Golkar Merapat ke PDI-Perjuangan?
Kontestasi pilpres makin menghangat. Belum sampai taraf panas. Pembentukan koalisi masih sangat cair. Belum ada satupun yang sudah memiliki bentuk dan komitmen bersama dan bisa mengusung capres sendiri atau bersama-sama. PDI-Perjungan yang memiliki nama besar, kader mumpuni, ndilalah memiliki suara cukup, ada di depan.
PDI-Perjuangan memang sudah mendapatkan dukungan dari partai-partai lain, baik parlemen ataupun nonparlemen, toh mereka juga belum cukup  percaya diri untuk tenang-tenang saja. Perlu membangun komunikasi lebih lanjut, jika perlu dengan parpol cukup signifikan, lagi-lagi Golkar cukup seksi dan bisa menjadi rebutan. Â
Gerindra yang mepet suaranya masih cukup kebingungan mau bersama dengan siapa. PKB dan Cak Imin sudah siap. Toh perhitungan politik masih belum meyakinkan. Mereka, Gerindra dan PKB perlu kekuatan dari partai cukup gede satu lagi, semisal Golkar. Â Â Pengalaman dan rekam jejak partai yang menyoking Soeharto puluhan tahun ini memang penting dan sentral dalam percaturan nasional.
Golkar tahu persis, bahwa mereka memang penting, besar, dan layak untuk ikut dalam pertarungan sengit itu, tetapi toh mereka juga paham, bahwa kadernya, terutama Ketum Airlangga Hartarto tidak cukup menjanjikan bagi publik dan juga partai-partai lain.
Keberadaan partai beringin ini beberapa tahun ini memang masih mendapatkan suara cukup signifikan, namun lemah dalam ketenaran dan keterpilihan menjadi pemimpin top negeri ini. Kader memang banyak, namun hampir semua belum cukup bisa bersaing dengan nama-nama mapan sebagai kandidat capres ataupun caawapres.
Usai JK tidak pernah lagi yang cukup mampu bersaing dengan calon-calon dari elit  partai dan negeri ini. Abu Rizal Bakri terakhir yang cukup populer dan layak bersaing di pilpres. Namun hancur berantakan ketika terkena kasus pribadi. Perjalanan liburan dengan artis muda ke luar negeri ini membuat namanya langsung terjun bebas.
Kini, munas Golkar memang mengamanatkan, bahwa ketum mereka, Airlangga Hartarto menjadi capres mereka. Toh dari hasil survey dan juga amatan masih di bawah nama-nama mapan lainnya. mau capres ataupun cawapres. Susah untuk mengubah keadaan dan posisinya untuk bisa menyingkirkan nama-nama teratas.
Kemarin-kemarin, cenderung akan bersama dengan Gerindra dan PKB untuk menjadi penantang partai banteng moncong putih. Terhalang, PKB yang sudah lebih dulu menghendaki capres tetap Prabowo, dan posisi cawapres jatahnya PKB. Golkar bisa jadi hanya menjadi penonton. Padahal mereka adalah pemilik suara yang cukup gede, lebih banyak dari pada PKB.
Prabowo dan Gerindra juga sudah paham. Bahwa PKB dan Gus Muhaimin sama sekali tidak cukup membantu pemilih untuk Prabowo. Bisa menang perlu pendamping yang tepat, mereka masih ragu, atau bahkan malah sudah mantab bahwa Muhaimin tidak akan membantu dan mengubah keadaan?
Hal ini terlihat dari sikap dingin Prabowo dan Gerindra soal pernyataan-pernyataan Gus Muhaimin dan PKB mengenai cawapres. Capres Prabowo juga masih berliling-keliling mencari nama dan partner yang paling menguntungkan. Hal yang tidak mudah.
  Â
Â
Melirik Golkar dan kadernya juga tidak. Wajar, ketika kemarin bertemu dengan elit PDI-Perjuangan, Puan Maharani, Golkar makin terbuka melihat kebersamaan dengan partai yang lahir usai demokrasi terbuka karena reformasi itu. Kebersamaan selama ini lebih menjanjikan, dari mana yang belum terbukti sama sekali.
Pembicaraan dengan Gerindra, PKB, dan PAN dalam KIB tidak cukup menjanjikan. Keberadaan Prabowo yang banyak melahirkan blunder-blunder politik tentu dibaca dengan baik oleh kader Golkar yang sudah malang melintang puluhan tahun dalam mengelola pemerintahan. Mereka banyak yang sudah sangat paham dengan peta politik negara ini.
Faksi-faksi di tubuh partai sangat besar masa Orba ini tidak main-main. Ada yang mendukung Anies Baswedan. Tercermin dari JK dan kawan-kawan yang getol mendukung mantan Gubernur DKI itu. pun masih belum juga mendapatkan titik temu dan menyatakan ya untuk melaju dalam koalisi yang sudah diinisiasi sejak Oktober tahun lalu.
Derasnya dengungan Munaslub Partai Golkar untuk menggantikan Ketua Umum Airlangga yang dinilai gagal menjalankan tugasnya. Posisi dilematis, bagaimanapun namanya tidak cukup menjual, di sisi lain ada juga desakan untuk turun. Jauh lebih aman dan nyaman merapat pada kebersamaan dengan partai yang sangat berpotensi menang.
Komunikasi kemarin baik dan akan berlanjut jelas memberikan arah ke mana mereka akan bersama-sama. Posisi yang wajar, ketika melihat dua kemungkinan koalisi yang sama juga masih serba bingung.
Keadaan ini terjadi karena saling intai, saling tunggu, dan akan berhitung bagaimana untuk bisa menang. Ketiganya masih sama-sama bisa menang dengan pertimbangan yang sangat matang. Salah sedikit bisa menjadi bumerang dan kekalahan yang tidak diinginkan tentu saja.
Pun partai-partai yang tidak memiliki cukup nama, kader yang setingkat   Ganjar, Prabowo, dan naies juga ikut berhitung, dampaknya bagi partai mereka. Mereka tentu konsentrasi memperoleh kursi yang cukup besar, ketika merasa tidak bisa mengajukan kadernya dalam pilpres. Hal yang sangat logis.
Golkar sebagai partai besar tentu inginnya ikut dalam pilpres, toh mereka juga paham, kondisinya tidak mudah. Ikut gabungan partai yang potensi menang lebih gede tentu akan menjadi pilihan yang jauh lebih realistis.
Masih sangat cair, ke mana gerakan itu masih bisa. Belum ada yang pasti, ketika belum deklarasi, apalagi pendaftaran ke KPU. Layak ditunggu dan dilihat dengan asyik tentu saja.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H