Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

JK: Pendidikan Jangan Tiru dari Finlandia dan Singapura

14 September 2024   20:50 Diperbarui: 14 September 2024   21:03 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bimbel menjamur, karena orientasinya adalah nilai akhir dengan pilihan ganda. Studi di sekolah kalah dengan bimbel yang mengajarkan cara ninja menyelesaikan soal dengan sederhana dan cepat. Suka atau tidak, banyak bimbel yang menyediakan bocoran soal UN, terlihat antrian anak sekolah di depan bimbelnya pas mau berangkat ke sekolah untuk UN.

Dua perkara di sana, sekolah kalah dengan bimbel, padahal bimbel hanya mengajar, tidak mendidik anak dengan sepenuhnya. Relasi bisnis. Kedua, kebocoran soal UN banyak terjadi di bimbel dan seolah mereka menjadi fasilitator itu.

Nilai UN yang hanya dilakukan paling lama seminggu namun menghanguskan perjuangan selama enam atau tiga tahun. Wajar ketika UN adalah penentu kelulusan kala itu begitu menakutkan. Apalagi memang seolah ada yang menciptakan horor itu, sehingga menangis sebelum pelaksanaan UN, minta doa restu ke sekolah jenjang sebelumnya segala.

Lha ini mau ujian sekolah atau mau maju perang sih? Di mana kegembiraan peserta didik jika demikian? Yang ada cemas, takut, khawatir, dan jelas bukan esensi pendidikan.

Sekolah berfokus pada kelulusan, mengabaikan sisi pendidikan. Semester terakhir di kelas akhir, 6,9,12, pelajaran non-UN jadi penonton. Materi pelajaran UN saja yang diajarkan. Konsentrasi pada kelulusan, lha buat apa sekolah jika demikian. Sekolah perilakunya   mirip dengan bimbel. Amburadul model demikian yang mau diulang oleh JK?

Keberadaan petinggi-petinggi perusahaan besar dari India, ataupun tokoh besar dunia berasal dari India, tidak jaminan hanya karena pendidikan India yang lebih tepat untuk dicontoh oleh Indonesia. Apalagi jika bicara rata-rata IQ India juga masih kalah dengan Indonesia. Berarti lebih banyak didonasi tokoh-tokoh tersebut untuk bisa menaikan sampai memiliki angka rata-rata 76. Indonesia memiliki angka rata-rata 78.

Apa yang JK katakan sejatinya tidak ada yang keliru, jika berangkat dengan niat tulus untuk kemajuan bangsa dan negara. Namun menjadi sumir, ketika ia meletakkan itu dalam konteks kepentingan politik. Membandingkan Nadiem dan Anies, yang ternyata tidak bisa juga secara langsung bisa diperbandingkan.

Terlihat sekali kepentingannya ketika mengambil contoh Jepang yang disejajarkan dengan China dan India. Finlandia dan Singapura yang dijadikan rujukan dengan jumlah penduduk dan pendapatan  perkapita, harusnya Jepang juga masuk di sini. Lucu dan naif, ketika Jepang disejajarkan dengan China dan India. Artinya, kurang tepat dalam mengambil contoh.

Hal ini terjadi karena kepentingan, akibatnya tidak jernih melihat persoalan yang terjadi dengan pembandingnya.  Jika saja mau memberikan masukan untuk perbaikan pendidikan juga akan sangat membantu penyelesaian masalah negara ini.

Politik, bisnis, dan ideologi ultrakanan membuat pendidikan Indonesia jalan di tempat bahkan mundur. Nah, ini pribadi yang memberikan kritikan itu masuk dalam ketiga bidang itu, ya suka atau tidak, cenderung malah membuat keadaan lebih buruk, bukan membaik.

Biarkanlah kebijakan itu dilakukan dulu. Kemudian dievaluasi, bukan belum-belum sudah diributkan dan kemudian tidak  jalan. Terlalu banyak keriuhan yang tidak berguna dalam hidup bersama bangsa ini.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun