Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Naturalisasi Membuat Malu Peter F. Gontha dan Nasionalisme

13 September 2024   15:34 Diperbarui: 13 September 2024   15:36 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naturalisasi Membuat Malu Peter F. Gontha dan Nasionalisme

Usai pertandingan Australia dan Indonesia yang lumayan sukses menahan imbang  peringkat  25. Wajar ketika negeri ini bangga, merasa bahwa hal ini sangat positif. Harapan baik bahwa timnas Indonesia bisa bersaing dengan tim level dunia. Australia dan Indonesia beda peringkat 100 lebih. Hal yang luar biasa.

Namun, ada seorang pesohor negeri ini yang merasa bahwa ia malu. Mantan duta besar ini mengatakan jika ia malu karena pemain Indonesia itu orang asing. Diledek temannya yang orang luar itu mempertanyakan keberadaan timnas yang dihuni keturunan Indonesia.

Beberapa hal layak dicermati untuk dipahami lebih luas.

Pertama, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menggunakan pemain "asing". Mosok tidak tahu Sami Kheidira, Mesut Ozil, atau Rudiger, Podolski di Jerman.  Atau Zizou, Mbape, Pogba, Umtiti atau Kante, di negeri Perancis. Mereka, Perancis ada 15 warga keturunan imigran dan Jerman dengan sembilan pemain. Australia malah ada sembilan dari 12 pemain keturunan yang dinaturalisasi tanpa ada darah Australia sama sekali.

Italia yang juara dunia empat kali, dua kali piala Eropa, atau Spanyol yang juara piala dunia dan piala Eropa berturut saja masih membuka kesempatan untuk memakai jasa pemain asing.  Masih banyak lagi yang bisa dilihat dan dijadikan dasar keberadaan pemain asing itu normal.

Pemain Australia sendiri malah mengatakan pemain tim Indonesia bukan orang asing. Kog malah orang Indonesia malah malu. Dunia makin mengglobal, pilihan STY dan Erick Thohir pun masih sangat logis, ada keturunan atau darah Indonesianya.  

Kedua, Peter F. Gontha mengatakan, mengapa tidak membina saja anak-anak negeri yang berjumlah 200 juta lebih? Tuh India dan China yang penduduknya berkali lipat juga masih ngos-ngosan untuk main sepak bola kaliber Asia apalagi dunia. Jika bicara   mengenai jumlah penduduk. Artinya tidak cukup memberikan bukti pilihan lebih baik atau nasionalis

Ketiga, jika saja Peter F. Gontha membaca dan mau tahu kesulitan STY dan juga timnas selama ini, pasti dia akan malu menuliskan hal tersebut. Lha bagaimana tidak, pemain tim-tim di Indonesia yang berjibun itu cara menendang saja masih belepotan. Mosok pelatih kaliber piala dunia harus mengajari cara menendang, itu tugas SSB, apa ia paham?

Keempat, stamina pemain. Hanya 60 menit saja sudah ngos-ngosan, padahal pertandingan itu minimal 90 menit. Lha apa iya yang setengah jam berikutnya mau jadi lumbung gol. Mendongkrak stammina bisa main full itu tidak mudah. Itu bagian penting lho, jangan dianggap remeh. Kapan bisa main dan menang jika pelatih timnas masih mikir soal ketahanan pemain.

Kelima, cara mengoper. STY mengeluhkan pemain timnas saja masih salah oper, karena posisi dan cara menendang saja keliru, operannya juga pastinya akan mlengse. Bayangin target kelas dunia, tapi skil kelas kampung, tapi omongnya mengenai pembinaan.

Keenam, mosok Peter F. Gontha tidak pernah tahu atau mendengar model pemain titipan di timnas Indonesia sih? Terlalu naif jika malu naturalisasi, namun tidak malu melihat pengelolaan timnas yang tidak profesional.

Ketujuh, lihat saja liga di Indonesia yang  begitu-begitu saja. Prestasi kalah dengan ingar bingar skandal atau kasus demi kasus. Lihat saja kapan sih bisa bicara banyak di level regional saja, apalagi    bicara Asia atau dunia, terlalu jauh. Liga Jepang yang dikelola profesional, dulunya belajar di sini, dan mereka melesat, gurunya mundur. Pembinaan macam apa lagi Peter?

Kedelapan, pengaturan skor dan sepak bola gajah di tingkat yunior sudah terjadi. Pembinaan macam begini  yang mau dibawa ke tingkat dunia? Anak-anak tidak akan mungkin paham model main gajah, itu pasti orang dewasa di sana.

Kesembilan, Peter F. Gontha tidak sendirian yang menilai jelek pemilihan pemain keturunan. Jadi memang tabiat negeri ini. Tidak nyengkuyung program lain yang baik, namun lebih suka menghantam apa yang pihak lain lakukan.

Kesepuluh. Mengapa Indonesia tidak pernah maju? Ya karena banyak model ini, menghina upaya yang dilakukan. Lihat saja pengelolaan tambang diambil alih negara sendiri dikatakan apa mampu, tanpa merasa bersalah padahal itu saudaranya sendiri. Malah jadi penyemangat negara lain.

Hal lain juga identik, misalnya mobil nasional. Diremehin. Banyak omong jelek yang sama sekali tidak konstruktif.  Adanya malah membuat keadaan makin buruk.

Kenapa hanya Indonesia yang dirusuhin soal pemain keturunan, asing, atau naturalisasi, tuh Spanyol, Itali, Inggris, Perancis, Jerman, kurang apa mereka, bahkan pernah juara dunia. Mereka diam saja, tidk ribut soal kewarganegaraan yang asli, keturunan, atau naturalisasi.

Terlalu repot dengan istilah dan tetek bengek yang tidak mendasar. Faktanya dengan pemain asli Indonesia toh hanya menjadi penggembira     saja di level Asia Tenggara. Pernah ketar ketir menghadapi Singapura, Philiphina, Malaysia,  bahkan Laos pun pernah keder duluan. Macam itu yang dimaui dengan atas nama nasionalisme?

Berbagai pihak enggak Indonesia maju dan bergerak melampaui kemampuannya. Mengenai kemandirian energi, pengelolaan tambang, kini bola pun rame-rame meributkan, di dalam negeri sendiri juga malah mendukung aksi itu.

Susah maju jika demikian. Energi negatif   yang digelontorkan terus menerus, menggerus upaya dan aura positif yang ada. Semua kalah dan menyerah karena kurangnya dukungan. Hanya membuat mafia, calo, dan para penaguk keuntungan berpesta pora.

Sekian lama tim sepak bola hanya begitu-begitu saja, kini ketika mau beranjak baik, eh ada-ada saja, atas nama nasionalisme pulak. Miris.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun