Kunjungan Paus, Paus Mualaf, dan IQ 78
Sebentar lagi Gereja Katolik Indonesia mendapatkan kebahagiaan dengan kunjungan Paus Fransiskus. Hal ini seperti anak yang dikunjungi bapaknya dari luar negeri, tentu sangat menyenangkan. Peristiwa 35 tahun lalu kini terulang, meskipun dengan kondisi dan pribadi yang berbeda.
Tentu umat Katolik antusias untuk terlibat, baik langsung ataupun online dalam Misa yang dipimpin oleh pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Uskup Roma yang belum tentu akan bisa ditemui dalam 10-20 tahun mendatang. Peristiwa yang lampau hampir empat dasa warsa baru terjadi lagi.
Beberapa teman sudah pada janjian untuk bisa telponan, karena kemungkinan bertemu sangat kecil, ketika bisa ikut ke GBK. Teman yang lain mengatakan bahwa masih cukup banyak jatah yang belum terisi, beberapa hari lampau cerita ini. Rekan lain  bertanya apakah di kotanya akan ada misa hibrid, sehingga live streaming misa Paus Fransiskus di gereja setempat.
Gegap gempita wajar dilakukan warga Gereja Katolik. Pun ada juga yang becanda, hari-hari ini Paus Fransiskus lagi ngepak apa yang mau dibawa ke sini. Menakar, jangan sampai kelebihan beban di pesawat. Tentu saja hal ini adalah candaan yang mewarnai pembicaraan bergembira bersama.
Di tengah eforia kedatangan pemimpin Gereja Katolik sedunia, menemukan bagaimana rendah hatinya beliau. Ketika ada anak kecil yang sedih karena bapaknya tidak percaya Tuhan dan baru saja meninggal. Anak kecil ini  bersama saudaranya sudah menjadi anggota Gereja Katolik.
Paus sebagai seorang bapak, kakek, dan gembala memeluk dan menjawab bahwa Tuhan Allah Yang Berbelas Kasih akan membalas kebaikan anak-anak-Nya, termasuk bapak yang tidak percaya Tuhan ini, karena anak-anaknya diserahkan kepada Tuhan, yang ia sendiri tidak yakini.
Paus tidak  ndakik-ndakik, tidak menggunakan teologi, filsafat, atau mengutip teolog atau filsuf siapa, namun bertanya pada peserta dan menjawab dengan baik, mereka sendiri yang menjawab pertanyaan itu, atas pancingan dan bimbingan Paus Fransiskus.
Kesederhanaan, kerendahanhati, dan apa adanya. Sosok yang benar-benar sederhana, bukan dibuat-buat, padahal Uskup Roma. Begitu banyak dan gampang menemukan pembicaraan  atau pembicaraan mengenai kesederhanaannya.
Sisi spiritualitas, melebihi  agama.  Di mana hal ini sering menjadi pemersatu, tidak saling meniadakan atau mempersalahkan.
Ada sebuah film pendek yang berkisah mengenai hujatan atau labeling agama tertentu pada pemeluk yang lain. Ia mengatakan, tidak masalah masuk neraka, dikatakan  ateis, sesat, ataupun kafir. Utama baginya adalah membawa damai sejahtera dan kerukunan dalam hidup bersama.
Nah, kisah di atas, berbanding terbalik dengan apa yang netizen tanggapi dalam artikel atau pemberitaan mengenai paus. Seorang warganet mengatakan, bahwa ia melihat 90% komentar di media yang membahas kunjungan paus berisi doa untuk paus mualaf.  Mengapa  layak dicermati?
Ada pemikiran bahwa  beragama sudah selayaknya jika berbahagia bersama yang sedang bersuka cita dan bersedih bersama yang sedang berduka. Lha bagaimana ini, malah berdoa yang bagi pihak lain menyedihkan? Apakah hal ini tidak sama saja dengan berduka padahal pihak lain sedang  berbahagia?
Menyakiti dan menyinggung tentu saja bukan ajaran dan perintah agama. Apa iya sih Tuhan demikian sempit dan egois sehingga hanya maunya seragam dan satu saja di dunia ini? Aneh dan  ajaib ketika Allah Yang Mahabesar itu malah kerdil karena pemaksaan kehendak segelintir pihak.
Beragama sudah seharusnya berpikir menyatukan, mendapatkan persamaan, bukan malah mengedepankan dan membesar-besarkan perbedaan, yang seharusnya diminimalisasi. Bentuk toleransi, menghargai pihak liyan dan sesama manusia.
Agama tidak harus mengalahkan kemanusiaan. Bagaimana manusia sedang bahagia, namun beda keyakinan malah dibuat sedih, kan salah kaprah.
Ada lagi mengenai kepercayaan dan keyakinan bahwa paus pada mualaf. Hal yang sama sekali di luar nalar akan sehat orang yang masih mau belajar, mencari sumber informasi. Begitu melimpah sumber berita, mana yang hoax, mana yang  pembelokan fakta, semua gampang diperbandingkan. Tanpa waktu lama akan ketemu.
Melihat perilaku, pilihan-pilihan sikap, dan juga pola tindak dan pola pikir makin memperlihatkan bahwa IQ 78 memang terkonfirmasi. Emosional, marah-maki, sedikit-sedikit tersinggung, ngamukan, dan memperbesar masalah, adalah ciri-ciri intelektual yang masih kurang.
Mudahnya percaya pada berita palsu, padahal dengan mudah diklarifikasi jelas memperlihatkan kelas berpikirnya. Masih terlalu jauh untuk diyakini cukup saja masih terlalu jauh. Memprihatinkan, rendah dan kurang.
Negara ini berdasar Pancasila. Bagaimana falsafah bangsa ini harusnya menjadi rujukan dan juga landasan dalam berpikir, bertindak, dan bersikap di dalam menghadapi perbedaan. Aneh dan lucu, jika selalu saja menggunakan paradigma, pola pikir masing-masing diterakan pada pihak lain.
Kebanyakkan di  antara kita sering menggunakan takaran sendiri, ukuran masing-masing untuk menghakimi, mengukur, dan menilai kepercayaan dan keyakinan pihak lain. Di sinilah sering menjadi bahan polemik dan bahkan pertikaian serta menjadi penistaan agama.
Bersikukuh dengan pemahaman sendiri dan tidak mau sedikit saja memahami keberadaan liyan sering menjadi masalah. Sok tahu lebih  membahayakan lagi. Terutam orang tidak tahu namun banyak omong, lebih membahayakan lagi. Jika tidak tahu lebih baik mencari tahu, atau jika tidak mau, ya diam saja, dari pada menjadi runyam.
Mengedepankan persamaan, mengatasi agama dengan kemanusiaan, Pancasila sebagai parameter hidup bersama tentu akan sangat indah. Bhineka Tungga Ika bukan sekadar kata-kata atau slogan kosong, namun sangat sarat makna baik dan mendalam.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H