Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Otoritas Guru Perlu Perlindungan Hukum

27 Juli 2023   10:47 Diperbarui: 27 Juli 2023   10:49 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otoritas Guru, Perlu Perlindungan Hukum

Beberapa waktu lalu ada rekan yang menuliskan kisah dua guru yang harus minta maaf ke murid dan orang tuanya. Mereka dianggap lalai, salah, keliru, dan perlu meminta maaf. Cerita satu, ada anak yang ngamuk dan direkam gurunya. Dinilai tidak etis oleh kepala sekolahnya dan kudu minta maaf.

Kejadian kedua. Anak marah dan keluar kelas. Tangan si anak dipegang guru untuk tetap tinggal di kelas. Murid tidak terima dan mengadu ke orang tua. Tidak terima si orang tua datang ke sekolah. Guru salah dan minta maaf.

Kira-kira kejadian demikian yang saya pahami dan tuliskan ulang. Kisah ini bukan pokok artikel, namun bagaimana garis  besar relasi guru, orang tua, murid, dan kepala sekolah itu banyak terjadi yang seperti itu. Orang tua membela anak didukung kepala sekolah, dan guru sebagai pendidik dipastikan posisinya sangat lemah.

Berkali-kali saya menulis, jika guru itu melakukan kekerasan berulang, tanpa alasan, dan membuat sampai patah tulang, masuk rumah sakit, silakan pidanakan, namun jika itu masih dalam koridor mendidik, ingat mendidik itu kadang juga lepas kontrol. Saya bertanya berapa banyak orang tua yang tidak membentak, atau mencubit anaknya misalnya? Berapa persen bisa ideal, namun jika itu guru yang melakukan, seolah adalah kejahatan.

Guru itu bukan orang tua lho. Ketika orang tua membentak, kadang juga memukul bisa ditoleransi, mengapa "orang lain" yang melakukan malah menjadi masalah. Tidak usah nyolot, baca keterangan sebelumnya. Kondisi yang masih wajar, bukan pengulangan, dan memang emosional yang tidak terkontrol.

Apa sih kira-kira yang membuat guru itu tidak lagi memiliki otonomi di dalam mendidik, wibawa juga bisa hancur, menjadi seorang karyawan bagi anak-anak tertentu. Ini mengerikan.

Undang-undang yang tersusun oleh pihak yang sama sekali tidak terlibat di dalam pengajaran, terutama pendidikan dasar dan menengah. Yakin bahwa yang terlibat di dalam penyusunan UU adalah para profeso doktor yang biasa mendidik orang dewasa, baca dosen. Guru-guru di pinggiran, sekolah biasa saja tidak akan terlibat di sana.

Padahal problem, masalah, dan kesulitan mengajar ada di sekolah-sekolah demikian. Pernah terdengar tidak   keluhan siswa bandel, guru melakukan kekerasan itu sekolah favorit? Tidak akan ada. Anaknya didiknya dolor, paham, dan ideal untuk dididik.  Kondisi ini mana terpikirkan oleh elit di atas sana.

Media. Begitu cepatnya perputaran informasi. Pembelajaran paling cepat dan singkat. Anak-anak itu meniru. Nah peniruan oleh anak ini yang sering abai dipantau oleh orang tua, dan nantinya guru yang mendapatkan getahnya. Miris. Orang tua selalu benar dan guru malah menjadi pihak yang salah. Peran orang tua jauh lebih gede dalam hal ini.

Pisau bermata dunia bernama media ini. Bagaimana membantu  dalam pembelajaran, namun juga bisa menjerumuskan ketika mencontoh barang-barang buruk yang memang tidak bisa terfilter. Apalagi jika gurunya malah gagap dengan teknologi.

Kegagalan orang tua yang ditimpakan pada guru. Suka atau tidak, orang enggan disebut gagal. Menerima kegagalan adalah sebuah hal yang tidak akan rela diakui.  Paling gampang akan membuat kegagalan itu adalah karena orang lain.  Menimpakan kesalahan dalam hal ini juga kegagalan pada pihak luar. Guru dalam konteks pendidikan.

Peran orang tua harus lebih gede. Hampir 2/3 hidup anak dalam sehari kan bersama dengan orang tua. Guru hanya sebagian kecil. Namun seolah penanggung jawab seutuhnya. Bagaimana orang tua di rumah tanpa ada kendali, sensor, dan pengawasan, bahkan hukum dan Komnas HAM.  

Posisi guru sangat lemah. mana suara asosiasi guru, ketika guru mendapatkan bully, kekerasan, bahkan pidana. Mereka juga punya anak dan keluarga. Apa yang anak-anak dan keluarganya rasakan, ketika mereka mendidik, namun dipersalahkan.

Mudahnya pemidanaan dan penghakiman pada guru. Begitu gampang, anak dan orang tua pasti benar, guru ditekan minta maaf. Apakah ini selesai dan benar demikian dan itu masalah jelas dan tidak menimbulkan persoalan baru?

Tidak sesederhana itu. Guru bisa   jadi hanya mengajar, menyelesaikan buku, tuntutan kurikulum, RPP, silabus, dan selesai. Makna pendidikan dan tujuan pendidikan sirna, karena hanya mengajarkan  transefer ilmu, dan itu bisa dilakukan google atau robot. Guru tidak demikian. Esensi pendidikan  tidak hanya itu.

Orang pada teriak-teriak, budi pekerti mengapa hilang dari kurikulum? Ketika hukum, polisi, dan perangkatnya begitu sigap menyelesaikan kasus-kasus biasa di sekolah, jangan salahkan budi pekerti yang hilang. Mau mendidik dikatakan kekerasan, mau mendisiplinkan, nanti kena masalah HAM. Serba salah. Akhirnya main aman dan diam saja, sak karepmu.

Konsep HAM dan kekerasa ala Barat yang diadopsi dengan gegap gempita sebagai sebuah kebenaran mutlak telah menjadi bumerang. Orang, guru menjadi takut dalam mendidik dengan apa adanya. Hal ini suka atau tidak memang bagian dari agenda besar yang dikehendaki pihak-pihak tertentu agar negeri ini lemah.

Pelemahan dengan cara merusak pendidikan dan cara bertindak kaum mudanya yang tidak lagi punya tata krama. Lihat saja dunia pendidikan yang demikian suram.

Para pelaku pendidikan, bangun, sadar, bahwa ini sangat penting. Peran guru yang berwibawa dan otonom itu harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum, bukan sebaliknya. Miris. Jika terus terjadi, jangan kaget, banyak manusia-manusia dewasa berjiwa kerdil. Anak-anak yang terperangkap dalam tubuh gede saja.   

Tentu artikel ini bukan membela kekerasan, namun menempatkan konteks pendidikan sebagaimana mestinya. Menyadari peran guru yang tidak mudah, bahkan mengerikan dengan pasal-pasal yang bisa membawanya dalam bui. Keterlaluan.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun