Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paus Fransiskus, Kesederhanaan, dan Perilaku Beragama Kita

4 September 2024   07:05 Diperbarui: 4 September 2024   07:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paus Fransiskus, Kesederhanaan, dan Perilaku Beragama

Selamat Datang Bapa Suci Fransiskus

Menarik apa yang publik terutama netizen riuh rendahkan selama kedatangan Paus Fransiskus kemarin. Pihak yang paham spiritual, terutama orang Katolik yang mengenyam pendidikan lebih mengenai hal ini berkomentar bagaimana sosok Paus itu sebagai Jesuit dan Fransiskan sekaligus. Sosok sederhana sebagaimana Santo Fransiskus.

Ada sebuah komentar dalam status pegiat media sosial, yang mau menisbikan kesederhanaan Paus yang ia katakan sebagai sebuah hal biasa, karena menggunakan jet pribadi ataupun pesawat komersial yang disewa. Esensi yang jauh berbeda dan sekadar mau menegasikan sikap sederhana itu. Padahal bukan hanya pilihan pesawat.  

Permintaan kepada pemerintah Indonesia jelas-jelas sebuah hal yang sangat sederhana bukan sekadar slogan omong kosong. Meminta kesederhanaan dalam protokoler, makanan, dan penginapan. Beliau mengatakan mau makanan sebagaimana makanan yang dimakan setiap harinya. Tentu saja tidak akan sulit bagi tuan rumah.

Makin terkonfirmasi jam tanggannya seharga dua ratus ribuan, bisa dibandingkan dengan pengusaha, politikus kita, bahkan birokrat kita banyak yang mengenakan jam tangan berharga dengan kisaran angka milyar. Baju belasan juta.

Kendaraan yang beliau inginkan adalah yang biasa dikendarai umat atau masyarakat kebanyakan. Pilihan pada mobil dengan harga setengah milyar. Wajar, padahal dalam hidup harian kita lihat pemimpin agama kecil, lokal, setempat saja sudah lebih dari dua atau tiga mlyar. Ada lho "anak buah" buah Paus yang dihadiahi mobil seharga itu. Tidak salah juga.

Salah satu aturan tertulis untuk pemimpin umat di Indonesia, terutama Keuskupan Agung Semarang, mengenai kendaraan adalah sama persis permintaan Paus. Kendaraan sama dengan umat kebanyakan, kelas kijang bukan sedan. Mau menunjukkan pemimpin itu pelayan, tidak meninggalkan umatnya.

Tentu kita juga paham, bagaimana perilaku beragama di negeri ini, politikus yang gemar mengutip ayat suci, pengusaha beda koridor untuk kemewahan, meskipun ada pengusaha yang sederhana. kendaraan mewah tapi ngemplang pajak, lamborghini, mustang, BMW, ferrari, sayangnya tidak dilengkapi dengan sikap bertanggung jawab dan rendah hati.

Mereka berhak juga bermewah-mewah, namun apakah mau membayar pajak, berkenan untuk menjual untuk dijadikan bantuan pembelian beras bagi masyarakat miskin? Jika itu sudah bisa, silakan saja menikmati hasil jerih lelahnya. Tidak ada yang salah.

Kesederhanaan bukan antikkekayaan.

Melekat pada benda, materi,  kekayaan itu yang salah. Tidak semestinya demikian. Makanya    tidak mau bayar pajak, hasil pembeliannya dari korupsi, memperoleh dengan cara curang. Itu yang tidak baik. Pengusaha yang memang bekerja keras juga layak kog memakai kendaraan, pakaian, jam tangan, sepatu mewah dan mahal. Ugahari itu juga tahu batas dan kapasitas.

Tanggung jawab.  Sikap sederhana itu juga bicara mengenai tanggung jawab. Bisa mempertanggung-jawabkan hasil dari mana kekayaan yang dipunyai, jika memang hasil kerja keras mengapa tidak dipakai dengan suka cita? Pun bertanggung jawab pula untuk membayar kewajibannya, salah satunya adalah pajak .

Berbagi. Sederhana itu mau berbagi. Nah, apakah owel atau mudah dan ringan untuk membantu dengan apa yang dimiliki? Jika masih berat hati untuk membagikan apa yang mereka miliki, fokusnya adalah ngumpulke, menimbun, ujungnya hanya untuk pamer, adalah hal kesia-siaan.

Konsistensi. Sederhana itu terlihat dari sikapnya yang konsisten. Tidak hanya sekadar propaganda dan kampanye sesaat, namun perilakunya terlihat konsisten terus menerus. Terlihat dari rekam jejaknya tidak sekadar hanya sesaat semata.

Peduli. Mengatasi kedirian, bagaimana ia mau peduli dan konteksnya jelas berbagi. Tanpa peduli, tidak akan mungkin mau berbagi apa yang dimiliki. Malah menimbun dan ujungnya tamak, selalu kurang.

Beragama bukan sekadar mengutip kata-kata suci, ayat-ayat yang apal luar kepala, atau kesalehan yang dipertontonkan di tepi jalan, atau bahkan tengah jalan, namun bagaimana perilaku, pilihan-pilihan tindakan, asesoris dalam badannya, seperti jam tangan, sepatu, pakaian, itulah sisi hidup beragama yang baik.

Semakin besar namun semakin menunduk, falsafah Jawa ilmu padi. Paus Fransiskus meneladankan itu. Bagaimana beliau    melakukan itu dengan keseluruhan hidupnya. Pilihan asesoris, kata-kata, bukan muluk-muluk dengan teologi atau filsafat yang jelas banget ia kuasai.

Bagaimana sekelas Paus, tidak berpikir bahwa ia akan membuat macet kota Roma, karena mau makan pizza ia berangkat sendiri. Jelas saja kota yang ia lewati dan kunjungi macet, kemudian beliau meminta maaf dengan rendah hati. Jika ia sombong, pastinya minta pengawalan atau si penjual diminta datang. Segampang itu bagi orang sebesar dia, namun tidak dilakukannya.

Begitu banyak hal sederhana yang ia lakukan dan jalani bukan sekadar omongan. Perilakunya juga mendukung hal tersebut.

Kedatangannya layak dan tepat waktu di tengah arus hedonisme, pejabat, politikus, tokoh agama yang bergaya hidup mewah. Padahal begitu banyak orang-orang miskin yang ada di sekitar mereka. Peduli ini sangat penting.

Apa yang tertulis tentu tidak menghakimi si kaya, namun sebagai sebuah refleksi bagaimana kekayaan itu diperoleh dan dipertanggungjawabkan dengan segala kerendahan hati. Semua dari Allah kembali kepada Allah.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun