Viralnya "Pernikahan" Anjing, mana Lebih Miris?
Beberapa hari ini, media baik arus utama ataupun sosial disibukkan dengan pembicaraan "pernikahan" anjing. Â Hingga hari ini masih terjadi pro dan kontra. Mau menyorot soal tokoh agamanya, atau "adat" yang dipilih untuk memestakan anjing mahal ini.
Belum lagi jika bicara soal beaya yang dikeluarkan untuk pesta super mewah itu. Angka  200 juta hanya untuk membuat pesta bagi anjing. Perawatan si anjing juga berkisar belasan juta kog per bulan. Itu adalah memang hobby mahal bagi kebanyakan masyarakat, tidak demikian bagi yang memang punya duit.
Mengenai pemuka agama yang mau-maunya "menikahkah" si anjing itu pasti memiliki pertimbangan sendiri. Pemberkatan hewan itu memang ada tradisinya. Sama juga dengan pemberkatan rumah, alat-alat pertanian misalnya. Dari sisi ini, tidak ada persoalan. Wajar.
Mengenai "pernikahan", itu kan konsensus, artinya adanya perjanjian di antara mempelai, di antara mereka mana bisa sih, si anjing berdua itu bisa mengucapkan janji pernikahan? Jelas saja tidak mungkin. Jadi pasti tidak ada itu pernikahan.
Penggunaan adat-istiadat, budaya Jawa dalam "resepsi" itu, lha mau giling tebu juga ada pengantin tebu. Bahasa simbol, apakah mereka juga ada konsensus, atau ikatan sebagaimana manusia? Jelas tidak. Toh namanya juga pengantin tebu, juga menggunakan adat-istiadat tertentu.
Simpulannya, jangan terlalu baper dan memberikan porsi, perhatian yang begitu banyak atau besar. Jauh lebih memilukan itu pernikahan anak laki-laki SMP dengan gadisnya anak SMA, karena hamil duluan.
Bagaimana pernikahan anak usia remaja seperti ini, mereka pasti di bawah usia 20-an. Masih belasan tetapi harus menjadi bapak dan ibu kurang dari setahun ke depan. Tahun 24 awal mereka sudah berstatus ayah dan bunda. Apakah mereka siap? Tentu mau tidak mau harus dan wajib siap. Namun apakah demikian?
Beberapa hal layak dicermati,