, kebiasaan yang hampir punah, sering terlihat, bagaimana orang bisa ngeles atas perilaku yang jelas-jelas salah. Kemampuan membolak-balikan fakta, mampu membuat pasal karet yang merajalela. Sederhana saja, bagaimana anak sekolah sama sekali sekarang ini susahnya minta ampun untuk membuat tugas.

Padahal itu adalah hal mendasar. Tidak heran karena sering diperilhatkan contoh elit yang ngeles atas perilaku jahat dan pidana mereka. Contoh jaksa yang main judi dikatakan iseng, padahal jelas-jelas itu adalah pidana bagi hukum Indonesia. Sikap tanggung jawabnya rendah, ngeles saja yang ada.

Sumpah dan janji jabatan sangat mudah dikhianati, ya karena sikap tanggung jawab  yang rendah bahkan tidak ada. Padahal jelas-jelas dengan gamblang mengucapkan itu dalam setiap mengawali jabatan atau pekerjaan.

Tiga, berpikir kritis dan cerdas. Sering terdengar bahwa berpikir kritis, namun di balik itu ada kepentingan. Jika tidak sesuai kepentingannya mereka kritis, namun jika sama diam seribu bahasa, padahal jelas-jelas keliru.

Belum lagi jika bicara cerdas. Yang sering terjadi adalah minteri, jadi kecerdasannya untuk mengelabuhi dan ngadalin pihak lain. Kebiasaan ini harus disadari buruk, tidak demikian yang harus dibangun.

Kebiasaan minimal yang perlu dibangun dan digalakkan adalah kebiasaan membaca. Padahal selama ini literasi dan numerik anak negeri ini sangat memprihatinkan. Levelnya hafalan, padahal idealnya adalah penyelesaian masalah.

Empat, berkarakter dan berintegritas. Sederhana dan singkatnya, malu melanggar hukum. Etika menjadi panglima, selama ini hal ini masih jauh dari kebiasaan dan harapan. Sepanjang sesuai prosedur, meskipun itu ngaco ya aman saja. Maka tidak heran ada elit yang mengatakan melanggar aturan asal tidak ketahuan ya silakan saja.

Sama dan sebangun dengan mengatakan, ambil uangnya jangan coblos orang atau partainya, dalam konteks pemilu, apapun itu. Orang dan pejabat tidak punya malu meskipun sudah ketahuan maling, bahkan bisa promosi jabatan, dilantik dalam status tersangka, dan seterusnya. Kapan ya memiliki kebiasaan mau berbuat salah dan melanggar hukum?

Apa yang biasa terjadi adalah bahkan berani melanggar hukum itu hebat, bisa berkelit dari hukum itu keren. Miris.

Lima, konsistensi dan berdisiplin. Hal yang belum menjadi kebiasaan. Padahal dalam beribadah dan beragama begitu disiplin dan bahkan tepat waktu. Namun apa yang terjadi selain dalam bidang ibadah, molor, ngaret, dan telat itu bagian hakiki hidup bersama.

Konsistensi dalam berproses itu juga perlu disiplin, bukan malah hangat-hangat tai ayam, di mana gembar-gembor untuk ini dan itu, namun sering hilang tak berbekas. Mau program atau anti ini dan itu. Lihat saja antikorupsi, antinarkoba, atau disiplin dalam berlalu lintas. Sekejap tertib, kembali pada  stelan pabrik tidak lama kemudian.

Bagaimana bisa disiplin, ketika pendidikan, mau menegakkan aturan saja gurunya ketakutan. Hal yang memilukan sebenarnya.  

Enam, tahu berterima kasih dan bersyukur. Sepele, namun banyak anak sekarang lupa unggah-ungguh sederhana ini, mengucapkan terima kasih usai apapun, atau mendapatkan kebaikan dari pihak lain. Hal mendasar bersama kata maaf dan minta tolong. Semua jauh dari kebiasaan baik anak-anak di masyarakat kita.

Ungkapan Syukur itu pada Sang Khalik yang tidak kelihatan, beneran bisa berlaku dengan sendirinya, jika dengan yang di depan mata saja berat?

Tujuh, menghargai kemanusiaan. Terlalu biasa bicara syurga dan akhirat, jadi abai akan yang ada di dunia. Terlalu mikir Tuhan, malah lupa manusia.  Kebiasaan menghormati dan menghargai kemanusiaan, termasuk diri sendiri. Olah raga, makan sehat, istirahat cukup, masuk dalam ranah ini.

Lebih jauh nantinya akan memiliki kesadaran untuk menghargai alam ciptaan, yang selama ini abai dianggap sebagai saudara. Eksploitasi saja yang ada.

Hal-hal konkrit, sederhana, yang harusnya menjadi karakter anak-anak bangsa ini.  Sayangnya lepas dari amatan para pejabat yang berwenang.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun