Masih banyak prioritas yang kudu dijagani, dipersiapkan. Itu kota kecil, jika siswa Jakarta yang piknik ke luar negeri, saya pikir juga tidak akan menjadi heboh. Biasa.
Sejatinya mau piknik atau study tour ke mana dan berapa beayanya itu relatif tidak ada masalah. Yang sering   menjadi persoalan adalah tanggung jawab pengelola dalam hal ini sekolah dan penyelenggara pihak ketiga, di mana biro yang mengadakan. Apakah benar-benar fair tanpa pungutan liar, sebagaimana kisah di atas?
Jika demikian, bagus, layak diadakan untuk menambah pengalaman dan kebersamaan siswa. Tidak ada yang salah sama sekali. Namun, jika ada pat gulipat di baliknya, itu persoalan serius. Beaya tidak dalam kepentingan siswa dan peserta, namun demi memenuhi sifat tamak oknum-oknum penyelenggara dan panitia.
Belum tentu biro wisata yang memiliki hati seperti kata teman saya di atas. Sangat mungkin ada agen wisata yang berfikir bahwa konsumen apapun harus dilayani dengan baik tanpa memikirkan hal lain di balik hitungan beaya. Pokoknya dapat orederan jalan. Sangat mungkin terjadi demikian.
Harga yang dibayarkan sesai dengan apa yang diperoleh. Murah jelas makanan, fasilitas juga tidak akan mewah. Sesuai dengan harga. Jangan sampai harganya mahal namun mendapatkan fasilitas yang buruk karena untuk menyenangkan pihak lain. Kan cilaka. Hal yang sangat buruk pastinya. Hal ini sama dengan yang terjadi kisah rekan yang dimintai fee motor tadi. Hal ini sangat biasa.
Karakter dan juga integritas. Jika pihak pendidik memang mau memberikan pendidikan dan layanan terbaik, malah membuat beaya itu terjangkau dengan cara tidak mencari-cari tambahan untuk kentungan sendiri sebagaimana cerita di atas. Malah mengurangi beban bukan menambahi beban.
Biro sebagai sebuah usaha pastinya mencari keuntungan sewajarnya, persaingan mereka ketat, tidak mungkin akan ugal-ugalan mencari laba yang di luar kepantasan, pasti akan kalah dengan kompetitor mereka.
Bijaksana itu penting dan mendasar. Guru, kepala sekolah pastinya pintar, namun itu semua belum cukup. Â Perlu yang namanya menimbang untung dan rugi dengan sangat mendalam. Apa yang menjadi pertimbangan adalah murid memperoleh yang terbaik, bukan malah sebaliknya, aku yang terbaik. Â Miris jika pola pikir demikian menjadi gaya hidup guru dan pemimpin.
Apa yang diajarkan jika demikian itu?  Masalah pendidikan  itu kompleks namun ada harapan bahwa akan baik pada waktunya. Semua bisa berkolaborasi untuk mendidik anak-anak negeri yang terbaik. Optimisme dan harapan itu perlu digaungkan dan dihidupi, sehingga tidak akan menjadi bangsa yang pesimis dan mudah patah arang.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan