Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polwan Bakar Polisi, Bagaimana Masa Depan Anak-anaknya?

11 Juni 2024   10:41 Diperbarui: 11 Juni 2024   10:47 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polwan Bakar Polisi, Nasib Anaknya Bagaimana?

Berita duka nan memilukan, ketika membaca berita adanya istri membakar suami. Keduanya kebetulan profesinya polisi, ini yang membuat keadaan lebih memiriskan. Pasangan ini, jika melihat dari paparan media, masih cukup muda. Anak mereka tiga, dua kembar usia baru empt bulan.  Kakaknya masih berumur dua tahun.

Bisa dibayangkan beban si ibu untuk merawat tiga anak sekecil itu, dengan kondisi usia ibu juga relatif muda. Pekerja pula, pastinya sangat  berat apa yang mereka tanggungkan. Secara finansial bisa dikatakan aman, karena keduanya pegawai, ada gaji pasti.

Sayang, bahwa ternyata si suami, si korban itu kehabisan gajinya karena bermain judi online.  Hal yang  bisa dipahami bagaimana kemarahan sang ibu atau istri ini. pastinya capek merawat tiga anak masih kecil bahkan bayi, bekerja, dan tahu gaji suaminya habis.

Netizen biasa langsung  menilai, menghakimi, dan membuat komentar yang seperti itu. Ada yang     membuat komentar dan penilaian mengenai pakaian dan perilaku si ibu yang keji. Pihak lain menyalahkan si bapak yang menghabiskan gajinya untuk berjudi. Hal yang lumrah di tengah arus media sosial.

Opini ini mau melihat bagaimana masa depan si tiga anak yang masih terlalu kecil ini. Siapa yang  akan mengurus dan merawat dengan semestinya, padahal bapaknya jelas sudah almarhum dan si ibu pastinya masuk bui.

Kondisi ini bisa semakin runyam, ketika orang tua korban bersikap kurang bijaksana. Contoh, bagaimana anak almarhum Vanesa Angel yang jadi rebutan.  Membuat keadaan tidak lebih baik, terutama untuk kejiwaan si anak-anak ini.  Jangan sampai  mereka jadi korban untuk kedua kalinya.

Kehilangan ayah sangat dini, dan malah jadi rebutan pula oleh keegoisan orang-orang tua. Semoga tidak demikian.

Pastinya si ibu akan mendekam di penjara. Melihat pemberitaan sih, akan lebih ringan karena api bukan disulut pelaku. Ada percikan dari tempat lain. Mengupayakan pertolongan dengan membawanya ke rumah sakit. Ada permintaan maaf, dan pastinya ini sangat serius, bukan membela diri untuk meringankan tuntutan hukum.

Berbeda jika api itu berasal dari korek yang ia nyalakan, membiarkan dulu terlalu lama sehingga terlambat ke rumah  sakit. Arah pasal KDRT bukan pembunuhan. Jelas bukan membela atau membenarkan perilaku si ibu, namun bagaimana tumbuh kembang si anak bertiga ini. Mereka masih   sangat butuh sosok orang tua, tinggal satu, eh malah ada di penjara.

Peran orang tua itu tidak tergantikan.  Kakek-nenek itu bukan orang tua, mereka memiliki tingkatan hirarkhi berbeda dalam mendidik, pastiinya mereka memiliki sikap yang berbeda.  Hal ini sangat mungkin menjadi pertimbangan bagi penegak hukum dalam menerapkan pasal dan juga tuntutan serta akhirnya putusan.

Kesempatan bagi si ibu untuk menyesali dengan merawat anak-anak ini. Hukuman penjara tidak perlu lama, toh dia juga akan menyaksikan anak-anaknya ini sebagai sebuah saksi hidup sepanjang hidupnya. Pastinya lebih berat dari sekadar di balik jeruji besi.  Buah cinta mereka berdua selalu ada, hadir, dan mengikuti setiap momen hidup mereka berempat.

Lebaran ke makam, mendaftarkan sekolah harus mencantumkan nama si ayah, dan seterusnya. Semua peristiwa penting pasti mengingatkan pada sosok yang ia cintai itu. Penting bagi si anak  yang sekaligus pasti mencabik hati ibunya.

Demi anak-anak tiga ini, perlu kelegawaan dari keluarga besar si ayah untuk memaafkan dan menyelesaikan ini sebagai tragedi, musibah, dan juga peristiwa pahit yang memang harus terjadi. Tidak perlu berkepanjangan untuk menuntut hukuman seberat-beratnya dan apalagi berebut cucu.

Penting adalah suport untuk si ibu agar ia bisa tetap kuat, toh ia juga korban atas pilihan emosionalnya. Sangat tidak mudah, berat, dan juga ngeri jika menimbang kesalahan-kesalahan yang ada. Jauh lebih  penting melindungi ketiga anak-anak ini tetap sehat jiwa dan raganya. Masih perlu energi baik dari keluarga besar kedua belah pihak.

Penghakiman netizen sudah lebih dari cukup untuk membuat keadaan lebih berat. Keluarga tidak perlu lagi menambah dengan berbagai drama. Pasti sebentar lagi media akan mengulik dengan mewawancarai keluarga dari si pria dan juga perempuan. Kadang mereka abai untuk menjaga perasaan.

Menjaga keberadaan tiga anak-anak ini bisa bertumbuh dengan baik dan semestinya itu penting. Kehilangan dua orang tua dengan cara yang seperti itu, belum lagi ibunya   harus masuk bui, padahal si kembar masih perlu ASI.  Hal ini yang harusnya menjadi pertimbangan pewarta ketika mau memberikan pemberitaan atau meminta waktu untuk wawancara.

Kejadian ini semoga menjadi yang terakhir.   Betapa pentingnya mempersiapkan pernikahan. Tidak sekadar cinta atau mapan secara ekonomi. Adanya kesadaran dan kedewasaan sehingga paham tanggung jawab. Penentuan batas umur itu hanya satu kondisi yang bisa dilihat dengan mudah. Ternyata tidak melulu usia, namun ketahanan emosi, tanggung jawab, dan juga pengenalan satu sama lain sangat penting dan mendasar.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun