Perwira Militer dan Polisi Menduduki Jabatan  Sipil
Beribu perwira aktif di tubuh TNI dan Polri yang akhirnya meneruskan karir, Â perjuangan, dan pekerjaan di ranah sipil. Beberapa hal masih layak dipahami, seperti di Kemenhan, Kejaksaan, ketika berkaitan dengan penuntutan kasus kejahatan dari lembaga yang sama. Atau lembaga negara yang memang membutuhkan kerja tangkas, komando cepat seperti Basarnas, BNPB, BNN, dan sejenisnya.
Beberapa yang kurang tepat mengisi di Kemendagri, Kemenhub, dan lembaga yang memang sudah seharusnya jenjang karir dari lembaga dan kementerian tersebut. Persaingan yang  tentu tidak sehat dari internal, ketika tiba-tiba ada drop-dropan yang tidak dimengerti dari mana asalnya. Dunia yang sangat berbeda.
Politisasi, lihat saja berapa banyak purnawirawan yang bergabung dalam partai politik, masuk dalam badan atau tim pemenangan dalam pilpres, pilkada, dan tidak sedikit yang langsung menjadi pengurus teras partai pun menjadi calon gubernur, walikota-bupati, dan menteri. Jabatan-jabatan yang selayaknya milik atau jatah sipil. Sayang era Orba malah balik dan menguat lagi.
Dalih, militer dan polisi yang sudah pensiun kembali  menjadi sipil. Padahal ini adalah dalih kegagalan parpol dalam membangun sistem dan kaderisasi. Tidak ada kader yang cukup mumpuni untuk bisa menang dalam gelaran pilihan ini dan itu. Potong kompas  mengambil yang sudah ada, meskipun itu pensiunan, waktunya ngaso.
Kelebihan stok, over produksi. Mengapa demikian, dalihnya adalah bottleneck dalam jenjang karir di militer dan polisi. Hal ini ada dua hal yang membuatnya demikian. Jabatan yang diemban tidak  bertambah, namun adanya perpanjangan usia pensiun menjadikan banyak perwira yang nonjob, karena masih dihuni oleh seniornya, yang harusnya sudah pensiun, namun masih diperpanjang.
Kedua, karena rekruitmen tidak pernah dikurangi . Setiap tahun ratusan calon dari AKMIL, AAL, AAU, dan Akpol. Belum lagi dari SEPA dari sarjana, mereka ini pasti berujung pada perwira tinggi, dan kursinya terbatas. Jika memang usia diperpanjang, artinya yang masuk atau seleksi per tahunnya dikurangi.
Benar, seleksi alam dalam jenjang karir itu tidak bisa diprediksikan. Toh masih bisa dianalisis setiap tahunnya yang mandeg, mejen, dan tidak kuat itu ada berapa banyak. Sederhana kog, mosok zaman digital pemikiran masih manual.
Dampaknya. Persaingan internal Polri dan TNI yang makin sengit sangat mungkin tidak lagi sehat. Tidak heran banyak jenderal yang berakhir di bui, sebagaimana Sambo dan Minahasa. Tentu tidak hendak berpikir buruk, sangat mungkin masih banyak yang tidak apes sebagaimana mereka berdua.
Terbuka kemungkinan membuat birokrat di jenjang sipil menjadi frustasi bahkan depresi. Bagaimana tidak, sudah membangun karir sekian lama, eh tiba-tiba jobnya diisi dari dua lembaga lainnya tersebut.