Pendidik Ketakutan, Penegak Hukum Arogan, dan Ironisnya Bangsaku
Beberapa saat terakhir banyak tayangan di media social, bahwa guru "ketakutan" menghadapi murid yang berlaku berlebihan. Minimal ada dua kisah yang memperlihatkan hal tersebut. Miris sebenarnya menyaksikan hal seperti itu.
Cerita pertama, seorang Ibu Guru yang mau memeriksa pekerjaan rumah siswanya. Eh si siswa malah ngamuk dan membanting tasnya. Sikap ibu guru dengan memilih kata sampeyan, jelas memperlihatkan "takut" si anak lebih ngamuk.
Tidak ada yang salah dengan menggunakan kata lembut pada anak yang sedang "tantrum," sikapnya tidak menunjukkan itu mekanisme menenteramkan. Â Lebih kentara bahwa pendidik ini tidak bisa menguasai anak. Hal yang sejatinya fatal sebagai seorang guru.
Cerita kedua, seorang siswa ditegur gurunya untuk merapikan bajunya oleh pendidiknya. Malah menantang berkelahi dan membuka bajunya. Ujungnya dimediasi di kepolisian dengan kesepakatan si murid dikeluarkan dari sekolahnya, pelanggaran   berulang.
Mengapa guru atau  pendidik tidak berani bertindak lebih untuk menertibkan?
Pendidikan antikekerasan hanya sepihak, untuk guru saja. Kalau murid bebas bahkan Komnas Anak akan menyudutkan guru sebagai tidak bisa bertindak dengan bijaksana. Anak pasti benar. Padahal  tidak mesti demikian.
Kerja sama dengan orang tua sering juga tidak mudah. Kebanyakan orang tua sekarang menyerahkan anaknya sepenuhnya kepada sekolah. Padahal jauh lebih banyak waktu di rumah atau bersama keluarga.
Keluarga yang lain tidak mau tahu bahwa anaknya bermasalah. Anaknya baik dan tidak mau tahu bahwa ada persoalan yang harusnya diselesaikan. Teman guru berkisah, bahwa muridnya mengambil uang gurunya. Ketangkap basah sedang melakukannya, ada intimidasi pada teman dan adik kelas yang menyaksikan tindakan kriminal itu. Â Ketika orang tua dipanggil, mereka tidak percaya anaknya berbuat demikian.
Ketakutan akan hukuman dan kurungan. Sekian banyak kisah guru yang menjadi pesakitan dan dipidana karena tindakan pendisiplinan. Saya yakin seribu persen, tidak ada guru yang memiliki kelainan jiwa sehingga memukuli siswanya dengan tanpa alasan   yang jelas. Benar, tidak bisa dinafikan bahwa ada guru yang suka kekerasan, mudah melayangkan tangan , seperti mencubit, menjewer, atau memukul dengan ringan.
Sekali lagi, yakin itu bukan kekerasan sebagaimana kata hukum atau HAM ala Barat. Tindakan pendisiplinan bukan perilaku ugal-ugalan yang berimplikasi pidana. Orang tua saja banyak juga kog yang melakukan pada anaknya. Apalagi ini di kelas, guru bisa juga memiliki masalah sendiri. Jangan lupa, pendidik menghadapi manusia, bukan kertas atau benda sebagaimana pegawai lainnya.
Penegak hukum pada sisi yang lain untuk bisa menjaga tertib hidup bersama toh menampilkan begitu banyak masalah. Â Â Sama-sama tayang dalam waktu yang hampir bersamaan, bagaimana perilaku ugal-ugalan mereka di dalam melakukan tugas.
Kekayaan super jumbo staf MA, pengadil yang katanya wakil Tuhan di dunia, memiliki kekayaan hamper satu trilyun rupiah di rumah. Emas seberat 51 kg, ingat biasanya orang belie mas itu gram ini 1000 gram kali 51 dan di rumah. Berapa banyak yang di bank atau berupa asset bisa tanah, mobil, perusahaan, atau ainnya? Apakah gajinya juga superbesar? Jelas tidak lah.
Disusul oleh keberadaan jaksa yang menangkap mantan Menteri. Para netizen mengulik, jam atau arloji yang dikenakan memiliki harga nol sembilan plus. Lagi lagi, apakah gajinya bisa mencukupi untuk sekadar beli arlojinya? Lha emang dia tidak hidup, makan, nyekolahin anak, kondangan, dan seterusnya. Singkatnya, uang dari mana bisa mendapatkan kemewahan seperti itu?
Wajar, mantan wakapolri menudingnya  caper, wong faktanya banyak menteri yang berkinerja buruk namun masih aman-aman saja. Public itu paham, bagaimana kinerja mereka, baik hakim, jaksa, ataupun polisi. Jadi tidak heran, ketika  masyarakat menjadi apatis saat melihat mereka melakukan penegakkan hukum. Malah tidak percaya, lebih cenderung, halah drama apa lagi ini?
Berkaitan dengan dunia pendidikan, bagaimana  orang tua yang sekaligus polisi membawa guru ke pengadilan dengan tuduhan kekerasan pada murid atau anaknya. Berita menjadi berkepanjangan, ketika banyak hal yang tidak logis. Apalagi saat melibatkan "upeti" yang dibahasakan sebagai uang damai. Ada narasi bahwa polisi yang meminta, beralih ke pemerintah desa yang meminta, dan adanya permintaan maaf sebagai pengakuan melakukan kekerasan.
Eh pemberitaan terbaru, ternyata pihak jaksa pun "meminta" dengan nominal sepertiga dari uang damai penegak hukum sebelumnya. Palingan juga dibantah dan tidak ada tindak lanjut.
Kedisiplinan itu perlu dibina, dididik, dan dilakukan terus-menerus. Salah satu yang paling penting adalah peran guru di sekolah. Pendidik bukan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan, namun juga perilaku baik, salah satunya adalah pendidikan kedisplinan.
Bagaimana mereka ketakutan mendisiplinkan murid, padahal itu adalah salah satu pilar dan tugas penting guru. UU dan Komnas-komnas yang membuat takut, apanya yang salah di sini? Karena didikte oleh pihak lain yang memang mau memperlemah negeri ini. Mentalitas generasi muda yang buruk.
Penegak hukum yang melacurkan hukum sekarang ini jauh lebih banyak, Ketika tidak berani jujur dan mengakui, hanya berkedok terus menerus sebagai oknum, tidak akan pernah terselesaikan. Akui ada masalah, benahi, dan perbaiki. Titik. Retorika ndakik-ndakik penuh ketidakjujuran jelas membawa ke  arah yang lebih buruk.
Negara taruhannya. Kesehatan dan kesejahteraan membaik, namun pendidikan dan    keberadaan generasi muda yang makin buruk, ya tinggal nunggu waktu untuk berabe, seolah belum dianggap penting. Pejabat hanya menjual narasi, retorika, semua baik-baik, padahal jelas-jelas masalah di depan mata, hanya karena tidak pernah berani mengakui ada masalah.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H