Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memelihara Landak Pidana, Perizinan, dan Kehendak Baik

11 September 2024   13:46 Diperbarui: 11 September 2024   13:47 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memelihara Landak Pidana, Perizinan, dan Kehendak Baik

Lagi ramai perbincangan mengenai pemelihara landak jawa yang diancam pidana lima tahun dan denda 100 juta rupiah. Satu sisi benar, bahwa terdakwa ini melanggar hukum karena merawat binatang dalam status darurat langka karena hampir punah.   Satu sisi penegakan hukum, pada sisi lain kepedulian pada satwa termasuk lingkungan.

Menemukan bayi binatang, dirawat, dan bisa melahirkan. Artinya ada upaya baik, bukan hasil berburu dan kemudian mati. Bisa dibandingkan dengan para elit yang memelihara hewan tidak kalah langka, namun berujung kematian. Identik dengan tanaman bunga yang merana di tangan para penyukanya.

Benar, UU ya UU tidak akan ada nilai pembenarnya. Apa yang dilakukan pemelihara landak itu. Toh konon  ada restorative justice, keadilan restoratif, di mana menyelesaikan pidana dengan cara-cara yang berbeda,tidak pemidanaan. Ada upaya lain yang memberikan efek jera dan juga efek taat hukum.

dokpri
dokpri

Belum lagi jika bicara  mengenai pola pendekatan hukum pada kasus-kasus yang lain. Lihat mana  ada pidana pembubaran atau penghentian ibadah kelompok minoritas. Palingan dikatakan salah paham, minta maaf, meterai cemban dan selesai. Padahal dampaknya jauh lebih buruk dan merusak.

Konteks yang lain, lihat saja penistaan agama minoritas, apa yang dilakukan penegak hukum, muter-muter dan akhirnya publik puyeng dan lupa. Selesai tanpa adanya tindakan sama sekali. Lain jika pelaku adalah minoritas pada agama gede, pasti akan dilanjutkan dengan segera.

Bicara masalah lebih krusial pasti penegak hukum hanya muter-muter mengenai istilah dan kemudian melenyap. Kasus korupsi sering kek kapur barus, menghablur tanpa jejak. Pembicaraan jet pribadi sudah menguap tanpa rimba. Penegak hukum ketika bicara kasus korupsi, apalagi melibatkan elit bertingkah kek anak sekolah yang belajar menulis dan membaca. Ilmu komunikasi dan hukumnya tidak jelas.

Ketika mentok dan harus ke pengadilan, dagelan demi dagelan juga tersaji. Para terduga yang disebut pun aman sentosa. Entah yang terjadi di balik itu semua. Vonisnya pun para sarjana dan pasca sarjana hukum ini lupa, pasal dan putusannya. Kadang membuat rakyat muak.

Tentu masih ingat kisah pembunuhan Sambo bukan? Publik mengira bahwa hukumannya pasti mati. Toh bisa berubah menjadi  seumur hidup. Pun untuk        Teddy Minahasa yang didakwa menjual barang bukti narkotika, hukumannya apa? Publik paham pakai banget.

Keputusan-keputusan nyleneh sering terjadi di muka hukum Indonesia. Kepastian hukum hampir tidak bisa diprediksikan. Padahal era informasi dan komunikasi, yang semuanya transparan. Siapapun  bisa mengakses dan mempelajari pasal-pasal dan acara hukum. Toh mereka melaju  saja tanpa merasa bersalah.

Kisah pemidanaan pemelihara landak ini bukan satu-satunya dan baru terjadi kali ini. Pasti sangat mudah menemukan keanehan yang tidak tahu mengapa bisa terjadi dan melenggang begitu. Wong nyatakan di Jawa Tengah juga ada warung makan yang menyediakan menunya sate landak. Hayo lebih parah mana, menyembelih landak untuk jualan atau memelihara bahkan menghasilkan anak?

dokpri
dokpri

Hukum dan viral

Masih menanti apakah ketika sudah viral akan ada upaya hukum lain. Toh sering  penyelesaian hukum itu hanya karena tekanan massa dan viral  kemudian bisa berubah 1800. Lagi-lagi jaminan atau kepastian hukum tidak pernah bisa diprediksikan. Bagaimana rakyat bisa tertib hukum, ketika penegakkan hukumnya tidak jelas?

Tekanan publik kadang juga tidak mesti benar. Bisa membuat pilihan dan putusan hakim tidak sepenuhnya tepat. Padahal tidak boleh seperti itu. independensi hakim itu mutlak.

Sering juga didiamkan saja, ketika sudah viral akhirnya penegak hukum lagi berjalan dan melakukan tugasnya. Susah melihat bagaimana ini harus dibenahi.

Konsistensi

Sering terlihat bagaimana penegakkan hukum yang lagi-lagi tidak jelas. Begitu gamblang bahwa ada dugaan grativikasi misalnya, toh mbulet-mbulet untuk mengatakan tidak. Akhirnya publik lupa atau enggan lagi bicara.

Masalah hukum sering tidak terlihat konsistensinya. Ketika berhadapan dengan rival atau rakyat akan dengan sangat tegas. Lain ketika berhubungan dengan kelompoknya atau kaum elit. Mlempem.

Berani dan bisa tidak, salah ya salah dan benar ya benar?

Jika bisa bersikap dan bertindak demikian, tidak akan ada kehebohan dan keviralan yang tidak perlu. Rakyat sudah paham bahwa ini melanggar hukum, konsekuensinya ini. Selama ini, hal tersebut tidak pernah terjadi, karena ya itu, ada tangan-tangan jahat yang tidak terlihat bisa mengatur untuk membolak-balikkan keadaan.

Jangan sampai keadaan negeri malah makin buruk karen dikelola dengan   amburadul. Bisa diatur sesuai dengan kehendak segelintir orang. Bisa karena kuasa, mengerikan lagi jika karena uang.

Simalakama perizinan.

Siapa yang pernah mengurus izin atau surat ke birokrasi pasti akan paham. Betapa melelahkan dan menjengkelkan. Katanya online, diakses tidak bisa, nanti datang ke kantor direspons dengan sangar, kan online, ngapain datang. Jika offline, ada saja alasan untuk menolak dan mencari-cari dalih  agar susah urusannya.

Hal ini tidak sekadar apriori. Benar, bahwa sudah ada perbaikan, namun belum cukup baik apalagi di tengah kemajuan teknologi dan kreatifitas yang makin meningkat. Bisa dibuktikan, belum ada keseragaman dalam proses perizinan.

Jadi, jika menyalahkan soal izin hewan langka itu, yang komen dan mengatakan, kenapa tidak izin,  pernah gak ngurus izin dan mbulet tidak karuan?  

Hal yang begitu banyak harus diselesaikan. Saling berimpitan dan berjalin ke sana ke mari, dan itu perlu diurai untuk bisa menjadi negara yang tertib hukum. Keteladanan taat azas dan hukum saja masih banyak yang kacau.

Harapan baik kudu diyakini akan terjadi. Indah pada waktunya.

Terima kasih dan Salam

Susy Haryawan

Gambar koleksi pribadi, sebatas ilustrasi, itu landak mini memang tidak dilindungi dan hasil ternak sendiri

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun