Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ratu Entok, Penistaan Agama, dan Penegakkan Hukum

9 Oktober 2024   14:34 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:34 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ratu Entok, Penistaan Agama, dan Keberadaan Hukum

Selegram yang memiliki nama tenar Ratu Entok ditangkap polisi. Tuduhannya adalah penistaan agama. Ia menyatakan dalam videonya agar Yesus potong rambut agar tidak seperti perempuan. Hal konyol sebenarnya, benar bahwa menyenggol agama akan mudah viral dan menjual. Dagangan paling murah itu ya sentimen agama.

Ia lupa, bahwa kondisi, latar belakang, dan hukum itu bisa berbeda satu dengan yang lain. Baginya mungkin kek mak-mak yang memaki tetangganya yang ibadah, atau ketua RT yang membubarkan ibadah agama lain, atau berpikir akan seperti UAS atau RS yang mengatakan salib ada jinnya, atau kalau Yesus lahir bidannya siapa.

Polisi dalam kasus yang disebutkan di atas itu seolah amnesia, gerak cepat untuk menemukan meterai dan mengatakan sudah selesai hanya salah paham. Kasus jin dalam salib dan bidannya Yesus malah amnesianya sudah akut, tidak ada tindak lanjut.

Berambut gondrong dan jenis kelamin. Ratu Entok diminta potong rambut agar terlihat laki-laki, karena ia mengaku transgender. Sangat mungkin tanggapannya yang malah membawa gambar Yesus, yang diasumsikan laki-laki dan berambut panjang, baginya normal. Pria berambut panjang banyak, mengapa tidak mengambil Valderama sebagai pesepak bola atau photo lama Ahmad Albar yang gondrong? Tentu hanya dia yang paham.

Nah ada Bahar Smith yang juga berambut panjang, mesin penelusuran saya, malah Bahar Smith dan wajah Timur Tengah, atau Gus Muwafiq, atau artis lain laki-laki yang berambut gondrong. Mengapa Yesus.

Salah satu pelapor dari GMKI mengatakan, bahwa selegram ini menistakan agama Kristen, karena menggunakan Yesus yang berambut gondrong. Lah kan faktual, apanya yang ternistakan sih? He...he..

Begitu banyak masalah di negeri ini. Mengapa dikit-dikit penistaan agama?      Kadang memang hanya kelompok minoritas yang dibui, kek Ahok, Meliana, dan banyak lagi. Kalau yang diledek minoritas, hanya dikit banget, Roy Suryo, dan kali ini Ratu Entok.

Padahal begitu banyak penistaan agama yang biasa saja. Lihat bagaimana tidak menista agama, ketika mengatakan korupsi adalah rezeki dari Allah. Bersumpah tidak maling padahal jelas-jelas hartanya berlimpah tidak tahu kerjanya apa. Tuh yang dicokok KPK banyak yang alim, berbaju agamis, sumpah pula, tapi juga gak ngaku kalau maling anggaran dan uang negara. Kog gak ada yang melaporkan menista agama sih?

Negara ini sudah darurat dalam ketersinggungan. Dikit-dikit tersinggung, tapi anehnya malah tidak tersinggung ketika diboongin pejabat dan anggota dewan. Mana ada  realisasi dari apa yang mereka nyatakan dan katakan dalam kampanye itu? Tidak jarang dikemas dalam acara keagamaan lho.

Penegakan hukum yang tebang pilih. Lihat saja berapa banyak kasus penistaan agama, dugaan pelecehan agama mayoritas ke minoritas yang tidak tuntas. Orangnya masih cengengesan dan terus mengulangi perbuatannya. Hal yang tidak berlaku pada kasus sebaliknya, fakta dan kesaksian yang meringankanpun akan mudah dieliminasi oleh penegak hukum.

Permisif. Sering alasan penegakkan hukum gagal karena delik aduan. Si pengadu lemah dalam legal standingnya. Lembaga resminya enggan untuk berurusan yang remeh temeh. Hal ini yang membuat menjamur. Kadang sangat remeh dan bisa menjadi besar karena memang ada yang menjadikannya bahan untuk sesuatu. Ingat kisah 212. Politik yang menunggangi agama.

Kedewasaan. Pengampunan memang penting, namun penegakan hukum juga tidak kalah penting. Negara hadir bagi siapa saja yang menjadi korban. Jangan hanya karena mayoritas, sama agamanya dengan penegak hukum langsung gerak cepat. Hal ini menunjukkan kedewasaan beragama dan bernegara.

Pasal karet. UU ITE sering menjadi bahan jerat dalam berinteraksi dalam media sosial, berbasis internet. Hal ini  membuat pegiat  dan konten kreator gamang. Padahal pornografi, pinjol, judol, dan penipuan basis digital banyak banget. Malah mereka lolos dari jeratan hal ini. Miris sebenarnya dengan pendekatan hukum model ini.    

Hukum abai etika. Panglimanya adalah hukum, namun abai akan etika. Sepanjang prosedur sudah dijalani dianggap baik-baik saja. Nah, di sinilah peran etika berbicara. Ketika baik, benar, salah, dan buruk saja terjadi dalam penegakan hukum dan tidak dibedakan, ya sudah. Kiamat. Penegakkan hukum akan tepat sepanjang sesuai dengan etika.

Pancasila sebagai dasar negara sering kalah karena viral atau tekanan publik yang mayoritas. Lha penegak hukumnya bias karena kesamaan dengan masalahnya. Ada konflik kepentingan, karena lagi-lagi soal kedewasaan.

Pendidikan yang tidak memberikan kemampuan analitik, hanya berdasarkan hafalan melahirkan birokrat, penegak hukum, dan juga masyarakat yang tidak mampu memilah dan memilih. Sikap kritis ini sangat penting untuk memiliki jiwa besar, cerdas, dan mampu memiliki  otonomi.

Salah satu sikap tidak dewasa itu ya mudah tersinggung. Tergantung pada khalayak ramai atau umum, bukan pemahaman sendiri.  Jika mampu dan otonom, sangat kecil kemungkinan untuk tersinggung.       

Agama, lha ini masalahnya. Orang sering terlalu fanatis ke luar, tidak ke dalam. Jadi mudah tersinggung, takut pada ajaran yang lain alias paranoid. Takut kalau agama lain akan merusak, menghina, dan menggoda jemaahnya.  Padahal tidak sepenuhnya demikian. Hal ini  yang harus dijembatani dan ditemukan titik temunya.

Hidup bersama itu gampang sebenarnya, sepanjang mau memahami, tidak minta dipahami. Abai kemanusiaan dan lebih cenderung keuangan dan keagamaan. Belum sampai pada Tuhan, masih mandeg di agama.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun