Melekat pada benda, materi,  kekayaan itu yang salah. Tidak semestinya demikian. Makanya   tidak mau bayar pajak, hasil pembeliannya dari korupsi, memperoleh dengan cara curang. Itu yang tidak baik. Pengusaha yang memang bekerja keras juga layak kog memakai kendaraan, pakaian, jam tangan, sepatu mewah dan mahal. Ugahari itu juga tahu batas dan kapasitas.
Tanggung jawab. Â Sikap sederhana itu juga bicara mengenai tanggung jawab. Bisa mempertanggung-jawabkan hasil dari mana kekayaan yang dipunyai, jika memang hasil kerja keras mengapa tidak dipakai dengan suka cita? Pun bertanggung jawab pula untuk membayar kewajibannya, salah satunya adalah pajak .
Berbagi. Sederhana itu mau berbagi. Nah, apakah owel atau mudah dan ringan untuk membantu dengan apa yang dimiliki? Jika masih berat hati untuk membagikan apa yang mereka miliki, fokusnya adalah ngumpulke, menimbun, ujungnya hanya untuk pamer, adalah hal kesia-siaan.
Konsistensi. Sederhana itu terlihat dari sikapnya yang konsisten. Tidak hanya sekadar propaganda dan kampanye sesaat, namun perilakunya terlihat konsisten terus menerus. Terlihat dari rekam jejaknya tidak sekadar hanya sesaat semata.
Peduli. Mengatasi kedirian, bagaimana ia mau peduli dan konteksnya jelas berbagi. Tanpa peduli, tidak akan mungkin mau berbagi apa yang dimiliki. Malah menimbun dan ujungnya tamak, selalu kurang.
Beragama bukan sekadar mengutip kata-kata suci, ayat-ayat yang apal luar kepala, atau kesalehan yang dipertontonkan di tepi jalan, atau bahkan tengah jalan, namun bagaimana perilaku, pilihan-pilihan tindakan, asesoris dalam badannya, seperti jam tangan, sepatu, pakaian, itulah sisi hidup beragama yang baik.
Semakin besar namun semakin menunduk, falsafah Jawa ilmu padi. Paus Fransiskus meneladankan itu. Bagaimana beliau   melakukan itu dengan keseluruhan hidupnya. Pilihan asesoris, kata-kata, bukan muluk-muluk dengan teologi atau filsafat yang jelas banget ia kuasai.
Bagaimana sekelas Paus, tidak berpikir bahwa ia akan membuat macet kota Roma, karena mau makan pizza ia berangkat sendiri. Jelas saja kota yang ia lewati dan kunjungi macet, kemudian beliau meminta maaf dengan rendah hati. Jika ia sombong, pastinya minta pengawalan atau si penjual diminta datang. Segampang itu bagi orang sebesar dia, namun tidak dilakukannya.
Begitu banyak hal sederhana yang ia lakukan dan jalani bukan sekadar omongan. Perilakunya juga mendukung hal tersebut.
Kedatangannya layak dan tepat waktu di tengah arus hedonisme, pejabat, politikus, tokoh agama yang bergaya hidup mewah. Padahal begitu banyak orang-orang miskin yang ada di sekitar mereka. Peduli ini sangat penting.
Apa yang tertulis tentu tidak menghakimi si kaya, namun sebagai sebuah refleksi bagaimana kekayaan itu diperoleh dan dipertanggungjawabkan dengan segala kerendahan hati. Semua dari Allah kembali kepada Allah.