Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Viralnya "Pernikahan" Anjing, Mana Lebih Miris?

20 Juli 2023   12:20 Diperbarui: 20 Juli 2023   12:23 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan muda, pasti tidak ada persiapan, dalam konteks apapun. Materi, mental, pendidikan, dan seterusnya. Mereka ini pasti masih dalam tanggungan orang tua, namanya juga siswa. Tentu bukan bicara fatalistik, bahwa mereka pasti akan berat, susah, dan seterusnya. Tidak demikian. Namun   hal yang buruk juga perlu menjadi perhatian.

Pertama, usia sangat muda. Kedua mempelai belum cukup umur untuk menjadi orang tua, yang bertugas mendidik. Belum lagi jika bicara mempersiapkan kehidupan mereka sebagai keluarga. Mendidik macam apa untuk anaknya ke depan.

Kedua, sisi ekonomi. Mereka belum berdaya secara ekonomi. Bisa saja anak sultan yang tidak bersusah payah dan khawatir. Namun jika tidak? Orang tua kedua belah pihak masih juga punya tanggungan. Nambah jika ada cucu. Makin berat.

Ketiga, pendidikan. Bagaimana jaminan pendidikan dari orang tua yang masih berpendidikan dasar seperti ini. Ingat, bukan  bicara soal belum tentu. Namun, keteladanan seperti apa yang bisa anak-anak berikan pada generasi berikutnya.

Paling-paling nanti yang merawat adalah kakek-neneknya. Kecenderungan membiarkan, pokok meneng, dan sejenisnya jauh lebih dominan. Simbah itu biasa memanjakan cucu, karena beda ketika itu anak. Nah,   ini adalah persoalan baru.

Keempat, kesehatan. Unsur terpaksa itu jelas besar. Tidak mungkin rela hati berhenti sekolah untuk menikah.  Masa-masa awal pernikahan mungkin belum merasa ada masalah. Berjalannya waktu, sebulan, setahun?  Teman-temannya berangkat sekolah tahun ajaran baru, eh mereka menjadi pengantin baru.

Bagaimana anak lahir dari anak-anak juga. perlu perhatian lebih dari pusat layanan kesehatan setempat. Risiko tinggi, stunting, belum lagi jika itu ada masalah lainnya. perlu melihat keluarga besar kedua pasangan. Adakah yang ABK, atau masalah kesehatan dan kejiwaan.

Usia-usia segitu mana tahu hidup dan makan sehat sih? Yang penting enak, gurih, manis, dan asin ekstrem sebagaimana dijajakan depan sekolah atau mini market adalah asupan utama.  Jika demikian, bagaimana dengan janin dan bayinya?   

Kelima, visi atau minimal pengetahuan berkeluarga.  Asumsi yang mendasar sih, mereka, anak-anak remaja ini menikah, kemungkinan terbesar adalah karena "kecelakaan" karena melakukan aktifitas seksual, hamil, dan mau tidak mau menikah. Nah, orientasi, fokus, pengetahuan dasarnya adalah itu saja.

Hidup berkeluarga tidak semata seksual. Jauh lebih komplek, bagaimana  harus memahami pasangannya.  Seksualitas, berlaku sebagai anak dari orang tua, kekasih dari pasangan, calon orang tua, bagian dari masyarakat. Itu semua tidak akan sesederhana pemikiran anak remaja.

Benar, bahwa naluri akan membantu dan membawa kemudahan. Jangan terjebak dengan konsepsi sederhana ini, bisa jadi lebih buruk. Nah ini fokusnya, memberikan perhatian pada hal-hal yang belum tentu mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun