Hari Pendidikan Nasional, IQ 78, dan Pendidikan Murah
Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara selaku pejuang pendidikan tentu paham dan sangat sedih, jika hasil perjuangannya dulu itu hari-hari ini malah menghasilkan IQ rata-rata 78.
Tentu saja bukan kesalahan beliau, melainkan bagaimana sistem pendidikan hari ini yang bermasalah. Hari ini bukan konteks saat ini saja, namun bertahun belakangan ini.
Riset yang mengatakan bahwa kemampuan dan kecerdasan manusia Indonesia pada kisaran 78 itu termasuk rendah. Bandingkan negara-negara tetangga yang sudah pada angka 100, lebih jauh negara maju pada angka 105, tentu sangat memprihatinkan.
Ditambah dengan kemampuan dan kehendak membaca yang sangat rendah. Mau tidak mau, di mana otak diasah, salah satunya dengan membaca. Kalau melihat buku saja sudah mual, kan repot, bagaimana itu bisa membuat IQ meningkat. Apalagi zaman digital, lebih asyik melihat video, TikTok, YouTube, yang sering konten tidak bermutu.
Pendidikan tidak murah sebenarnya, meskipun sudah ada pendidikan gratis di beberapa sekolah, tempat, dan jenjang. Pendidikan sangat terjangkau, hampir semua anak sekarang lulusan sekolah menengah atas, SMA-K, jarang yang putus di SD atau SMP, bahkan perguruan tinggi sangat banyak peminatnya. Gedung-gedung baru dibangun oleh universitas baik negeri ataupun swasta. Bandingkan dengan 20 atau 30 tahun lalu sudah sangat jauh berbeda.
Namun, kembali, mengapa malah IQ-nya 78?
Sudah tersebut di atas. Minat baca rendah. Mau apalagi jika kemampuan dan kemauan membaca saja sudah tidak ada. Bagaimana mau mengisi otak dengan hal-hal yang sangat bermanfaat, kaya, dan juga bernilai tinggi?Â
Habitat, lingkungan, kebiasaan, dan kesenangan membaca luntur, dulu banyak orang di angkutan umum membaca koran. Membaca buku ketika aktivitas senggang, sekarang hampir tidak ada. lebih asyik medsosan yang sering malah menebarkan kebohongan, fitnah, dan perselisihan.
Pendidikan yang berorientasi nilai, angka, dan rangking. Pernah ada masa di mana pemerintah mencanangkan nilai UAN selalu naik, namun tidak mengubah apa pun, karena standar soalnya yang diturunkan. Pemberian uang bagi sekolah yang sukses dengan nilai tertentu. Benar, nilai itu jelas parameter yang terukur, namun tidak juga sebegitunya.
Sekolah atau pendidikan itu bukan hutan rimba. Separasi sekolah unggulan-favorit dan sekolah pinggiran. Anak didik dibangun untuk menjadi serigala bagi rekan-rekannya. Persaingan yang tidak sehat namun ada di dunia pendidikan.
Hafalan menjadi andalan. Konon menghafal itu level mamalia, konteks ini adalah hewani bukan mamalia dalam konteks human. Manusia itu akal budi, bukan sekadar menghafal. Plus ada ideolog yang bergabung dalam model ini.
Politisasi pendidikan. Kekacauan pendidikan makin parah ketika usai reformasi di mana raja-raja kecil di daerah juga ikut campur dalam dunia pendidikan. Utamanya sekolah negeri, beda afiliasi dengan si raja, kepala sekolah, apalagi kepala dinas jangan harap bisa berkarir dengan baik. Bagaimana mereka memikirkan pendidikan jika harus mengabdi pada raja-raja kecil ini.
Mirisnya mereka ini pimpinan daerah banyak yang sama sekali tidak punya kapasitas soal pendidikan, namun memiliki kuasa yang luar biasa. Ngeri pokoknya.
Ideologis dalam pendidikan, suka atau tidak, ideolog ultrakanan sudah merasuk terlalu dalam di dalam pendidikan. Konsep kependidikan yang memang tidak bagus. Pola pendekatan yang sangat remeh, hafalan, pokok lulus, seragam yang penting, bukan mengenai mutu dan kepribadian.
Kelompok-kelompok ini lebih asyik bicara ideolog bukan pendidikan. Campur aduk yang membuat kacau. Sudah ada politik, masih dicampur lagi dengan ideologi.
Keseragaman. Hal ini tidak bicara mengenai pakaian, namun mengenai kelas, pelajaran, kurikulum, dan semua hal. Padahal begitu luas negeri ini, dari Sabang sampai Merauke, belum lagi kemampuan, bakat, minat anak didik itu berbeda-beda. Bagaimana seragam itu membuat banyak anak yang malah tertekan.
Esensi pendidikan seharusnya membebaskan. Anak-anak merdeka dalam eksplorasi diri, tidak malah terkekang dengan kelas dan kurikulum kaku.
Gap antara pendidikan dan dunia kerja. Begitu banyak hal yang harus anak kuasai, padahal di dalam dunia atau hidup sehari-hari sering tidak terpakai. Apalagi dalam kerja. Sering tidak menjawab kebutuhan dunia kerja. Hal yang membuat orang frustrasi, bahkan ada calon dokter spesialis yang mau mengakhiri hidup, ratusan lagi.
Pendidikan malah membuat beban, bukan menyenangkan, menggembirakan, eksploratif sehingga anak berkembang lebih jauh.
Sudah seharusnya pendidikan terjangkau itu membuat orang makin cerdas. Namun mengapa di negeri ini tidak demikian. Memang pendidikan murah itu tidak bisa, namun negara hadir untuk memberikan dana pendidikan bagi warganya itu tidak murah. Pendidikan terjangkau, sehingga semua warga negara melek pendidikan.
Senyampang pendidikan terjangkau, tentu saja perlu pembenahan, ketika ada masalah. Jangan di anggap remeh ketika ada penelitian yang mengatakan bahwa IQ di angka 78.
Simpanse itu bisa menguasai konsep menghafal 2000 kata, namun dengan pengulangan dan kerja keras dari manusia, mentornya bisa mengingat 3000 kata, ada peningkatan 50% ini luar biasa. Mosok manusia yang berpendidikan malah kalah karena enggan kerja keras?
Minat baca perlu digalakkan lagi. Suka atau tidak, guru juga perlu dipaksa untuk membaca, bagus jika sejak kuliah di keguruan mereka diajak untuk suka membaca. Laporan mingguan mengenai buku kayaknya bagus juga.
Lepaskan dunia pendidikan dari ideologi dan politik. Pasti akan banyak penolakan, mengaku tidak ada itu semua. Jika ini bisa terjadi, pasti luar biasa peningkatan mutu pendidikan negeri ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H